Direktur SDR : Ombudsman RI Diduga Ditunggangi Pemufakatan Jahat

IMG_20210618_164115

Jakarta, Sriwijaya Media – Ombudsman RI belum lama ini menyampaikan analisa laporan pengaduan 75 mantan pegawai KPK yang gagal tes wawasan kebangsaan (TWK). Ombudsman RI menyatakan adanya temuan maladministrasi dalam proses TWK di KPK.

Diketahui, dalam UU No 37/2008 tentang Ombudsman RI Pasal 1 ayat 3, Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut.

Bacaan Lainnya

Termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menilai berdasarkan uraian dari pasal 1 UU ORI tersebut, pemberhentian 75 eks pegawai KPK tidak masuk dalam kategori “maladministrasi”.

Bahkan, tindak lanjut hasil ASESMEN TWK dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN pada 25 Mei 2021 itu ditandatangani oleh seluruh pimpinan KPK, Menteri PanRB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, Ketua LAN serta Kepala KASN.

“Tindak lanjut hasil asesmen TWK itu antara lain menyatakan terhadap 24 pegawai dilakukan pembinaan dan dapat diangkat sebagai ASN setelah mengikuti pelatihan serta tes dan 51 pegawai diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai KPK sampai dengan 1 November 2021. Dengan 24 pegawai yang dapat dilakukan pembinaan setelah mengikuti pelatihan dan tes ini merupakan tindakan diskresi pimpinan KPK sesuai dengan UU No 30/2014,” kata Hari, di Jakarta, Rabu (28/7/2021).

Dia menyatakan persoalan TWK adalah mekanisme internal yang pelaksanaannya dari perintah UU, PP dan Perkom KPK, sehingga tidak ada hubungan dengan fungsi pelayanan publik.

“Ombudsman RI telah menyalahgunakan wewenang yaitu menguji kewenangan pimpinan KPK yang melaksanakan perintah UU tanpa alasan hukum yang jelas, dan pasti sesuai UU Ombudsman,” paparnya.

Dia menyatakan Ombudsman RI telah menyebarluaskan temuannya sehingga mengakibatkan kerugian secara langsung atau tidak langsung terhadap pimpinan KPK secara perorangan dan secara kelembagaan.

Padahal, kata Hari, mekanisme TWK merupakan sistem internal KPK dan bukan ranah publik.

“Berarti jika publik atau masyarakat gagal tes ASN dapat mengadukan ke ORI,” ucapnya.

Dia menduga Ombudsman RI saat ini diduga kuat telah ditunggangi pemufakatan jahat terhadap KPK RI, karena telah mencampuri tugas dan wewenang Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang dibentuk berdasarkan UU KPK tahun 2019. Sebab, yang menjadi Ombudsman sesungguhnya dalam KPK adalah Dewas.

“Pemufakatan jahat yang saat ini sedang menyelimuti tubuh Ombudsman telah melakukan penyesatan informasi seolah-olah Ombudsman RI berwenang memeriksa keputusan pimpinan KPK sebagai lembaga penegak hukum bukan lembaga pelayanan publik,” jelasnya.

Sehingga, Ombudsman secara sadar telah melakukan pelemahan KPK RI dengan perbuatan fitnah, pencemaran nama baik pimpinan KPK, serta melanggar kesusilaan dan ketertiban umum.

“Pemufakatan jahat Novel Baswedan Cs dengan menunggangi Ombudsman RI adalah ketidakpahaman terhadap UU Nomor 19/2019 yang antara lain membentuk Dewas. Karena Dewas telah memutuskan pimpinan KPK tidak melanggar kode etik KPK, maka tidak ada lagi celah Novel Baswedan Cs untuk mengajukan upaya hukum kecuali PTUN,” pungkasnya. (Irawan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *