Oleh :
Hari Purwanto, Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat
Lembaga survei dalam perkembangan demokrasi dan pemilu di Indonesia menjadi perhatian dalam negeri kita.
Sejak era reformasi, hampir tak ada pemilihan umum (pemilu) yang luput dari pantauan atau bahkan “intervensi”- lembaga survei. Dari pemilu DPR, DPD dan DPRD (legislatif), pemilu Presiden/Wakil Presiden sampai pada pemilu kepala daerah propinsi, dan tingkat kabupaten/kota, lembaga survei senantiasa mewarnai sejak dini, mulai dari pendeteksian para bakal kandidat hingga melakukan hitung cepat (quick count) beberapa saat setelah pemilu dilangsungkan.
Sebagian dari lembaga survei sekarang ini terindikasi sudah beralih fungsi dari lembaga profesional menjadi lembaga pemenangan politik.
Mereka mengambil peran cukup besar untuk tujuan mempengaruhi pemilih. Secara sadar mereka berdiri di dua kaki. Satunya mengaku sebagai lembaga profesional, sementara di sisi lain peran dan fungsinya sebagai pesanan pemilik modal yang mendukung kandidatnya.
Jajak pendapat terbaru Roy Morgan mengungkap dinamika Pilpres 2024 yang semakin menarik. Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo saat ini memimpin dengan perolehan 38 persen, unggul atas pesaing terdekatnya Prabowo Subianto (30 persen) dan Anies Baswedan (25 persen).
Namun, LSI “Denny JA” mencoba mengklarifikasi dengan pembenarannya dan seakan kebakaran jenggot. LSI “Denny JA” membantah hasil survei Roy Morgan sudah kedaluarsa karena belum ada efek Gibran.
Kepanikan LSI “Denny JA” terhadap hasil survei Roy Morgan perlu pengujian integritas, transparansi dan independensi.
Karena selama ini tidak ada lembaga survei di Indonesia yang dapat bisa diaudit dan selama ini sumber anggaran lembaga survei tidak dibuka secara publik. Sehingga perlu publik menanyakan dan berhak tahu asal sumber dana lembaga survei.(Irawan)