Refleksi HUT ke 23 Tahun, Sejumlah Tuntutan Disampaikan AMP

IMG_20210729_152535

Jakarta, Sriwijaya Media-Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menginjakkan usianya yang ke-23. Keberadaan AMP yang dikategorikan sudah dewasa ini diupayakan mampu mengawal dan memperjuangkan cita-cita luhur rakyat bangsa Papua untuk bebas dari cengkraman imperialisme, kolonialisme dan militerisme.

Perwakilan AMP Komite Kota Jakarta Tolly Wanimbo menyatakan sejak berdirinya pada 1 Juli 1998 hingga kini, AMP telah dan akan terus mengawal perjuangan rakyat, mobilisasi massa mahasiswa dan aksi-aksi demonstrasi di jantung-jantung kota kolonial, membangun solidaritas, penyadaran dan perjuangan lainnya hingga kemenangan.

“Tentu, dalam prosesnya penuh tantangan dan melelahkan. Namun sebagai pejuang sejati kawan mengatakan ini jalan saya dan ini cinta saya,” kata Tolly, Kamis (29/7/2021).

Menurut dia, bangsa West Papua membutuhkan solidaritas. Sudah bertahun-tahun, kebenaran atas situasi kondisi dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi diatas tanah West Papua tidak pernah dipublikasikan.

Bahkan sekarang media-media lokal dan nasional yang dibawah kontrol kekuasaan kolonial borjuis Indonesia hanya menyajikan berita-berita bohong, yang isinya bertujuan untuk memperpanjang penjajahan diatas tanah West Papua, menutupi aktivitas pertambangan dari Freeport dan perampasan tanah untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Sehingga banyak masyarakat adat west papua yang meninggal diatas tanah mereka sendiri, akibat dari operasi militer Indonesia yang berkepanjangan.

“Pemerintah Indonesia dibawah kekuasaan Jokowi-Ma’ruf hanya mempersulit rakyat West Papua untuk hidup. Bukan untuk menyelesaikan konflik dan perang yang sedang berlangsung. Tidak hanya jaringan yang dimatikan di wilayah West Papua, namun juga menutup mati akses para jurnalis independen dari nasional maupun internasional yang ingin mencari fakta atas kondisi rakyat papua yang semakin kritis dan jauh dari kata aman. Harapan rakyat West Papua untuk mendapatkan solidaritas dari berbagai element atas penderitaan yang terjadi dilenyapkan oleh pemerintah dan militer Indonesia dengan moncong senjata,” jelasnya.

Apa yang terjadi di atas tanah West Papua saat ini, kata dia, menjadi sebuah pertanyaan yang tidak pernah ada yang mampu menjawabnya secara kongkrit.

Tidak banyak masyarakat Indonesia dan komunitas-komunitas internasional yang mengetahui kebenaran atas konflik ditanah cendrawasih.

Namun yang harus di ingat adalah semua peristiwa penangkapan secara paksa, kematian, pelanggaran HAM berat, perampasan tanah, operasi militer dan kericuhan saat ini di wilayah West Papua, tidak bisa dipisahkan dari sejarah masa lampau yang disembunyikan oleh Pemerintah Indonesia yaitu penganeksasian atau penggabungan wilayah Papua Barat pada 1 Mei 1963, pasca perjanjian New York pada 15 Agustus 1962.

Sehingga menimbulkan berbagai macam peristiwa (operasi militer Indonesia) yang merenggut jutaan korban oleh militer Indonesia dan penghancuran ruang hidup oleh perusahaan asing (setelah penandatanganan kontrak pertama PT Freeport oleh Pemerintah Indonesia dan AS pada 7 April tahun 1967 untuk beroperasi di wilayah Papua Barat).

“Hal itu membuat bangsa West Papua melakukan berbagai macam perlawanan, membangun organisasi dan AMP untuk melindungi diri dari kepunahan. Maka, tidak bisa kita melihat persoalan yang dialami oleh bangsa West Papua adalah karena kemiskinan, pendidikan yang tidak merata, ataupun pembangunan. Melainkan adalah “masalah kebangsaan.” Masalah kebangsaan merupakan suatu penindasan/penjajahan terhadap nasional dan bangsa minoritas (West Papua) oleh bangsa (Nation Indonesia) yang besar. Hal tersebut telah menjadi bentuk dari kapitalisme sejak ia muncul hingga berkembang,” paparnya.

Saat ini, solidaritas untuk bangsa West Papua masih sangat kurang, terutama dari kalangan organisasi pro-demokrasi, buruh, dan rakyat miskin di Indonesia.

Hal itu tidak terlepas ketidaktahuan mereka atas kondisi riil yang terjadi dan rasa takut akan teror, intimidasi dan ancaman kekerasan dari aparat militer Indonesia yang tidak segan-segan melakukan tindakan apapun untuk membungkam kebenaran atas kejahatan yang pernah mereka lakukan terhadap bangsa West Papua.

Dia beralasan perlu mendukung perjuangan bangsa West Papua karena sebagai sikap bahwa pihaknya tidak mendukung segala bentuk (penjajahan), pembunuhan dan perampasan tanah oleh pemerintah Indonesia lewat tindakan kekerasan oleh Militer.

Kedua usaha untuk memukul kekuasaan borjuis-kapitalis nasional Indonesia, dan ketiga; usaha untuk merebut anti demokrasi yang sudah lama diinjak mati oleh pemerintah monarki konstitusional (borjuis-kapitalis) Indonesia dan militerisme.

Atas kondisi tersebut, pihaknya menuntut agar bangsa West Papua dapat diberikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis, tarik militer organik dan non-organik dari wilayah West Papua, membuka akses jurnalis nasional dan internasional di wilayah West Papua, bebaskan Roland Levy, Kelvin Molama,Voctor Yeimo dan seluruh tahanan politik Papua tanpa syarat, mencabut Otonomi Khusus (Otsus) jilid II, tangkap dan adili pelaku pelanggaran HAM di wilayah West Papua, hentikan tindakan represif terhadap gerakan rakyat West Papua, stop tindakan rasialisme dan rasisme terhadap rakyat West Papua.

Selanjutnya, hentikan perampasan tanah adat di wilayah West Papua, hentikan dekriminalisasi, kriminalisasi terhadap mahasiswa Papua dan solidaritas rakyat Indonesia untuk West Papua serta menutup PT Freeport dan seluruh anak perusahaannya di seluruh wilayah West Papua.(irawan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *