Oleh:
Ari Yuliasril, Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas
Di tengah kekayaan seni dan budaya Minangkabau yang berakar kuat pada nilai adat dan agama, Tari Payung menempati posisi istimewa sebagai simbol kasih sayang, perlindungan, dan kebersamaan.
Tarian ini bukan sekadar bentuk hiburan, melainkan manifestasi dari pandangan hidup masyarakat Minang yang menjunjung tinggi cinta, tanggung jawab, dan kehangatan dalam hubungan manusia.
Tari Payung diciptakan oleh Siti Agam pada awal abad ke-20 dan sejak itu menjadi bagian tak terpisahkan dari kesenian tradisional Sumatera Barat (Sumbar).
Gerakannya yang lembut dan musik pengiring yang penuh harmoni mencerminkan kelembutan jiwa masyarakat Minangkabau, yang menganggap kehidupan sebagai ruang untuk saling melindungi dan menghormati.
Dalam setiap pertunjukan, payung bukan sekadar properti, melainkan simbol filosofis, perlindungan seorang laki-laki terhadap perempuan yang ia cintai, serta keseimbangan antara kasih dan tanggung jawab.
Gerak dasar Tari Payung menggambarkan dinamika hubungan antara dua insan. Penari pria memayungi penari wanita sebagai bentuk kasih dan perlindungan, sementara penari wanita membalas dengan gerakan lembut yang melambangkan penerimaan dan rasa hormat.
Setiap langkah, ayunan tangan, dan tatapan mata menyiratkan komunikasi tanpa kata, sebuah bahasa tubuh yang menggambarkan cinta yang tulus dan tanpa pamrih.
Musik pengiring yang dimainkan dengan alat tradisional seperti saluang dan talempong menghadirkan nuansa emosional yang mendalam. Ritmenya lembut, tidak terburu-buru, seolah mengajak penonton merenungi makna ketenangan dalam cinta.
Menurut Sury Rahmadani, peneliti budaya Minangkabau, “Tari Payung adalah bentuk puisi visual, ia tidak berbicara lewat kata, tetapi melalui harmoni antara gerak, irama, dan makna.”
Nilai-nilai budaya Minangkabau yang tertuang dalam tarian ini sejalan dengan filosofi “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, adat bersumber dari ajaran agama.
Dalam konteks ini, kasih sayang dalam Tari Payung bukan sekadar cinta duniawi, tetapi juga simbol tanggung jawab moral yang diakui dalam norma adat dan syariat Islam.
Tari Payung kerap ditampilkan dalam acara pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, dan festival budaya, di mana maknanya menjadi lebih dalam.
Dalam prosesi pernikahan, tarian ini menjadi doa agar pasangan yang menikah diberkahi dengan cinta yang langgeng dan perlindungan dari segala cobaan hidup.
Melalui Tari Payung, masyarakat Minangkabau mengajarkan bahwa cinta sejati tidak diukur dari kata-kata indah, melainkan dari kesediaan untuk melindungi, menghargai, dan menjaga.
Setiap gerakan menjadi refleksi dari nilai-nilai keluarga, kehormatan, dan gotong royong yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tari Payung bukan hanya warisan estetika, ia adalah manifestasi jiwa kolektif orang Minang, pengingat bahwa kasih sayang dan keharmonisan adalah kunci menjaga kebudayaan tetap hidup di tengah arus modernisasi.









