Kilas Balik Sektor Maritim 2023 dari Kacamata Pengamat Maritim DR Capt Marcellus

Pengamat Maritim dari IKAL SC DR Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar.,/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Tahun 2023 tinggal hitungan hari menuju Tahun 2024. Di sepanjang tahun 2023, dinamika sektor maritim terus menggelora seperti ombak di samudera dan pasang surut seperti air laut di pantai.

Ada beberapa catatan dari Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) DR Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., yang perlu dicermati sepanjang tahun 2023 di sektor maritim.

Bacaan Lainnya

“Penetapan landas kontinen untuk lebih memastikan kedaulatan dan keamanan wilayah bawah laut Indonesia. Jadi, Indonesia masih memiliki pekerjaan tertunda dalam hal penyelesaian batas landas kontinen sejauh 350 mil dari garis pantai sesuai UNCLOS 1982. Tugas ini harus dilaksanakan oleh pemangku kepentingan dalam hal ini ilmuwan Kelautan, para peneliti di bidang maritim dengan kapal-kapal risetnya. Penetapan landas kontinen ini sangat penting ditetapkan untuk kepentingan Bangsa Indonesia sendiri,” kata Capt Haken, dalam keterangan pers tertulis akhir tahunnya kepada media, Kamis (28/12/2023).

Penyelesaian landas kontinen penting bagi Indonesia sesuai dengan UNCLOS 1982.

Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya mengaku penetapan landas kontinen untuk lebih memastikan kedaulatan dan keamanan Indonesia, termasuk wilayah bawah laut dan tanah di bawah permukaan laut.

“Kepastian tersebut sangat diperlukan guna mempertahankan integritas wilayah negara dan melindungi kepentingan keamanan nasional,” ungkapnya.

Capt Hakeng menyebut penentuan batas wilayah maritim tentu terkait erat dengan hubungan internasional Indonesia dengan negara-negara lain.

Dengan menyelesaikan landas kontinen sesuai UNCLOS 1982. Artinya, Indonesia berkomitmen terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip yang mengatur penggunaan dan perlindungan laut yang diatur didalamnya.

Dengan begitu dapat meningkatkan reputasi Indonesia di mata komunitas internasional, sehingga memperkuat kerja sama maritim dengan negara lain.

Selain itu, Laut Cina Selatan (LCS) akan tetap menjadi salah satu wilayah “panas” perseteruan.

Negara Cina dan Vietnam akan mengklaim LCS merupakan milik negaranya. Sementara Indonesia juga mempunyai kepentingan dengan LCS mengingat pulau Natuna berada dekat laut tersebut.

Cina dan Vietnam secara terang-terangan membangun pulau-pulau buatan. Jika berpedoman terhadap putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) pada 12 Juli 2016 di Den Haag, Belanda menyatakan, hak Cina atas seluruh wilayah Laut Cina Selatan tidak sah.

“Tindakan Cina dan Vietnam mendirikan pulau-pulau di LCS tak bisa dipandang sebelah mata. Langkah kedua negara itu berpotensi mengancam Kedaulatan Negara lain yang juga menginginkan dapat menggarap potensi perikanan, minyak dan gas yang ada di LCS,” turr Capt Hakeng.

Perluasan Pulau Vietnam mengancam kepentingan dan keamanan negara Indonesia.

“Reklamasi ilegal itu berpotensi mendorong timbulnya IUU dan kriminalitas yang lain di kawasan LSC,” tegas Capt Hakeng.

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dalam salah satu point di PP No 26/2023 tersebut diperbolehkan ekspor pasir laut ke Singapura.

“Menurut pandangan saya, PP No 26/2023 berpotensi merugikan Indonesia. Pengerukan pasir kemudian diekspor dapat mengganggu ketahanan nasional dari beberapa aspek. Pengerukan pasir laut mengakibatkan kerusakan ekosistem laut dan pesisir. Pasir laut jelas memiliki peran penting dalam mencegah abrasi, melindungi mangrove, dan menjaga garis pantai dari banjir dan intrusi air laut,” urainya.

Penambangan pasir laut yang tak terkendali tentu dapat merusak sumber daya perikanan, mengurangi produktivitas ekosistem perairan yang terkait dengan pasir laut.

Dampak negatif akan terjadi pula pada masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Karena wilayah penangkapan ikan nelayan akan terganggu, sehingga secara signifikan mengurangi pendapatan nelayan dari penangkapan ikan di wilayah tersebut.

