Sriwijayamedia.com – Guna memahami arti harfiah Pancasila, HMI Cabang Jakarta Pusat (Jakpus)- Jakarta Utara (Jakut), mengadakan acara dialog kebangsaan dengan tema ‘Titik Balik Pancasila Ditengah Pergolakan Bangsa’, di Dualitas Coffee, Jalan Prof Dr Soepomo, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan (Jaksel), Kamis (8/6/2023).
Tiga narsum hadir dalam kegiatan itu antara lain Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMU PB HMI Syamsumarlin, Penulis Buku Republik Investor Dr (c) Faisal S Salkatalohy, S.KM., MH., dan Pemerhati Masalah Politik Yohanes Paulus A Zany Namang.
Dialog yang dipandu Ariansyah sebagai moderator ini juga diikuti sekitar 100 peserta yang merupakan perwakilan HMI Jakpus, PMKRI Jakpus, GMNI Jaksel, GMNI Jaktim, SEMMI Jakpus, LMND Jakarta Raya, GMKI Jakarta, HMI Jaksel, GMKI Jakbar, HMI Jakut dan dihadiri Fadli Romidin Ketua Badko HMI/mahasiswa UBK dan Azzuhri Rauf Sekretaris Umum HMI Cabang Jakpus-Jakut.
Ketua Badko HMI Fadli Romidin mengatakan Bung Karno bilang bukan dia yang menciptakan Pancasila, tapi dia hanya menggali warisan budaya yang sudah ada.
“Jadi bicara Pancasila kita harus kembali pada kultur bangsa ini,” ujarnya.
Saat ini, Indonesia tengah memasuki tahun pemilu. Pertarungan politik tentu semakin ramai. Disini banyak orang yang mengaku-ngaku ‘saya Pancasila’, namun nyatanya belum tentu benar-benar menjalankan Pancasila.
“Harapan kita, narasumber bisa memberi adrenalin baru bagi adik-adik kita untuk lebih visioner dimasa depan,” harapnya.
Potret bangsa hari ini ada sesuatu yang hilang, yakni kehilangan sebuah haluan bangsa untuk mengatasi berbagai pergolakan yang terjadi belakangan ini.
“Berangkat dari hal itu, maka kami dari HMI Cab. Pustara mengadakan dialog ini. Sehingga ada obrolan yang bisa dijadikan pedoman. Pancasila bisa hadir sebagai solusi dan jalan tengah permasalahan yang ada,” jelas Sekretaris Umum HMI Cabang Jakpus-Jakut Azzuhri Rauf.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMU PB HMI Syamsumarlin menjelaskan, Pancasila dalam hukum kita dikenal sebagai sumber dasar. Sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka setiap kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari Pancasila.
“Lima sila yang ada didalamnya menjadi segi dalam kehidupan bangsa, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sebagainya,” terangnya.
Nilai-nilai Pancasila, masih kata dia, dibawa dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Maka sudah seharusnya pelaksanaan UUD 1945 pun tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
“Namun masalahnya sekarang ini, dari aspek politik hukum dalam kehidupan bernegara dan berbangsa kita, dimana hukum menjadi sebuah instrumen didalamnya, ada berbagai masalah yang harus dievaluasi dalam masalah politik hukum sebab yang banyak terjadi adalah politisasi hukum untuk melawan rakyat,” paparnya.
Menurut Syam, posisi politik hukum sebenarnya untuk menyejahterakan rakyat. Namun di DPR RI sendiri justru menghasilkan produk-produk hukum yang menindas rakyat.
Contohnya UU Omnibus Law, yang mendapat perlawanan dari kalangan mahasiswa dan berbagai elemen lainnya. Sebab pembentukan undang-undang tersebut minim akan adanya keterbukaan publik.
“Pemerintah yang diharapkan bisa mencari jalan tengah justru mengeluarkan Perppu UU Cipta Kerja,” katanya.
