Oleh :
Andreas Meylando, S.PSi., Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Adanya wacana penambahan kementerian baru di era pemerintahan Prabowo Gibran menimbulkan pro kontra dikalangan masyrakat, elit politik dan berbagai pihak. Mereka menanggapi bahwa wacana penambahan kementerian tersebut tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi.
Melalui Juru Bicara (Jubir) Prabowo, Danhil Simanjuntak mengungkapkan bahwa Prabowo tidak pernah mengeluarkan wacana tersebut. Tetapi di kesempatan berbeda, Wakil Presiden Terpilih Gibran mengungkapkan bahwa penambahan kementerian sedang dibahas.
Disentralisasi dan Otonomi Daerah (Otda)
Indonesia sejak 2021 sudah melaksanakan kebijakan disentralisasi dan otonomi daerah, dimana pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal. Lalu apa relevansinya sehingga birokrasi dipusat itu ada wacana penambahan kementrian jika bukan untuk kepentingan koalisi.
Justru kabinet gemuk ini akan memiliki konsekuensi boros dan tidak efektif, yang menjadikanya hanya kaya dengan struktural bukan kaya dengan fungsi. Sebab semakin banyak kementerian semakin banyak pula sumber korupsi. Dimana program ini tidak sejalan dengan cita cita para pendiri bangsa ini.
Namun Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman berpendapat wajar apabila jumlah kementerian diperbanyak karena Indonesia merupakan negara yang besar sehingga butuh bantuan dari banyak pihak.
Menurutnya, semakin banyak jumlah kementerian justru baik bagi pemerintahan dan pelayanan publik karena Indonesia memiliki target sekaligus tantangan yang besar untuk diraih.
UU Tentang Kementerian Negara
Pasal 15 Undang-Undang (UU) No 39/2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa “Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat).
Sementara itu Badan Legislasi DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas berujar revisi UU Kementerian Negara merupakan RUU kumulatif terbuka, sehingga meskipun tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024 revisi regulasi tersebut dianggap sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 79/PUU-IX/2011.
Hak Preogratif Presiden
Berbicara dalam pembentukan dan penyusunan kabinet memang merupakan hak preogratif seorang presiden. Namun demikan, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan UU dan sesuai dengan kebutuhan dan konstitusi negara.
Idealnya kabinet yang akan baru disusun jangan sampai menyalahi atau menciderai aturan perundang undangan, sehingga membuat kepemimpinan Prabowo Gibran menjadi autokrasi.
Memperkuat Koalisi
Rekonsiliasi politik memang memiliki harga yang cukup tinggi apalagi isu wacana penambahan kementerian dalam kabinet Prabowo-Gibran setidaknya memiliki upaya untuk memperkuat koalisi di dalam pemerintahan. Dan membatasi ruang gerak oposisi.
Pengamat Politik dari Populi Center Usep Saepul Ahyar mengungkapkan penambahan jumlah kursi kabinet merupakan sebagai bentuk konsekuensi Prabowo dalam mengakomodasi hasrat politik parpol koalisi.
Bila dibandingkan dengan negara lain seperti Australia memiliki 21 Menteri, India 28 Menteri, Malaysia 24 menteri, Inggris 22 Menteri, Jepang 19 Menteri dan Amerika Serikat sebanyak 14 Menteri. Dimana negara maju relatif lebih sedikit kementeriannya dan kaya dengan fungsi dibanding di Indonesia.
Ini jelas kebutuhan koalisi, dimana harga rekonsiliasi politik yang cukup mahal untuk memperkuat pemerintahan Prabowo Gibran kedepannya.