Puskadaran DPD RI dan BNN Gelar FGD, Bahas Penguatan Rehabilitasi Medis dan Sosial serta Revisi UU Narkotika

Usai FGD, Puskadaran Setjen DPD RI beserta jajaran berfoto bersama/sriwijayamedia.com-adjie

Sriwijayamedia.com – Pusat Kajian Daerah dan Anggaran (Puskadaran) Sekretariat Jenderal (Setjen) DPD RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama Badan Narkotika Nasional (BNN), di Kantor BNN untuk menginventarisasi berbagai permasalahan dalam pelaksanaan Undang-Undang (UU) No 35/2009 tentang Narkotika, khususnya terkait rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.

Kepala Puskadaran DPD RI Sri Sundari menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPD RI atas pelaksanaan UU agar tetap relevan dengan kondisi sosial dan tantangan penanggulangan narkotika yang semakin kompleks.

Bacaan Lainnya

“Kegiatan FGD ini kami lakukan untuk memastikan pelaksanaan UU tetap relevan dengan tantangan sosial dan kompleksitas penanggulangan narkotika yang terus berkembang,” kata Sri Sundari.

Menurut dia, kerja sama antara Puskadaran DPD RI dan BNN bertujuan menginventarisasi berbagai permasalahan yang muncul dalam implementasi UU Narkotika, khususnya terkait keterbatasan kapasitas lembaga rehabilitasi, tenaga profesional, serta anggaran yang mempengaruhi efektivitas layanan pemulihan.

“BNN telah memaparkan bahwa dari jutaan pengguna narkoba di Indonesia, hanya sekitar satu hingga satu setengah persen yang dapat direhabilitasi setiap tahunnya. Padahal, mereka terus berinovasi dengan program seperti rehabilitasi keliling untuk menjangkau wilayah yang belum memiliki fasilitas tetap. Kinerja mereka layak diapresiasi karena tetap melampaui target meski dengan keterbatasan anggaran,” jelasnya.

Sri Sundari mengatakan, terdapat beberapa poin penting hasil FGD yang akan menjadi dasar rekomendasi kebijakan bagi DPD RI, yaitu penegasan mengenai batas hukum antara pelaku dan korban, penguatan kelembagaan BNN, sinergi lintas lembaga dan daerah, serta harmoni regulasi.

“Harmonisasi regulasi akan memperkuat sistem hukum yang berpihak pada pemulihan korban, namun tetap tegas terhadap pelaku kejahatan narkotika,” tuturnya.

Sementara itu, dr Erniawati Lestari menerangkan bahwa bahwa sekitar 6 persen populasi dunia menggunakan narkoba, dengan ganja sebagai jenis yang paling banyak dikonsumsi.

Di Indonesia sendiri tahun 2023, lanjut Ernawati, prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 1,73% atau 3,3 juta jiwa.

Meskipun dalam tiga tahun terakhir angka penyalahgunaan narkoba di Indonesia menunjukkan tren penurunan, namun ancaman tetap tinggi terutama di kalangan remaja dan pelajar, yang kini menjadi kelompok klien terbesar dalam program rehabilitasi.

Dari sekian banyak prevelansi, ternyata hanya segelintir yang dapat direhabilitasi oleh BNN.

“Hanya sekitar 1 hingga 1,5 persen pengguna narkoba yang dapat direhabilitasi setiap tahunnya, disebabkan keterbatasan kapasitas lembaga rehabilitasi, tenaga profesional, serta anggaran yang tersedia,” ungkap Erniawati.

Meskipun begitu, BNN tetap berupaya untuk mengembangkan berbagai inovasi, seperti rehabilitasi keliling, guna menjangkau pengguna di wilayah yang belum memiliki fasilitas tetap.

“Dengan keadaan anggaran terbatas, kinerja lembaga rehabilitasi BNN kerap melampaui target, menunjukkan komitmen tinggi terhadap pemulihan korban penyalahgunaan narkoba,” jelasnya. (Adjie)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *