Jakarta, Sriwijaya Media – Ekonom Universitas Indonesia (UI) Athor Subroto menyatakan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) secara umum mengalami kenaikan drastis di tahun 2020 lalu.
Dia mengilustrasikan dari 2016-2019 sekitar 30%, namun sekarang capai 38,5%.
Dia menilai hal itu masih dalam batas normal dan aman. Ini terbukti dengan beberapa rating ULN Indonesia masih baik. Walaupun terakhir ada rating yang outlook-nya bersifat negatif, tetapi yang lainnya masih baik.
Utang luar negeri yang dimiliki pemerintah jenisnya bermacam-macam, mulai dari Surat Utang Negara (SUN), utang yang berasal dari negara-negara sahabat, hingga concorcium yang pastinya berdasar MoU dan diberikan berdasar kemampuan daya bayar serta rating yang baik ditingkat dunia.
“Kalaupun ada beberapa rating negatif, tapi kita (Indonesia) tidak pernah sampai pada kategori default. Selama ini kita juga tidak pernah melihat adanya tanda-tanda default untuk membayar utang-utang pemerintah, termasuk utang yang harus dibayar pemerintah melalui skema utang negara dan sebagainya. Saya kira ULN Indonesia masih dalam tataran baik dan masih ok. Negara masih melakukan pembayaran, tidak pernah default, dan utang negara kita masih diminati oleh negara-negara investor,” ujar Athor, Senin (25/10/2021).
Dengan kondisi demikian, masih kata dia, investor masih mempunyai keinginan tinggi terhadap status utang Indonesia.
Keadaan tersebut masih aman, terlebih pemerintah juga masih memiliki kemampuan untuk melakukan pembayaran sesuai kesepakatan/kontrak yang ada.
Terkait dengan situasi pandemi Covid-19 sekarang ini, Athor mengakui jika pemerintah mengalami kesulitan dalam meningkatkan budget dan pendapatan praktis.
“Saya melihat pemerintah sebenarnya malah mendapatkan suatu kesempatan untuk memperbesar government spending yang tujuannya digunakan pada situasi sangat sulit seperti saat ini. Dengan government spending yang sangat meningkat akan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, maka daya beli pemerintah/masyarakat masih tetap terjaga,” terangnya.
Begitupun dengan iklim investasi dan ekonomi serta yang lainnya masih bisa berkembang.
Pemerintah memang berusaha membuat daya beli masyarakat tetap terjaga. Oleh karena itu, pemerintah terus memperlebar defisit APBN dan itu mendapat persetujuan DPR RI yang besarannya sekitar 6%.
Dia menganggap pencapaiannya ternyata seperti lebih sedikit dengan perkiraan awal. Hal itu juga merupakan suatu hal yang perlu diapresiasi.
“Dalam situasi seperti ini, pemerintah memang harus banyak mengeluarkan pengeluaran (government spending). Nah, mungkin source-nya adalah tentu dengan menerbitkan SUN dan sebagainya. Termasuk pinjaman luar negeri atau pinjaman dari donor-donor organisasi internasional atau negara sahabat yang lain dan itu juga tidak menjadi masalah termasuk melalui berbagai macam skema utang lain,” jelasnya.
Athor mengakui situasi Covid-19 ini membuat perekonomian negara tidak mudah, tapi pemerintah mengambil langkah tepat untuk terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan government spending lebih besar untuk membangun infrastruktur tidak berhenti.
“Pembangunan infrastruktur tidak berhenti ditengah situasi ekonomi yang sedang sulit, ini satu hal baik,” ucap Athor.
Terkait dengan peluang Indonesia untuk membayar utang-utang yang ada, tanpa memberi tambahan beban kepada rakyat, meski negara memang membutuhkan pendanaan untuk pembangunan yang salah satu sumbernya berasal dari utang.
Utang memang diperlukan dalam hal negara ingin membangun yang lebih besar, karena jika hanya bersumber dari PDB, pajak dan sebagainya tentu masih mengalami kekurangan anggaran untuk memperbesar pembangunan nasional.
Maka negara memang masih perlu berutang. Hanya saja pemerintah harus bisa me-manage utang dengan baik dan masih dalam koridor yang aman. Hal itu masih merupakan hal wajar.
Indonesia juga masih berpeluang besar, sebab momentum perbaikan dari masa pandemi saat ini sudah tampak. Bahwa product manufacture indeks Indonesia juga sudah mulai naik.
Ekspor Indonesia, berdasar data ekonomi terakhir mengalami surplus perdagangan. Itu menandakan berita bagus. Dengan begitu, pemerintah juga bisa meyakinkan kepada investor bahwa pemerintah mampu membayar utangnya tanpa membebani rakyat.
Athor yakin dengan range persentase masih baik sekitar 40%, pemerintah masih dalam koridor yang aman dalam berutang. Tentu itu tidak akan membebani masyarakat juga.
“Pemerintahan manapun tentu tidak ingin membebani rakyatnya dengan utang. Hanya saja pemerintah tentu juga harus menekankan bahwa pendapatan terkait dengan fiskal harus terus didorong. Sehingga ruang fiskalnya akan lebih besar dan kebijakan pemerintah yang akan didukung dengan fiskal ini akan lebih terus didukung dan akan lebih banyak lagi kebijakan fiskal yang bisa dilakukan. Dari pandangan ini masyarakat tentu tidak akan pernah dibebani secara riil,” jelasnya.
Athor juga menyarankan pemerintah dalam melakukan pembayaran dan mengelola utang, apapun itu yang namanya utang memang harus dicermati dan dikelola/manage dengan baik, sehingga utang yang ada tidak mengkhawatirkan investor.
Karena tentu kalau utang negara terlalu besar akan menurunkan minat investor dan itu akan memiliki dampak domino yang besar. Tapi sepanjang manfaat utang itu tepat baik berdasar keperluan jangka pendek atau panjang, maka jika dikelola dengan baik utang jangka panjang untuk investasi jangka panjang seperti infrastruktur dan lain-lain bagus juga.
Utang jangka pendek jika digunakan seperti untuk i-net atau direct pada masyarakat langsung/daerah, hal itu akan memberi manfaat untuk menjaga daya beli masyarakat.
Government spending yang dibiayai oleh utang harus dicermati. Dalam kondisi ini memang diperlukan agar perekonomian Indonesia tetap berjalan.
“Saya harap rasio utang kita terhadap pendapatan PDB jangan sampai 50%. Kalau bisa lebih kecil tentu akan lebih baik lagi. Sehingga pada jangka panjang investor pada akhirnya akan lebih banyak lagi seiring hilangnya pandemi”, harap Athor.
Diketahui, berdasar data Bank Indonesia (BI) posisi ULN pemerintah sampai dengan Agustus 2021 sebesar 207,5 miliar USD atau setara Rp2.925,75 triliun.
Posisi itu tumbuh 3,7% secara tahunan, lebih tinggi dari pertumbuhan sebelumnya sebesar 3,5% year on year. Posisi ini masih aman karena hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah.(santi)