“Ekspor pasir laut ke Singapura diduga akan dipakai untuk memperluas daerah daratan Negara Singapura. Hal itu tentu akan mempengaruhi batas wilayah antara Singapura dan Indonesia. Potensi terjadinya konflik pertahanan dan keamanan dapat terjadi. Konflik perbatasan tidak menutup kemungkinan terjadi dengan Negara ASEAN lainnya yang bertetangga dengan Singapura,” jelasnya.

Begitupun keberadaan pelabuhan bagi Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sangat dibutuhkan.

Pelabuhan berperan untuk menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis. Berdasar data dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terdapat 3.227 pelabuhan di Indonesia pada 2021.

Dari jumlah tersebut, ada 1.152 pelabuhan yang dikelola oleh terminal khusus, 930 pelabuhan dikelola terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS).

Ada 70 pelabuhan yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (Persero) (Pelindo). Sedangkan sebanyak 1.075 pelabuhan dikelola oleh unit pelaksana teknis (UPT).

“Disamping pelabuhan-pelabuhan resmi yang dikelola oleh swasta dan pemerintah, banyak juga pelabuhan tidak resmi atau yang lebih dikenal dengan sebutan pelabuhan tikus. Masifnya keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia merupakan masalah serius yang perlu segera diatasi,” jelas Capt Hakeng.

Keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia sempat membuat Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan gerah beberapa waktu lalu.

Saat itu Menko Marves berujar Pemerintah berupaya terus memberantas keberadaan pelabuhan tikus. Pasalnya pelabuhan tikus tersebut berisiko merugikan kegiatan perekonomian negara.

“Pelabuhan tikus merupakan pelabuhan yang tidak dikelola dengan baik dan tidak memenuhi standar nasional dan internasional. Pelabuhan-pelabuhan ini sering digunakan untuk kegiatan ilegal, seperti penyelundupan, perdagangan manusia, dan juga perdagangan narkoba,” imbuhnya.

Dari sisi potensi penerapan ekonomi berbasis maritim yang dimiliki Indonesia pun sangatlah besar. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi ekonomi maritim Indonesia mencapai USD 1.338 miliar per tahun atau lebih dari 20 ribu triliun rupiah, tersebar luas di beberapa sektor utama.

“Sektor perikanan memiliki potensi nilai ekonomi USD 787 miliar per tahun, sementara sektor pariwisata mencapai USD 283 miliar per tahun. Sektor pertambangan menunjukkan potensi sebesar USD 225 miliar per tahun, sektor energi mencapai USD 86 miliar per tahun serta sektor transportasi mencapai USD 20 miliar per tahun,” ungkap Capt Hakeng.

Potensi ekonomi maritim yang besar dimiliki Indonesia dapat menciptakan lebih dari 45 juta lapangan kerja baru.

Industri yang dapat dikembangkan dari sektor ekonomi maritim, termasuk pengolahan ikan seperti industri pengalengan, tepung ikan, dan perhiasan dari mutiara.

Industri perkapalan seperti galangan kapal, pembuatan suku cadang kapal. Industri jasa pelayaran seperti pariwisata laut, hotel, restoran, dan jasa wisata bahari.

Ekonomi maritim juga dapat dari pertambangan laut seperti minyak, gas bumi, batu bara, dan mineral.

“Dari potensi maritim juga bisa menghasilkan income dari energi laut seperti pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan ombak. Potensi transportasi laut sangat menjanjikan seperti pelayaran, pergudangan, dan logistik,” papar Capt Hakeng.

Oleh sebab itu, lanjut Capt Hakeng, Indonesia perlu melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan potensi ekonomi maritim. Seperti peningkatan investasi di sektor kelautan, kapasitas sumber daya manusia, infrastruktur kelautan, dan koordinasi antar-pemangku kepentingan.

Penerapan ekonomi maritim di Indonesia masih belum optimal. Indonesia perlu melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan potensi ekonomi maritim, seperti peningkatan investasi di sektor kelautan, kapasitas sumber daya manusia, infrastruktur kelautan, dan koordinasi antar-pemangku kepentingan.

Indonesia masih kurang SDM yang kompeten dalam sektor maritim. Kekurangan SDM yang terampil dalam bidang kelautan masih menjadi permasalahan.

Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pendidikan kemaritiman yang kurang memadai di Indonesia. Perguruan tinggi yang menawarkan program spesifik dalam bidang kelautan masih kurang.

Akibatnya, jumlah lulusan yang ahli dalam kemaritiman atau kelautan juga terbatas.

Selain itu, kurangnya peluang kerja di sektor kelautan juga menjadi penyebab banyaknya lulusan pendidikan kemaritiman yang tidak dapat bekerja di bidang ini.(Santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *