OPINI : Ketika Kota Tumbuh, Udara Kita Terkapar

Dosen Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu ITERA Muhammad Hakiem Sedo Putra, ST., MT.,/sriwijayamedia.com-ist

Oleh :

Muhammad Hakiem Sedo Putra, ST., MT., Dosen Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu – Institut Teknologi Sumatera (ITERA) sekaligus Peneliti di bidang Tata Kelola Air, Hidrologi Forensik, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim

Bacaan Lainnya

Palembang hari ini bukanlah Palembang yang sama seperti dua dekade lalu. Ia tumbuh, menjulang, dan berubah cepat menjadi kota metropolitan dengan berbagai infrastruktur baru: mal, apartemen, perumahan elite, hingga jaringan jalan dan tol yang menyambung kawasan.

Namun, di balik geliat pembangunan yang impresif itu, muncul satu pertanyaan besar: siapa yang membayar harga dari semua ini?. Jawabannya, sering kali “lingkungan”.

Kota Palembang saat ini tengah menghadapi krisis lingkungan yang mungkin tidak seketika mematikan, tetapi perlahan menggerogoti kualitas hidup penghuninya.

Polusi udara meningkat, ruang terbuka hijau menghilang, dan pembangunan yang tak ramah lingkungan mulai menekan kemampuan alam untuk menjaga keseimbangannya.

Ketika Aturan Diabaikan

Salah satu kasus yang baru-baru ini mencuat adalah pembangunan Palembang Indah Mall (PIM) yang disebut belum mengantongi dokumen AMDAL secara lengkap. Padahal, dokumen ini adalah syarat mutlak untuk memastikan bahwa proyek tidak menimbulkan kerusakan lingkungan jangka panjang.

Jika pembangunan skala besar seperti mal saja bisa lolos dari kewajiban ini, bagaimana dengan proyek-proyek kecil yang luput dari perhatian publik?

Fenomena ini menunjukkan lemahnya penegakan regulasi lingkungan di tingkat daerah. Banyak pembangunan berlangsung tanpa pengawasan yang ketat, atau bahkan berjalan duluan sambil menunggu “izin menyusul”.

Praktik semacam ini sangat berbahaya. Tanpa kajian dampak lingkungan yang menyeluruh, kita tidak tahu bagaimana pembangunan akan mempengaruhi kualitas air tanah, emisi debu, drainase, hingga kualitas udara sekitar.

Kota Panas, Udara Pengap

Salah satu akibat paling nyata dari pembangunan yang tak terkendali adalah meningkatnya suhu udara kota.

Palembang kini berada dalam tekanan fenomena urban heat island, yakni ketika kawasan perkotaan menyerap dan menyimpan lebih banyak panas dibandingkan daerah sekitarnya.

Hal ini terjadi karena dominasi material bangunan seperti beton dan aspal yang menyerap panas matahari dan memancarkannya kembali ke lingkungan, terutama di malam hari.

Menurut data dari Citra Satelit yang diolah beberapa lembaga lingkungan, suhu permukaan tanah di Palembang meningkat hingga 1,5–2 derajat dalam 10 tahun terakhir, terutama di wilayah yang padat bangunan dan minim pohon.

Kenaikan suhu ini bukan cuma membuat siang terasa lebih menyengat. Ia juga berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan lansia, serta meningkatkan konsumsi energi untuk pendingin ruangan.

Hilangnya Ruang untuk Bernapas

Di saat suhu naik dan polusi meningkat, kita justru kehilangan banyak Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH bukan sekadar taman kota atau pohon pinggir jalan. Ia adalah paru-paru kota yang membantu menyerap karbon dioksida, menurunkan suhu lokal, dan menyediakan habitat bagi keanekaragaman hayati kota.

Namun, luas RTH di Palembang saat ini belum mencapai 30% dari total wilayah kota, angka minimal yang disarankan dalam tata ruang kota berkelanjutan.

Pohon-pohon besar ditebang dengan alasan perluasan jalan. Lahan rawa disulap menjadi kompleks perumahan. Kawasan sempadan sungai diubah menjadi area komersial. Semua dilakukan atas nama kemajuan.

Padahal, di balik semua itu, kota kehilangan kemampuannya untuk menyerap limpasan air hujan, menjaga kelembaban, dan menetralisasi polutan.

Sumber Polusi Lain yang Tak Terkendali

Selain dari pembangunan fisik, Palembang juga menghadapi masalah polusi dari sektor transportasi dan industri. Jumlah kendaraan bermotor meningkat tajam tanpa diimbangi sistem transportasi publik yang efisien. Asap knalpot, terutama dari kendaraan diesel dan angkutan lama, menyumbang sebagian besar partikel debu halus (PM2.5) yang membahayakan paru-paru.

Beberapa kawasan industri di pinggiran kota juga menyumbang emisi gas buang dan limbah cair yang mencemari udara dan air. Sementara itu, pengawasan terhadap emisi dan limbah ini sering kali bersifat pasif, reaktif, dan tidak konsisten.

Di sisi lain, warga yang tinggal di sekitar kawasan ini tidak punya cukup ruang partisipasi untuk mengajukan keberatan atau mengawasi aktivitas yang merusak lingkungan.

Mengapa Kita Diam?

Satu pertanyaan penting yang perlu kita jawab bersama adalah: mengapa masyarakat Palembang seolah diam menghadapi degradasi lingkungan ini?

Ada beberapa faktor. Pertama, isu lingkungan sering dianggap sebagai urusan “nanti” dan bukan prioritas hari ini. Kedua, banyak masyarakat yang belum punya akses informasi yang cukup tentang dampak pembangunan terhadap lingkungan sekitar mereka. Ketiga, ada ketimpangan kekuasaan: suara masyarakat kecil sering tak terdengar dibanding kepentingan bisnis besar.

Padahal, kota ini milik kita semua. Kita berhak untuk tinggal di kota yang sehat, asri, dan berkelanjutan. Kota yang tidak hanya dibangun untuk 5 tahun ke depan, tetapi juga tetap layak huni untuk 50 tahun mendatang.

Jalan Keluar yang Masih Terbuka

Apakah semua ini berarti harapan sudah hilang? Tidak. Masih banyak peluang yang bisa kita ambil untuk memperbaiki arah pembangunan kota:

Tegakkan regulasi lingkungan dengan serius. Pemkot harus memperkuat pengawasan dan memastikan setiap pembangunan memiliki dokumen AMDAL yang transparan dan bisa diakses publik. Tidak boleh ada kompromi terhadap standar ini.

Revitalisasi RTH kota. Pemerintah perlu memetakan kembali kawasan yang bisa dijadikan ruang hijau aktif dan pasif. Pohon jalan, taman komunitas, dan hutan kota perlu diperbanyak dan dirawat dengan anggaran yang layak.

Dorong partisipasi warga. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan tata ruang dan lingkungan. Mekanisme seperti forum warga, audiensi publik, dan pelaporan warga perlu diaktifkan.

Perbaiki sistem transportasi publik. Dengan transortasi massal yang nyaman dan terintegrasi, ketergantungan warga pada kendaraan pribadi bisa ditekan. Ini akan berdampak langsung pada kualitas udara kota.

Dorong pembangunan berbasis ekologi. Setiap gedung baru seharusnya menerapkan prinsip green building dan ramah lingkungan. Pengembang yang berkomitmen terhadap keberlanjutan harus diberi insentif, bukan justru dipersulit izinnya.

Kota Adalah Cerminan Pilihan Kita

Pembangunan kota bukan semata urusan teknis atau ekonomi. Ia adalah cermin dari nilai-nilai yang kita anut. Apakah kita memilih kota yang megah tapi penuh polusi? Atau kota yang sederhana namun ramah bagi setiap makhluk hidup di dalamnya?.

Palembang punya sejarah panjang sebagai kota air, kota budaya, dan kota perdagangan. Sudah saatnya warisan itu dijaga melalui pembangunan yang berakar pada keberlanjutan lingkungan.

Kita perlu kota yang tidak hanya membuat kita bangga dari kejauhan, tetapi juga membuat kita bisa bernapas lega ketika berjalan kaki di siang hari.

Semoga tulisan ini bisa mengetuk kesadaran banyak pihak, bahwa pembangunan tanpa pertimbangan lingkungan bukanlah kemajuan, tapi kemunduran yang dibungkus rapi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *