Oleh :
Aryo Dipo Murti, Kepala Sub Bagian Umum Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Palembang, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI
Saya bekerja di KPPN, yaitu kantor pemerintah yang tugasnya melakukan pembayaran atas beban APBN. Mulai dari pembayaran gaji, belanja barang, belanja modal, operasional kantor, bantuan sosial dan lain sebagainya.
Pembayaran ini dilakukan melalui Surat Perintah Membayar (SPM) yang diajukan instansi pemerintah ke KPPN. Menjelang akhir tahun atau Hari Raya, volume SPM ini biasanya meningkat drastis. Bisa mencapai ratusan SPM per harinya.
SPM ini harus diperiksa dengan teliti, baik mulai dari memeriksa kelengkapan dokumen, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan, kebenaran akun, hingga pemeriksaan tanda tangan.
Pekerjaan ini dibantu dengan komputer, tetapi porsi pemeriksaan manualnya juga cukup banyak dan melelahkan.
Pekerjaan ini menuntut ketelitian yang tinggi. Di kantor saya, ada seorang bapak berusia paruh baya yang biasa mengerjakan pemeriksaan ini. Bertahun saya bekerja bersama dan mengamati si bapak pemeriksa ini. Gerak tubuhnya, perhatiannya, caranya mengoreksi SPM selalu sigap menyambut pekerjaan ini dengan antusias.
Bahkan saat harus bekerja lembur sekalipun, sikapnya tidak berubah. Karena aku tahu dan mengalami sendiri saat load pekerjaan sedang tinggi biasanya kebanyakan orang cenderung tidak sabar dan menjadi emosional.
Tetapi bapak pemeriksa ini memiliki ketenangan yang luar biasa. Suatu ketika saya tidak tahan untuk bertanya kepada si bapak pemeriksa apa rahasianya bisa setenang itu menghadapi pekerjaan. Si bapak bukan tipe orang yang pandai berfilosofis, tetapi kudapatkan kesimpulan jawabannya adalah tafsir beliau atas pekerjaannya. Beliau menyadari dalam SPM yang diperiksa, ada guru honorer di daerah yang menantikan pencairan upahnya. Ada anak di dusun yang mengunggu pencairan bantuan sosial.
Singkatnya, si bapak memastikan tidak ada kesalahan yang akan menghambat pencairan dana atas SPM tersebut. Karena ada tangan-tangan yang betul-betul membutuhkan.
Lebih jauh lagi kukorek, lebih dalam lagi jawabannya. Dia menerima ini sebagai konsekuensi logis dari pekerjaannya. Seolah makin dalam ia menjelaskan, makin terbebas ia dari tekanan pekerjaan karena semakin sebanding dengan manfaat atas apa yang dia kerjakan.
Dengan pekerjaan itu, ia menafkahi keluarganya, menguliahkan anaknya, membangun rumah di kampungnya. Di sinilah saya merasakan kedewasaan spiritual dari seorang pegawai. Inilah “tangan-tangan tak terlihat” yang membuat orang bekerja dengan keikhlasan, bahkan tanpa atasan yang mengawasi. Tidak ada yang menandingi etos kerja seseorang jika sudah sampai pada tingkat kedewasaan spiritual seperti ini.
Pengertian Kedewasaan Spiritual
Kedewasaan spiritual pegawai menurut definisi saya adalah kondisi pegawai yang sudah memahami nilai-nilai yang positif dalam pekerjaannya, profesional menjalani pekerjaan sejalan dengan nilai-nilai tersebut, serta bisa membedakan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.
Meskipun kita membicarakan kedewasaan spiritual, hal ini bukan terbatas membicarakan agama saja dalam konteks yang formal. Ini berkaitan dengan sebuah intuisi manusia untuk menuju pusat-pusat nilai yang baik dan universal, dan menerapkannya ke dalam pekerjaan sehari-hari.
Saya meyakini dunia kerja di negeri ini akan bisa naik kelas menuju kemuliaan kalau saja setiap pelakunya bisa merajut kedewasaan spiritual dalam keseharian.
Sulit bagi saya membayangkan orang yang telah dewasa secara spiritual bisa berlaku tidak jujur, menyelewengkan kewenangan jabatan, atau tidak amanah dalam bekerja.
Tugas organisasi adalah untuk berinvestasi kepada pegawainya untuk memupuk kedewasaan spiritual ini pada setiap individu pegawainya. Caranya tentu tidak terbatas pada poster, spanduk, atau slogan belaka. Tidak cukup dengan memasang slogan “Kerja keras, Kerja cerdas, Kerja ikhlas”.
Harus lebih dalam dari itu, dan jangan mengharapkan hasilnya akan kelihatan dalam waktu singkat. Kedewasaan spiritual ini tidak berkaitan sama sekali dengan usia pegawai. Ia bisa dimiliki oleh anak-anak muda yang berintegritas, atau pegawai paruh baya yang tekun dan bijaksana.
