Sriwijayamedia.com – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan beberapa catatan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana.
Catatan tersebut disampaikan ICJR dalam siaran pers tertulis Peneliti ICJR Girlie LA Ginting.
Girlie LA Ginting mengatakan, ICJR sepakat terhadap kebijakan yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia namun pihaknya meminta adanya transparansi dan kejelasan hukum.
“Namun terhadap proses pemberian amnesti 44.000 narapidana, ICJR memiliki sejumlah catatan soal transparansi dan akuntabilitas proses ini,” tulis Girlie, pada Rabu (8/1/2025).
Catatan tersebut menyoroti fokus pemerintah seharusnya tidak hanya pada soal kepentingan untuk mempublikasi data Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang akan diberikan amnesti, tetapi juga perlu memperhatikan lebih besar pada legitimasi pemberian amnesti ini.
Perlu ada kebijakan dasar amnesti agar terdapat pertimbangan yang adil bagi potensial 44.000 narapidana yang akan diberikan amnesti.
“Kami memahami bahwa pemerintah akan beragumen bahwa amnesti bagian dari hak Presiden, namun kami mengingatkan bahwa dasar amnesti diberikan karena kelebihan penghuni lapas yang terjadi bertahun,” tulisnya
ICJR menuntut pemerintah agar berfokus pada WBP yang sedari awal tidak layak dipenjara karena kerangka hukum yang bermasalah sehingga perlu adanya dasar aturan kepada siapa amnesti tersebut diberlakukan.
Pihaknya menegaskan, tanpa adanya kebijakan yang mengatur mengenai mekanisme pemberian amnesti, maka akan ada ketidakjelasan mekanisme uji ataupun komplain yang dapat ditempuh jika ada pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian dan pemberiaan amnesti tersebut.
Kemudian, ICJR juga menuntut agar Pemerintah memperhatikan perlindungan data pribadi para WBP karena memiliki hak privasi yang tidak sepenuhnya dapat diketahui oleh khalayak umum. Transparansi yang diinginkan adalah adanya aturan yang dapat diakses publik dan bukan informasi pribadi WBP.
“Selain itu, pemerintah juga akan memberikan amnesti pada terpidana penghinaan presiden, maka kriminalisasi penghinaan presiden harus juga dihapuskan dalam UU No. 1/2023 tentang KUHP yang baru. Pemerintah harus melakukan penguatan terhadap persiapan implementasi KUHP Baru yang mendorong respon non penjara melalui pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda serta menghentikan ketergantungan dengan pemenjaraan,” jelas Girlie. (Ivana)