Sriwijayamedia.com – Komisi II DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah pakar kepemiluan, di Ruang Komisi II DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2025).
RDPU ini dalam rangka meminta masukan-masukan terkait evaluasi Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024 dan juga meminta masukan terhadap penataan sistem Pemilu untuk perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada.
RDPU yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Aria Bima ini menghadirkan para pakar kepemiluan seperti Peneliti Bidang Politik BRIN Moch Nurhasim, S.IP., M.Si, Dosen Hukum Pemilu FH UI Titi Anggraini, SH., MH., Direktur PERLUDEM Khoirunnisa Nur Agusyati, dan Dosen FH Universitas Andalas Dr Khairul Fahmi, SH., MH., yang hadir secara daring.
“UU Pemilu ini adalah UU yang hampir setiap 5 tahun diadakan perubahan, karena kita ingin selalu memperbaiki bangunan hukum dalam berdemokrasi,” kata Aria Bima membuka rapat.
Aria mengatakan, dirinya termasuk orang yang tidak skeptis terhadap keniscayaan adanya perubahan dalam sistem berdemokrasi.
“Tentunya kita berharap proses autokrasi yang sekarang ini didengungkan oleh para penggiat demokrasi itu tidak terjadi, salah satunya kita tetap menjaga aturan-aturan hukum ini selalu kita perbaiki,” terangnya.
Dalam RDPU tersebut, Peneliti Bidang Politik BRIN Moch Nurhasim mengusulkan bahwa evaluasi terhadap pelaksanaan sistem Pemilu dan Pilkada perlu dilakukan.
“Difokuskan untuk memperbaiki kelemahan proporsional terbuka dan kemudahan penyelengara Pemilu serentak. kemudian, memperbaiki sistem rekrutmen politik dan kandidasi, yang berorientasi pada kader. mencegah politisasi lompat pagar, mencegah adanya vote getter, dan calon-calon legislatif berbasis dinasti politik dan pragmatisme politik harus dicegah,” jelas Nurhasim.
Sementara itu, Dosen Hukum Pemilu dari FH UI Titi Anggraini mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu dan Pilkada tidak diserentakkan karena sudah terbukti banyak menimbulkan masalah.
“Pilkada di tahun yang sama dengan Pileg dan Pilpres, merupakan beban berat akibat himpitan tahapan Pemilu dan Pilkada, mengganggu profesionalitas penyelenggara, fokus peserta serta konsentrasi dan orientasi masyarakat atas proses Pemilu dan Pilkada,” imbuh Titi.
Oleh karena itu, Titi mengusulkan adanya jarak waktu yang cukup antara pelaksanaan Pemilu dengan Pilkada.
“Pemilu serentak 2029 dimulai tahun 2029, dan pemilu serentak lokal dimulai tahun 2031 atau jeda 2 tahun,” usulnya. (Adjie)