Sriwijayamedia.com- Sejumlah akademisi perguruan tinggi se-Jabodetabek mengeluarkan seruan yang ditujukan kepada pemerintah saat ini.
Seruan dikeluarkan demi menyikapi perkembangan situasi negara yang terjadi akhir-akhir ini.
Pembacaan pernyataan sikap Bersama yang disebut sebagai “Seruan Salemba” disampaikan, di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024).
Nampak hadir para guru besar dan akademisi seperti Akmal Taher Guru Besar UI Dr Dwi Kristanto Guru Besar STT Driyarkara, Ubaedillah Badrun Akademisi UNJ, Bivitri Susanti Akademisi STH Jentera, Andreas Santoso, Guru Besar IPB serta Faisal Basri Ekonom Senior UI.
Ada tujuh butir seruan yang dikeluarkan para guru besar dan akademisi di Kampus juang di Jalan Salemba raya tersebut, yakni : pertama mendesak penyelenggara negara untuk menyiapkan sukses kekuasaan dengan cara bermartabat dan beretika demi kepentingan yang luas, yaitu bangsa dan negara.
Kedua mendesak dilakukannya reformasi hukum, khususnya tas produk perundang-undangan terkait politik dan pemilu, dan berbagai peraturan-peraturan lain yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak, dengan proses transparan dan akuntabel, serta tidak lagi merumuskan hukum yang substansinya mengabaikan kedaulatan rakyat, dan hanya mengutamakan kepentingan segelintir orang saja (oligarki).
Ketiga mendukung parlemen (DPR RI) untuk segera bekerja menjalankan fungsi-fungsi menyuarakan suara rakyat, melakukan penyelidikan secara terbuka terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan eksekutif agar dapat dipertanggungjawabkan; mendesak penghentian intimidasi terhadap warga negara, termasuk akademisi Ketika menggunakan hak berekspresi dan mengingatkan pemerintah untuk mematuhi Konstitusi dan negara hukum.
Lalu mengajak warga agar menjadi warga negara yang paham serta sadar akan hak-haknya dan berani mempertanyakan kebijakan publik khususnya yang berdampak pada ketidakadilan; mengajak para ilmuwan dari Sabang sampai Merauke untuk tetap bekerja keras menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara dengan mengutamakan nilai etika, moral, serta budaya luhur yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa.
Terakhir menyerukan kepada seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagai musuh bersama.
Sebelum Seruan Salemba 2024 disampaikan, juga digelar sarasehan (temu ilmiah) universitas se-Jabodetabek yang mengambil tema “Menegakan Konstitusi, Memulihkan Peradaban Berbangsa dan Hak Kewarganegaraan”.
Acara inipun juga melibatkan para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Indonesia (UNJ).
Sembilan akademisi memaparkan pandangannya terkait situasi dan kondisi bangsa saat ini berdasar perspektif keilmuan yang dimiliki.
Sebut saja Hariadi, guru besar IPB yang pernah diminta oleh Presiden Joko Widodo untuk membahas konsep ketahanan pangan, namun belakangan ternyata konsep yang ia berikan menurutnya semakin jauh.
“Didalam 25 tahun terakhir kita sebagai pengimpor beras. Surplus neraca pertanian kini menurun dan ekspor 69%-nya dikuasai oleh kelapa sawit. Sementara saat ini ketergantungan orang Indonesia untuk gandum sangat tinggi sehingga angka impor kita begitu tinggi. Keadaan ini makin buruk dengan kondisi geografi yang tidak rata penyebarannya,” papar Guru Besar IPB Hariadi.
Sementara Guru Besar UI Suraya Afif menyoroti angka kemiskinan yang menurutnya kini justru meningkat.
Dimana lokasi pertambangan ada, sementara pemilik tambang semakin kaya. Sedangkan tingkat kesejahteraan warga yang tinggal disekitar lokasi pertambangan tidak ikut bertambah.
“Kita jadi bertanya, dimana ramah lingkungan dan keadilan?. Karena faktanya tanah mereka dirampas dan kehidupan mereka makin hancur. Sementara warga kota diiming-imingi mobil listrik murah. Kapitalisme diperkuat dengan mempekerjakan penduduk miskin agar bisa diberi upah murah,” imbuh Suraya.
Dia juga melihat seperti ada unsur kesengajaan dalam menjaga angka kemiskinan di Indonesia.
”Seperti disengaja, semakin banyak orang miskin maka akan semakin bisa disetir oleh penguasa. Kalau itu tidak terjadi, maka orang akan sulit diiming-imingi bansos, pekerjaan dan sebagainya. Padahal kehidupan mereka terampas. Ini jelas-jelas melanggar konstitusi dan merupakan praktek kolonial,” ungkap Suraya.
Selain masalah ketahanan pangan, kesehatan, dan hukum, kajian ilmiah ini juga menyinggung sepak terjang pemerintah dalam pemilu 2024, terutama langkah presiden yang berusaha mendobrak berbagai aturan demi memuluskan pencalonan anaknya sebagai cawapres. (santi)