Sriwijayamedia.com — Ketua Komite IV DPD RI Ahmad Nawardi menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang dinilai semakin rentan di tengah derasnya arus persaingan industri perbankan dan transformasi digital.
Nawardi mendorong agar penyelamatan BPRS dijadikan agenda nasional demi memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat di daerah.
“Banyak BPRS yang mengalami kesulitan, bahkan harus dilikuidasi karena keterbatasan pendanaan, lemahnya sistem digitalisasi, dan ketatnya persaingan dengan perbankan besar dan modern,” ujar Nawardi, kepada wartawan usai RDP dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
Nawardi menjelaskan, BPRS memiliki keunggulan sebagai lembaga keuangan yang dekat dengan masyarakat di akar rumput, terutama di wilayah-wilayah yang belum terjangkau bank-bank besar.
Kondisi inilah yang menurut Nawardi harus menjadi perhatian serius pemerintah dan otoritas keuangan nasional.
Dia pun mengapresiasi peran aktif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menjaga keberlangsungan BPRS, tidak hanya melalui fungsi penjaminan simpanan, tetapi juga lewat pelatihan, bantuan teknis, hingga dukungan keuangan.
“LPS menunjukkan kepedulian yang besar. Mereka tidak hanya menjamin simpanan, tapi juga memberdayakan BPRS agar tetap mampu bertahan di tengah tekanan,” ungkapnya.
Nawardi memaparkan bahwa LPS menjamin simpanan nasabah hingga Rp 2 miliar per orang per bank, angka yang lebih tinggi dibandingkan sistem penjaminan di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia (±Rp800 juta) dan Singapura (±Rp850 juta).
Namun demikian, ia juga menyoroti rendahnya pemahaman masyarakat mengenai perlindungan simpanan ini.
“Banyak masyarakat belum mengetahui bahwa dana mereka di BPRS dijamin oleh LPS, asalkan memenuhi kriteria yang ditentukan. Bahkan mereka tidak menyadari bahwa ada premi penjaminan 0,2 persen dari simpanan yang disetorkan ke LPS,” tuturnya.
Hingga tahun 2025, lanjut Nawardi, LPS tercatat telah mengelola aset hasil likuidasi bank senilai sekitar Rp3,5 triliun.
Data tersebut mencerminkan tantangan besar yang tengah dihadapi oleh sektor BPR dan BPRS di Indonesia.
Nawardi menegaskan, upaya penyelamatan BPRS harus menjadi prioritas dalam strategi pembangunan ekonomi nasional.
“Dukungan kebijakan afirmatif dan edukasi publik terkait sistem penjaminan simpanan sangat diperlukan agar kepercayaan masyarakat terhadap BPRS semakin meningkat,” jelasnya. (Adjie)









