Patrialis Akbar Sebut Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu, Melanggar Konstitusi

Mantan Hakim MK Patrialis Akbar, dalam RDPU bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025)/sriwijayamedia.com-adjie

Sriwijayamedia.com – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar menyampaikan kritik keras terhadap putusan MK yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan lokal.

Patrialis menilai putusan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025), Patrialis menyebut bahwa pemisahan pemilu menjadi dua tahap seperti yang diputuskan MK, tidak sesuai dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 22E.

Patrialis menjelaskan, putusan MK membagi pemilu dalam dua tahap. Tahap pertama mencakup pemungutan suara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Sementara tahap kedua yang dijadwalkan berlangsung paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun lima bulan setelah pelantikan digunakan untuk memilih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah.

“Berdasar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pemilu hanya satu kali dalam lima tahun. Bukan dua kali seperti yang diputuskan oleh MK,” ujar mantan Menteri Hukum dan HAM era SBY tersebut.

Patrialis menambahkan, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyebut bahwa pemilu dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPRD.

Oleh karena itu, lanjut dia, seluruh proses pemilihan tersebut harus dilaksanakan secara serentak.

“Yang dipilih melalui Pemilu setiap lima tahun sekali adalah anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden serta anggota DPRD secara serentak dan tidak dipisah-pisahkan, karena berada dalam satu tarikan nafas,” paparnya.

Patrialis juga menyoroti langkah MK yang memasukkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke dalam kategori rezim Pemilu.

Ia menilai langkah tersebut keliru karena Pilkada tidak disebutkan dalam Pasal 22E UUD 1945 sebagai bagian dari Pemilu nasional.

“MK justru memasukkan Pilkada ke dalam rezim Pemilu. Ini tidak sesuai, karena Pilkada tidak termasuk dalam objek Pemilu yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945,” tegasnya.

Dia mengingatkan bahwa kewenangan MK dibatasi oleh Pasal 24C UUD 1945.

Menurutnya, MK hanya memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD, menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus sengketa hasil pemilu, dan membubarkan partai politik.

“Apapun yang dilakukan oleh MK, rujukannya haruslah UUD 1945. MK tidak diberi kewenangan untuk merubah Konstitusi. Yang berhak merubah Konstitusi hanyalah MPR. Jika MK sampai merubah substansi UUD, maka MK justru melanggar Konstitusi itu sendiri,” imbubnya.

Patrialis juga mempertanyakan pertimbangan teknis yang digunakan MK dalam putusannya. Seperti beban kerja penyelenggara pemilu dan potensi kekosongan waktu pelaksanaan.

“Ini adalah persoalan teknis, bukan konstitusional. Putusan MK semestinya tidak didasarkan pada alasan-alasan teknis seperti itu. MK seharusnya menjaga kemurnian Konstitusi, bukan mencampuradukkan tugasnya dengan pertimbangan pelaksanaan teknis,” ungkapnya. (Adjie)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *