Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta Tuntut Pencabutan UU DKJ

PBHI Jakarta bersama LBH Jakarta dan Wahi Jakarta mengatakan diskusi terkait pemindahan dan pembangunan IKN/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com- Setelah proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) telah digulirkan oleh pemerintahan Jokowi dan disahkan oleh DPR, yang kini telah menjadi Undang-Undang (UU) No 3/2022 tentang IKN sebagaimana telah diubah dengan UU No 21/2023 tentang Perubahan atas UU No 3/2022 tentang IKN, menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik.

Selain pembuatan undang-undangnya yang tidak transparan, partisipatif dan tergesa-gesa. Pemindahan dan pembangunan IKM baru tersebut dinilai tidak memberi dampak secara langsung bagi rakyat, melainkan hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Bacaan Lainnya

Belum lagi praktik industri ekstraktif yang mengancam kerusakan ekologis. Tidak sampai disitu, kini publik juga dibuat bertanya-tanya: bagaimana status DKI Jakarta pasca UU DKJ disahkan?. Apa dampak dari sinkronisasi pembangunan Provinsi Daerah Khusus Jakarta dengan daerah sekitar, dengan dibentuknya Kawasan Aglomerasi?.

“Kita tahu bersama pemerintah selalu menggunakan dalih pembangunan hijau untuk aglomerasi artinya pembangunan yang Sustainable bagi masyarakat. Sementara itu kita tahu bersama bahwa pembangunan di Jakarta tidak pernah lepas dari betonisasi yang memarjinalkan masyarakat. Kita ambil contoh Hang Jebat, Kampung Bayam, cipinang dan lainnya. Masyarakat selalu mendapatkan dampak dari atas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sejauh ini tidak pernah mengedepankan aspek HAM dalam pembangunan di Jakarta,” ucap PBHI Jakarta Muhamad Ridwan Ristomoyo, Rabu (3/4/2024).

Selain itu, ada problematika hukum yang terjadi pada UU DKJ pembahasan dalam waktu yang sangat sempit, selain mempertaruhkan substansi pengaturan, juga akan berdampak pada terbatasnya waktu bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyusunan undang-undang Jakarta.

Ketiadaan atau rendahnya partisipasi masyarakat akan menyebabkan lemahnya legitimasi undang-undang tersebut. Padahal dalam penjelasan UU No 13/2022 dinyatakan bahwa, penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga syarat yakni pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya, kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Peminggiran terhadap Hak-hak Masyarakat Miskin Perkotaan

Jika membaca keseluruhan naskah dalam UU DKJ, maka dapat dilihat tujuan sebenarnya dari beleid ini adalah untuk memfasilitasi kepentingan elit para pemodal.

Meskipun pada konsiderans pertama memuat mengenai perwujudan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia, namun hal tersebut hanya menjadi tempelan belaka.

Tujuan utama dari disahkannya undang-undang ini sebetulnya terdapat pada konsiderans kedua, yakni menjadikan Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.

Titik persoalannya adalah pembangunan pusat perekonomian dan kota global ini tidak betul-betul memastikan adanya jaminan pemenuhan hak asasi manusia dan kesejahteraan rakyat mengingat berbagai ketentuannya hanya berfokus memberi peran kepada dewan-dewan elit yang pengaturannya akan diatur kemudian oleh Presiden dan Gubernur. Dewan-dewan elit tersebut adalah Dewan Kota/Kabupaten dan Dewan Kawasan Aglomerasi.

“Tidak adanya partisipasi masyarakat tidak hanya terjadi pada tahap penyusunan hingga pengesahan, tetapi juga akan terjadi pada tahap pelaksanaan UU mengingat substansi pengaturannya justru meminggirkan hak masyarakat khususnya kelompok miskin perkotaan. Proyeksi kedepan, berbagai wilayah di Jakarta termasuk wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Cianjur) atau Kawasan Aglomerasi akan di stempel paksa sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Dampaknya, masyarakat perkotaan kian dimiskinkan secara struktural, berbagai hak-hak asasi baik ekonomi-sosial-budaya maupun sipil-politik akan dilanggar. Kualitas hidup masyarakat semakin menurun. Salah satu kasus yang tengah didampingi LBH Jakarta saat ini adalah Kasus PSN di Kampung Bulak, Depok. Masyarakat yang mayoritas merupakan pedagang hidup dalam ketidakpastian lantaran bayang-bayang penggusuran paksa atas nama pembangunan kampus UIII.” urai Direktur LBH Jakarta Citra Referandum.

Dia mengaku pihaknya tidak menemukan pengaturan khusus mengenai partisipasi masyarakat dalam UU DKJ ini. Bahkan frasa “partisipasi” hanya ditemukan 1 (satu) kali dalam naskah.

Pemerintah dan DPR RI tidak pernah belajar dari berbagai masukan masyarakat selama proses legislasi beberapa tahun belakang, kritik mengenai nir partisipasi proses legislasi tetap diabaikan.

Jikapun disebut-sebut atau dicantumkan dalam naskah undang-undang, partisipasi hanya sebatas formalitas.

“Oleh karenanya, kami menilai berbagai proses legislasi yang tidak mematuhi prinsip partisipasi bermakna, maka otomatis pula pengaturan hingga pelaksanaan undang-undangnya juga pasti mengabaikan hak-hak asasi warga negara.” jelas Citra Referandum.

Kota Global & Pusat Ekonomi Menjadikan Jakarta sebagai Kota Pusat Krisis

UU DKJ memproyeksikan Jakarta menjadi pusat ekonomi nasional dan kota global demi produksi nilai ekonomi yang besar.

Status tersebut berfungsi sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta pusat kegiatan bisnis nasional, regional, dan global.

Paradigma pembangunan sendiri masih bertumpu pada pendekatan kapitalistik yang terus-menerus mengupayakan peningkatan nilai ekonomi tanpa batas tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.

Padahal pemerintah, termasuk dalam alasan pemindahan ibukota, mengakui Jakarta sudah melebihi kapasitas lingkungan hidupnya dan mengalami sejumlah permasalahan lingkungan.

Memaksa Jakarta menjadi pusat ekonomi nasional dan kota global tanpa memperhatikan upaya pemulihan dari berbagai krisis yang sedang dihadapi hanya akan membuat Jakarta menjadi kota pusat krisis dan bunuh diri ekologis.

“Persoalan mendasar yang dialami Jakarta adalah sudah tidak seimbangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Dengan begitu, kekhususan Jakarta seharusnya terletak pada pemulihan lingkungan hidup agar menjadi kota yang aman bagi masyarakatnya,” kata Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Suci Fitriah Tanjung.

Kawasan Aglomerasi Sarat akan Politik Kartel dan State Capitalism

Dewan kawasan aglomerasi berfungsi sebagai alat legitimasi bagi elit korporat dan politik untuk mengekang kemandirian dan otonomi daerah dengan mengatur pelaksanaan rencana induk kawasan aglomerasi oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta ditunjuk langsung oleh presiden.

Sementara berdasarkan pasal 53 rencana induk tersebut didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) serta Kebijakan Strategis Pusat dan Jakarta sebagai Kota Global yang menjadi pusat bisnis.

Sehingga hal ini hanya untuk memperkuat dominasi kapitalis dan oligarki politik semata dan merugikan kepentingan rakyat, terutama di kawasan aglomerasi yang seharusnya menjadi fokus pembangunan yang berkelanjutan ekologis.

Kemudian Badan Layanan Bersama (BLB) mengacu pada Pasal 57 dibentuk dalam rangka penyediaan layanan lintas daerah pada kawasan aglomerasi yang dipimpin oleh Kepala Badan dan dibantu Wakil Kepala Badan berdasarkan keputusan bersama kepala daerah setelah mendapat persetujuan DPRD dengan mempertimbangkan proporsi modal dan/atau saham masing-masing daerah.

BLB tersebut mengarah pada pengusahaan sektor-sektor pelayanan publik yang berorientasi pada keuntungan daerah. Artinya, sistem kerja sama antar daerah lewat mekanisme BLB ini berpotensi menghambat pemenuhan hak dasar karena BLB dapat meletakan warga di dalam kawasan aglomerasi sebagai bagian dari konsumen yang dapat menjadi sumber daya perputaran modal di tingkat daerah.

Dua institusi yang pembentukannya dilegitimasi dalam UU DKJ ini tidak ubahnya hanya membagi kue ekonomi politik antara pusat dan daerah meski melalui kelembagaan ini juga berpotensi memperkuat konflik antar daerah maupun antar pusat dan daerah.

Berangkat dari catatan tersebut, Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta menuntut agar Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta dicabut.

“Kami juga mendesak pemerintah untuk memastikan kekhususan Jakarta harus terletak pada pemulihan ekologisnya; memastikan masyarakat berpartisipasi secara bermakna dalam seluruh kebijakan dan pembangunan di Jakarta dan wilayah sekitarnya,” terangnya. (santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *