Oleh:
Dzaky Herry Marino, Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas
Busana adat Minangkabau bukan sekadar pakaian upacara, melainkan representasi mendalam dari sistem nilai, keyakinan, dan falsafah hidup masyarakatnya.
Dalam setiap lipatan kain, warna benang, hingga corak hiasannya, tersimpan pandangan hidup “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, prinsip yang menjadi dasar keseimbangan antara adat dan agama dalam budaya Minangkabau.
Bagi masyarakat Minangkabau, berpakaian bukan hanya urusan estetika, tetapi juga soal etika dan simbol moral. Setiap elemen busana adat menggambarkan kedudukan sosial, tanggung jawab, dan martabat seseorang di tengah masyarakat.
Misalnya, perempuan Minang yang mengenakan Limpapeh Rumah Nan Gadang bukan hanya tampil anggun, tetapi sedang menampilkan simbol perannya sebagai tiang keluarga dan penjaga kehormatan adat.
Baju kurung longgar yang menutupi tubuh menunjukkan prinsip kesopanan dan kesucian, sementara tengkuluk, penutup kepala yang menjulang tinggi, melambangkan kewibawaan dan kebijaksanaan perempuan Minang dalam menata rumah tangga.
Warna merah dan emas yang sering menghiasi pakaian adat perempuan bukan sembarang pilihan. Merah melambangkan keberanian dan semangat. Sedangkan emas mencerminkan kemakmuran dan martabat.
Songket yang dipakai, ditenun dengan tangan dan dihiasi benang emas, menjadi simbol kerja keras, kesabaran, dan nilai gotong royong yang kuat dalam masyarakat Minangkabau.
Di sisi lain, busana penghulu untuk laki-laki mencerminkan keteguhan dan tanggung jawab moral seorang pemimpin adat. Warna hitam pada pakaiannya menandakan kematangan berpikir dan kebijaksanaan. Benang emas di tepiannya menggambarkan keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan.
Deta, penutup kepala berbentuk segitiga yang dikenakan oleh penghulu, menjadi lambang kehormatan dan kearifan, tanda bahwa seorang pemimpin harus mampu berpikir tajam dan bertindak bijak dalam menghadapi persoalan kaumnya.
Makna filosofis lain tampak dari keserasian antara busana pria dan wanita dalam upacara adat. Keduanya melambangkan keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, logika dan kasih sayang, prinsip yang menjadi dasar harmoni sosial di Minangkabau.
Busana adat, dengan demikian, bukan hanya pakaian indah, tetapi sebuah bahasa simbolik yang menyampaikan ajaran moral, spiritual, dan sosial secara halus namun kuat.
Di tengah modernisasi, banyak desainer muda Minangkabau kini berupaya menghidupkan kembali nilai-nilai lama melalui interpretasi modern. Songket dan tengkuluk kini muncul dalam busana kontemporer tanpa kehilangan ruhnya. Ini membuktikan bahwa filosofi Minangkabau tidak pernah kaku, ia lentur, seperti falsafahnya, “tak lapuk dek hujan, tak lekang dek paneh.”









