Sriwijayamedia.com -Ketua Komisi I DPR 2010-2016 Mahfuz Sidik mengatakan kemerdekaan Palestina tidak akan pernah bisa terwujud apabila bangsa Palestina dibiarkan berjuang sendiri.
“Karena isu Palestina versus Israel ini, bagian dari pertarungan global. Kehadiran atau eksistensi negara yang bernama Israel di tanah Palestina itu, bagian dari skenario kekuatan barat,” kata Mahfuz, dalam diskusi Gelora Talks, Rabu (31/7/2024).
Dalam diskusi dengan tema ‘Rekonsiliasi Hamas dan Fatah & Diplomasi Baru China di Timur Tengah itu, Mahfuz mengatakan, Israel tidak akan pernah berdiri sebagai negara, jika tidak ada skenario dan agenda kekuatan barat setelah Perang Dunia II.
“Begitupun dengan Palestina tidak akan bisa eksis sendiri, juga membutuhkan keterlibatan kekuatan-kekuatan di luar itu. Kita harus berperan aktif dalam perdamaian dan kemerdekaan Palestina,” katanya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora ini mengatakan Indonesia bisa memainkan perannya lebih jauh, karena konstitusi mengamanatkan hal itu, sehingga bisa menjadi pijakan bagi politik luar negeri kita.
“Seperti kata Menlu China (Wang Yi) untuk mendukung kemerdekaan Palestina itu, membutuhkan dukungan internasional, meskipun mereka memiliki hak veto. Di PBB tidak akan selesai, jika Palestina dibiarkan sendiri,” tuturnya.
Menurut dia, Indonesia harus mengkapitalisasi hal itu, menjadi kekuatan di level middle power. Indonesia harus memainkan ‘puzzle’ dukungan internasional untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
“Dukungan masyarakat dan pemerintah Indonesia memang luar biasa, tinggal kita highlight langkah-langkahnya seperti apa, sehingga bisa menjadi model politik luar negeri kita. Kita titipkan ke Pak Prabowo setelah dilantik, kemerdekaan Palestina harus jadi agenda utama,” imbuhnya.
Duta Besar LBBP RI untuk Yordania merangkap Palestina Ade Padmo Sarwono mengaku pesimis perdamaian di Palestina bakal terwujud pasca terbunuhnya Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh di Iran.
“Terbunuhnya Ismail Haniyeh akan memperkuat konsolidasi persatuan di Palestina. Mereka akan mengubah kembali jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencapai kemerdekaan, dengan senjata lagi. Situasi ini akan memperkeras perjuangan melalui senjata,” papar Ade Padmo.
Perjanjian antara Hamas dan Fatah dalam ‘Deklarasi Beijing’, kata Ade Padmo, sebenarnya menjadi hal menarik, karena untuk pertama kali kesepakatan diantara faksi-faksi di Palestina ditandatangani di luar Timur Tengah.
“KIta sebenarnya menyambut baik rekonsiliasi nasional di antara faksi-faksi Palestina. Tetapi situasi hari ini menyebabkan temperatur di kawasan Timur Tengah naik, ketegangan semakin tinggi. Nampaknya akan semakin sulit dan semakin susah untuk mencapai gencatan senjata yang saat ini,” jelasnya.
Harus Jadi Mediator
Sementara itu, Pengajar dan Peneliti Hubungan International Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah Setiawati menilai China berhasil mengambil kesempatan ketika Amerika Serikat (AS) sedang tidak populer.
Akibat dukungannya kepada Israel dan membiarkan adanya pembantaian terhadap rakyat Palestina.
“Dalam teori negosiasi, China berhasil membawa pihak-pihak yang berkonflik ke wilayah netral untuk didamaikan. Tetapi itu, tidak cukup hanya menjadi fasilitator, karena kesepakatannya tidak mengikat. China harusnya menjadi mediator, bukan faslitator,” ungkap Siti Mutiah Setiawati.
Dengan menjadi mediator, lanjut dia, China bisa mendorong adanya ‘agreement treaty’ atau MoU antara Hamas dan Fatah agar dilaksanakan dalam rangka membangun negara Palestina merdeka.
Hal itu tidak akan tercapai, apabila China sekedar memfasilitasi perundingan saja.
“Indonesia sebenarnya punya pengalaman menjadi mediator dalam menangani masalah Kamboja. Mereka bertikai diundang ke Jakarta untuk meeting, dan masalah Kamboja tuntas sampai sekarang,” katanya.
Artinya, Indonesia sebenarnya punya pengalaman menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dibandingkan China.
Apalagi Indonesia juga memiliki kedekatan dengan faksi-faksi di Palestina, serta mendukung kemerdekaan Palestina.
“Peran ini bisa dimainkan Indonesia, karena kesuksesan Deklarasi Beijing ini sangat tergantung pada Hamas dan Fatah sendiri yang berunding. Nah, Indonesia bisa masuk menjadi mediator,” ujarnya.
Duta Besar RI untuk Australia dan Tiongkok 2003-2013 Imron Cotan menambahkan, konflik di Timur Tengah menjadi momentum bagi negara-negara middle power seperti Indonesia untuk mendorong kemerdekaan Palestina.
“Presiden terpilih kita (Prabowo Subianto) ini orang yang mengerti betul politik regional dan global. Lihat saja, beliau sudah berkunjung kemana saja dari Prancis masuk Serbia, lalu Turki dan sekarang ke Rusia,” kata Imron Cotan.
Prabowo, kata Imron Cotan, memberikan perhatian penuh terhadap isu-isu global seperti konflik di Timur Tengah dan perang Rusia-Ukraina.
Sebab, kerusuhan di tingkat global akan mempengaruhi jalur logistik dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Saya kira Presiden terpilih akan memimpin negosiasi dan diplomasi secara langsung, karena beliau mengetahui betul politik luar negeri Indonesia. Prabowo memberikan perhatian penuh terhadap isu-isu global, termasuk mendukung kemerdekaan Palestina,” jelasnya. (adjie)