UU Pemilu terkait sistem pemilu kini juga masih dibahas di MK. Sistem proporsional terbuka dan tertutup memang diberlakukan oleh negara ini, maka akan terjadi pergeseran makna apabila sistem diberlakukan secara tertutup.
“Belum lagi terjadinya nepotisme. Karena negara kita ini belum benar-benar mampu menjaga pilar non KKN. Karena itu, jika sebagai rahim politik parpol tidak dapat bekerja dengan baik, maka lembaga eksekutif dan yudikatif akan minim dengan SDM yang baik,” imbuh Syam seraya menambahkan, politik hukum kini justru digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, titipan pasal terjadi. Maka banyak hal yang bertentangan dengan UUD 1945.
Dia menambahkan perguliran kekuasaan dan penerapan kebijakan hukum dinegara ini masih dikuasai oleh para oligarki bangsa. Hukum yang berlaku di Indonesia masih begitu ortodok dan tidak membawa pada kesejahteraan bangsa.
Penulis Buku Republik Investor Dr (c) Faisal S Salkatalohy dalam analisanya menjelaskan, indeks demokrasi Indonesia 2021 hingga kini terus menurun. Ini berarti Indoneaia adalah negara yang cacat demokrasi dan itu terjadi sejak 2004 hingga hari ini.
“Ada sesuatu yang salah dengan konteks perundang-undangan. Selama 2 periode memimpin, hukum tumpul keatas dan tajam kebawah karena bisa dilihat dari pelaksanaan politik hukum. Dimana hukum menjadi panglima politik. Dan hukum dilakukan berdasar otoriter,” ungkapnya.
Pemerintahan sekarang adalah hasil pemilu 2019, yang dikenal dengan cawe-cawean. Yang bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh presiden yakni mengintervensi proses pencalonan presiden 2024. Ini merupakan ketakutan.
“Inti dari Pancasila adalah musyawarah, yang harus diperas intisarinya untuk menghasilkan madu yakni kesejahteraan bagi rakyat Indonesia sesuai UUD 1945. Tapi yang ada kini justru terjadi kemiskinan yang ekstrim,” bebernya.
Sebagai doktor hukum Pancasila, tapi hasil yang dipelajari, UUD 1945 justru sebagai ideologi. Padahal Pancasila yang seharusnya menjadi ideologi.
“Tujuan dari negara adalah welfare state yaitu pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ini saya tulis dalam buku terbaru dan itu akan saya jadikan dasar untuk mendorong terjadinya amandemen UUD 1945. Terutama dalam pasal 33 yang justru liberal dan terjadi dualisme dalam pasalnya, terutama pada ayat-ayatnya seperti pada ayat 4 yang justru menjadi dasar bagi para investor untuk mengeksploitasi negeri ini,” urainya.
Pemerhati Masalah Politik Yohanes Paulus mengatakan,
di Indonesia pertarungan ideologi politik sudah selesai tahun 1965. Jadi kalau pertanyaan mengenai pertarungan ideologis saat ini, itu sudah tidak ada.
“Pancasila bukan untuk dihadapkan pada ideologis internasional. Sebab sosialis di Pancasila saja ada. Komunis sekarang ini tidak ada, yang ada justru liberalisme,” bebernya.
Konstentasi pemilu dengan 3 capres, seperti yang Eep Syaifullah katakan, Ganjar memang nomor 1, tapi presidennya ada di nomor 2 dan 3. Dengan Anies yang dianggap mewakili etnis Arab. Ini sebenarnya berpotensi untuk terjadinya perpecahan. Aparatur sendiri yang membuka potensi terjadinya perpecahan itu.
“Bangsa ini sudah punya potensi perpecahan sejak 1965. Apalagi presiden sudah jelas-jelas katakan dirinya akan cawe-cawe. Yang membuat bangsa ini bisa maju sebenarnya adalah rasa malu. Karena banyak pejabat yang tidak lagi malu-malu pamer kekayaannya. Rasa malu adalah bagian dari karakter bangsa. Ini diberlakukan di Jepang sehingga Jepang menjadi negara yang kuat,” pungkasnya. (Santi)