Sriwijayamedia.com – Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung menyatakan Panitia Kerja (Panja) RUU Minerba telah menggelar rapat untuk membahas Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
Salah satu perhatian utama dalam pembahasan ini adalah transparansi, yang menurutnya justru semakin diperkuat untuk memastikan formulasi regulasi yang lebih tepat.
“Sejak awal, kami menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Minerba bertujuan untuk memperkuat dua aspek utama. Pertama, hilirisasi, yang mempermudah dan memperkuat pengelolaan sumber daya mineral dan batubara agar berdampak lebih besar pada perekonomian nasional. Kedua, affirmative action sebagai implementasi dari Pasal 33 dan Pasal 45, sehingga sumber daya mineral dan batubara dapat diakses secara inklusif oleh seluruh kelompok masyarakat,” ujar Ahmad Doli, saat ditemui wartawan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2025).
Pembahasan dalam sepekan terakhir, kata Doli, berlangsung dinamis dengan berbagai temuan di lapangan yang mengungkap kasus-kasus yang tidak boleh terulang.
Oleh karena itu, regulasi dalam revisi Undang-Undang Minerba harus diperketat.
Salah satu fokus utama adalah affirmative action yang melibatkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, koperasi, usaha kecil menengah, dan perusahaan perorangan dalam pengelolaan tambang.
“Ormas keagamaan kini diperbolehkan membentuk badan usaha, begitu juga koperasi dan usaha kecil menengah. Ini untuk memberikan akses lebih adil bagi kelompok yang selama ini kalah bersaing dengan pemilik modal besar,” jelasnya.
Regulasi baru, nantinya, akan memberikan peluang bagi mereka untuk membentuk usaha resmi dalam bentuk koperasi, usaha kecil menengah, atau perusahaan perorangan.
Selain itu, prioritas pengelolaan tambang akan diberikan kepada tiga entitas utama, yaitu BUMN, BUMD, dan badan swasta yang ditunjuk pemerintah.
“Ketiga entitas tersebut akan dikoneksikan dengan perguruan tinggi tertentu yang menjadi penerima manfaat, bukan pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Perguruan tinggi hanya menerima manfaat dalam bentuk kerja sama, termasuk mekanisme pembagian royalti dan dana pendukung bagi pengembangan akademik,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, tambah Doli, sebagian besar anggota Panja sepakat bahwa daerah tambang harus memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat.
Dalam implementasinya, pemilik IUP dan IUPK wajib berkonsultasi dengan Menteri, pemerintah daerah, serta masyarakat lokal dan adat sebelum menyusun program pemberdayaan.
“Masyarakat tidak hanya menjadi penerima dana CSR, tetapi juga dilibatkan dalam perencanaan hingga operasional tambang,” tambahnya.
Doli juga menegaskan bahwa mekanisme pemberian izin tambang dalam revisi ini berbeda dengan aturan sebelumnya.
“Undang-Undang Minerba yang lama hanya mengatur pemberian izin melalui lelang. Sekarang, ada dua mekanisme, yaitu lelang dan pemberian izin secara prioritas untuk ormas keagamaan, koperasi, usaha kecil menengah, dan perguruan tinggi melalui BUMN, BUMD, atau badan swasta yang ditunjuk pemerintah,” jelasnya.(raya)