Subulussalam, Sriwijaya Media – Pandemi Covid-19 yang membelenggu sendi kehidupan dalam dua tahun terakhir ini membuat semua orang merasakan dampak teramat perih.
Mulai dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pendapatan usaha menurun drastis, hingga menjadi korban paparan virus Covid-19.
Saptiah (40), janda dikaruniai tiga anak yang masih kecil ini harus berjuang melawan kerasnya dunia pasca sang suami keduanya almarhum Deholi meninggal dunia pada April 2021 lalu.
“Disaat tenaga kesehatan dan rumah sakit kewalahan melayani serta merawat pasien Covid-19, kami justru kesulitan menemukan rumah sakit untuk merawat suami saya. Ya, tepat pukul 11.20 WIB, suami saya menghembuskan nafas terakhir,” kata Saptiah, mengawali kisahnya, ditemui di kediamannya, Senin (22/11/2021).
Setiap wanita memiliki kekuatan, impian, harapan, kemampuan yang kuat untuk kehidupan yang baik. Begitupun bagi warga
Desa Muara Batu Batu Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam ini.
Beruntung, ibu dari Nasiran, Fitan dan Dian ini terlahir di keluarga sederhana yang dididik kedua orang tuanya cukup keras, sehingga membuat ia kuat menjalani kerasnya kehidupan.
Pada pernikahan pertama yang kurang disetujui oleh orangtuanya, ia dan suaminya memutuskan untuk hidup mandiri secara terpisah dari orangtua, dengan memilih mengontrak.
Namun sayang, di kelahiran putranya yang pertama menginjak usia 3 tahun, karena alasan tertentu mereka memilih untuk bercerai.
Ia harus menghidupi anaknya seorang diri. Apapun yang dikerjakan, asalkan mendapatkan upah yang halal, Saptiah dengan ikhlas menjalaninya.
“Ya, hidup ini harus terus dijalani. Kadang saya disuruh membabat rumput dibawah pohon sawit, mencuci pakaian, terpenting saya mendapatkan uang untuk hidup,” aku Saptiah.
Sekitar 6 tahun berlalu, seorang duda yang sudah berumur berniat menikahinya. Karena sudah sama-sama kenal satu dengan yang lain, akhirnya mereka pun melangsungkan pernikahan.
Tahun ketiga, Saptiah dan suami dikaruniai seorang putri, dan empat tahun kemudian kembali dikaruniai anak laki laki.
Setelah anak ketiga menginjak usia dua tahun, terdengar wabah Covid-19 mulai melanda negeri ini. Suami saya terpapar Covid-19.
“Kepergian suami saya membuat saya merasa lumpuh. Ini adalah hari-hari terburuk dalam kehidupan saya. Saya merasa kasihan melihat anak-anak saya yang saat ini masih kecil,” lirih Saptiah dengan air mata dipipinya.
Untuk memenuhi kebutuhannya dan ketiga anaknya, Saptiah melanjutkan pekerjaan mendiang suaminya bekerja disalah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai buruh lepas. Jarak dari rumah ke kebun pun cukup jauh sekitar 7 kilometer.
Dengan gaji Rp 80.000/hari, Saptiah berangkat dari rumah pukul 05.00 Wib dan pulang pukul 17.00 Wib sore, dijemput mobil perusahaan.
“Kadang saya disuruh membabat rumput dibawah pohon sawit, kadang memupuk batang sawit oleh mandor kebun. Anak saya paling kecil saya tinggalkan bersama tetangga. Setelah abang dan kakaknya pulang sekolah, barulah anak saya yang paling kecil dijaga kakaknya,” tutur Saptiah.
Mengingat upah dari bekerja membabat rumput dan memupuk batang sawit dirasa kurang, Saptiah menyempatkan waktu menambah pekerjaan lain untuk mencuci baju dan menyeterika ke rumah tetangga dengan upah sebesar Rp150.000 per bulan.
“Walaupun hidup serba keterbatasan ditengah pandemi Covid-19, namun saya tetap bersyukur bisa berkumpul dengan anak-anak saya dan diberikan kesehatan dari Allah SWT,” terang Saptiah.(maharudin)