Sriwijayamedia.com – Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah memuji kebesaran jiwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang lebih memilih untuk tidak bertengkar, serta melakukan rekonsialiasi politik usai dua kali pemilu yang berlangsung sengit, dan akan menciptakan sejarah transisi pemerintahan yang damai.
“Banyak orang yang tidak mau terima hasil-hasil ini, tetapi kita sebagai bangsa yang bersyukur, kita harus mengakui bahwa ada kebesaran jiwa dari pemimpin yang kemudian menyatukan kita,” kata Fahri Hamzah, dalam diskusi Gelora Talks bertajuk ‘Melepas Jokowi, Menyambut Prabowo, Menyongsong Indonesia Maju’, Rabu (25/9/2024) sore.
Atas kebijaksanaan Jokowi tersebut, Fahri pun tidak heran jika hasil survei Poltracking terbaru menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi mencapai 86,5 persen.
Menurut dia, angka tersebut membuktikan bahwa masyarakat mendukung keputusan-keputusan yang diambil Jokowi, termasuk soal rekonsiliasi.
Karena itu, kata Fahri, ide keberlanjutan rekonsiliasi menjadi tema bangsa Indonesia kedepan.
Maka saat masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir pada 20 Oktober 2024, selanjutnya kepemimpinan akan dilanjutkan presiden terpilih Prabowo Subianto.
“Transisi pemerintahan akan berjalan lancar tanpa hambatan karena rekonsiliasi dan konsolidasi telah terbangun dengan sangat baik,” kata Wakil Ketua DPR periode 20214-2019.
Dalam menyambut pemerintahan mendatang, Fahri mendorong agar dilakukan evaluasi terhadap sistem presidensial yang dinilainya terjadi banyak pergeseran.
“Hari-hari ini memang kita memerlukan konsolidasi presidensial bahwa presiden terpilih adalah satu-satunya power di ranah eksekutif,” terangnya.
Sebab, kekuasaan di eksekutif sering kali tidak solid. Misalnya terjadi persaingan antar kementerian, sehingga terlalu banyak power-power liar yang menjadi pengendali kekuasaan di eksekutif
“Sehingga anggota kabinet itu tidak solid antara kementerian yang harusnya bersatu karena beririsan malah saling mengiris, ini harus diakhiri,” paparnya.
Maka dari itu, masa transisi pemerintahan ini menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk bersatu dan mendukung pemerintahan yang baru demi masa depan yang lebih baik.
Fahri menyebut ada indikasi beberapa pihak berupaya mengganggu soliditas kepemimpinan Prabowo, dengan cara seperti menyingkirkan Gibran Rakabuming terlebih dahulu. Sikap ini dinilainya menunjukkan niat berkoalisi yang tidak tulus.
“Kalau mau ikhlas (bergabung), terima hasil pemilu ungkapkan terima kasih kepada Pak Prabowo dan Pak Jokowi yang telah mempersatukan kita dan akui bahwa kepemimpinan Pak Jokowi dalam memimpin kita selama ini ada banyak keberhasilan yang harus kita terima, baru kita bisa bergabung,” tegasnya.
Fahri berharap parpol yang bergabung dalam pemerintahan koalisi Prabowo-Gibran tidak berpikir mundur, mengganggu soliditas koalisi. Apalagi merecoki jalannya roda pemerintahan.
“Kita semua harus berpikir, bagaimana menyongsong kemajuan kita yang sudah kita rancang 2045 pada saat 100 tahun Indonesia merdeka. Dimana kita betul-betul sudah menjadi negara industri dengan tingkat perkapita dan kesejahteraan yang tinggi, sehingga menciptakan peradaban yang baik,” tuturnya.
Fahri meminta para elite untuk segera mengakhiri pertengkaran, yang terkadang bertengkar karena alasan yang tidak jelas.
“Kita sambut Pak Prabowo dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Jokowi. Mudah-mudahan mereka tetap bersatu, sehingga pembangunan kita bisa lebih lancar,” jelasnya.
Masalah Sejarah Transisi
Sementara itu, Ketua Relawan Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer mengatakan Indonesia selama ini punya masalah sejarah terkait proses transisi pemerintahan. Dimulai di era Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga Megawati Soekarnoputri.
“Baru transisi sedikit beradab dan terhormat itu dari Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ke Pak Jokowi. Nah, kedepan ini tradisi itu akan dilanjutkan Pak Jokowi ke Pak Prabowo. Pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pemerintahan berkelanjutan,” urai Immanuel Ebenezer.
Joman berharap tradisi transisi pemerintahan berkelanjutan ini bisa terus dilanjutkan, sehingga tidak ada lagi warisan-warisan konflilk seperti konflik ideologi.
“Kita tidak ingin bangsa ini terjebak dengan persoalan-persoalan lama, kita harus tolak. Kita sudah sepakati soal presidensial, artinya kekuasaan tunggal itu hanya ada di eksekutif, yaitu presiden. Jangan sampai ada urusan kekuasaan liar, yang menghasilkan boneka-boneka.Kalau bonekanya lucu nggak apa-apa, tetapi kalau bonekanya monster seperti di dalam film Chucky sangat menakutkan, kita tidak mau,” katanya.
Noel, sapaan akrabnya ini meminta agar pemerintahan Pravowo-Gibran melanjutkan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, serta tidak menyimpang dari program-program prioritas yang telah dikampanyekan.
“Target kita 2045 itu, membangun sumber daya unggul. Semoga program unggulan Prabowo-Gibran bisa menciptakan generasi unggul, bukan generasi yang menerima warisan kebencian konflik,” ulasnya.
Menurut dia, politik berbasis dendam dan kebencian politik. Noel mengaku bangga dengan Jokowi dalam konteks politik hari ini yang telah dilakukannya.
“Dulu orang alergi sebut nama Anies (Anies Baswedan), tapi sekarang PDIP berani sebut nama Anies, bahkan Anies diudang. Padahal kita paham yang meradikal-radikal Anies itu ya mereka, sementara kelompok pendukung Anies mengkafir-kafirkan PDIP. Dengan adanya Jokowi terkonsolidasi mereka, tidak saling mengharamkan lagi. Hebat juga kan berarti Jokowi,” ujarnya.
Artinya, sejelek apapun pendapat orang terhadap Jokowi, tetapi Jokowi berhasil menyatukan dua kutub yang sebelumnya tidak bisa ketemu, akhirnya bisa ketemu dan menyatu.
“Semoga ke depan ini sebagai anak bangsa bisa melihat mana yang substansi dan mana yang tidak substansi. Kita capek berkelahi terus, saatnya bersatu dan membangun,” pinta Noel.
Pengamat politik President University AS Hikam menambahkan, transisi pemerintahan keberlanjutan dari Presiden Jokowi ke Presiden terpilih Prabowo Subianto akan berdampak pada penguatan demokrasi Indonesia.
“Pergantian pemerintahan akan membawa dampak kepada relasi masyarakat sipil dengan masyarakat politik terhadap kehidupan berdemokrasi. Kita berharap akan menghasilkan suatu proses demokrasi yang lebih maju, lebih baik dan lebih konsitusional,” imbuh AS Hikam.
Ia menilai kedepan Prabowo hendaknya tidak perlu terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan Jokowi dalam 10 tahun terakhir.
Tetapi fokus pada berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat sekarang.
“Seperti makan gratis, susu gratis, pemberantasan korupsi, kalau kelanjutan IKN itu bukan dambaan masyarakat. Bidang-bidang prioritas masyarakat perlu diprioritas Prabowo dalam 5 tahun ke depan,” kata mantan Menristek 1999-2001 era Gus Dur ini. (adjie)