Selanjutnya adalah bagaimana organisasi bisa diisi oleh orang-orang yang dewasa secara spiritual. Pertama adalah saat rekruitmen pegawai. Saya pernah membaca ada tools psikologi, dengan serangkaian tes yang bisa mengetahui seseorang berintegritas atau tidak. Bisa juga dengan metode wawancara oleh psikolog yang kompeten.
Saya percaya, dengan merekrut orang-orang yang berintegritas dan memiliki attitude baik, merupakan permulaan yang bagus untuk membentuk tim kerja yang baik.
Cara kedua adalah dengan keteladanan. Ada peribahasa, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” yang hikmahnya adalah keteladanan. Jika atasan menyimpang, maka bawahanya akan menyimpang pula. Atau jika diambil positifnya, jika atasnya lurus, maka yang dibawah pun akan lurus. Disinilah peran besar atasan yang selalu menanamkan pesan-pesan kedewasaan spiritual, bukan hanya melalui ucapan tetapi juga melalui prilaku dan keteladanan. Ucapan dan keteladanan adalah suatu yang tidak bisa dipisahkan karena kalau keduanya berlawanan akan menimbulkan hal yang kontraproduktif.
Contohnya, atasan yang selalu menyuruh bawahannya tepat waktu sedangkan ia sendiri selalu terlambat dalam rapat adalah hal yang konyol. Atau atasan yang bericara tentang keikhlasan dalam bekerja tetapi menggerutu saat sibuk adalah contoh yang buruk.
Saya percaya, atasan-atasan yang dewasa secara spiritual akan menularkan sikap positif ini kepada bawahannya. Bisa dengan kegiatan pekerjaan sehari-hari atau dikemas secara formal melalui kegiatan coaching dan conselling.
Cara ketiga yaitu dengan berinvestasi pada kegiatan-kegiatan yang membangun kedewasaan spiritual pegawai. Contohnya dengan mengadakan ceramah keagamaan secara berkala dengan mengundang rohaniawan, mengangkat tema spiritualitas dalam bekerja. Banyak juga sekarang ini trainer-trainer yang secara spesifik membantu perusahaan dalam hal pengembangan diri pegawai.
Itulah setidaknya tiga hal yang bisa dilakukan oleh organisasi untuk membangun pribadi pegawainya menuju kedewasaan spiritual. Tetapi yang perlu diiingat, effort membentuk pegawai yang dewasa secara spiritual dan sarat dengan nilai-nilai kemuliaan adalah sebuah ibarat lari jarak jauh, bukan lari sprint. Disana dibutuhkan ketekunan, keuletan, dan pembinaan yang berkesinambungan dari organisasi.
Bayangkan jika organisasi diisi oleh pegawai-pegawai yang tidak dewasa secara spiritual. Saya pernah melihat di ruang praktik dokter sebuah klinik. Ada karyawan yang bermuka masam, sering galak kepada pasien yang mendaftar.
Saat dia melayani, mencari kartu berobat, dan berbicara ketus kepada pasien, kata-kata serta bahasa tubuhnya seolah menyiratkan tekanan pekerjaannya. Makin banyak pasien, makin tertekan dia. Terlepas dari apapun masalah orang ini, marilah bersepakat bahwa itu adalah salah satu ciri orang yang belum dewasa secara spiritual dalam memaknai pekerjaannya. Kalau orang-orang seperti ini yang mengisi organisasi, maka organisasi tersebut akan menjadi organisasi yang dihujat bersama oleh masyarakat. Kalau dia sebuah perusahaan, dia akan menjadi perusahaan yang menunggu gulung tikar.
Dahsyatnya Kedewasaan Spiritual
Tetapi percayalah, segala effort yang dilakukan organisasi akan membuahkan hasil yang sepadan dalam jangka panjang. Bayangkan dampaknya jika organisasi memiliki pegawai-pegawai yang matang dan dewasa secara spiritual.
Pertama, dari sisi integritas moral. Pegawai akan berlaku jujur, menghindari dari kecurangan, menolak segala jenis penyelewengan walaupun tidak ada yang mengawasi. Kedua, dari sisi kinerja. Pegawai yang matang spiritualnya akan menganggap bekerja adalah ibadah, akan menyambut segala pekerjaan yang diamanatkan kepadanya dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab.
Inilah energi spiritual yang sama yang menggerakkan seorang guru mengajar baca tulis kepada suku anak dalam di Jambi dengan gembira. Atau dokter yang mengabdi di pedalaman Papua tanpa pamrih. Demikianlah betapa dahsyatnya kedewasaan spiritual bekerja !.