Sriwijayamedia.com- Menanggapi rencana Komisi III DPR RI yang hendak membentuk Panitia Kerja (Panja) Netralitas Polri pada Pemilu 2024, Ketua Umum (Ketum) Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sahat Martin Philip Sinurat menilai tidak seharusnya DPR RI membuat panja tersebut.
Sebab institusi Polri sudah memiliki Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau biasa disingkat Div Propam Polri, yang bertugas menindak pelanggaran-pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh oknum Polri.
Dalam UU No 2/2002 tentang Polri juga sudah diatur netralitas Polri dalam berpolitik.
Tokoh muda Kristen ini juga melihat kinerja Polri dalam menjaga netralitasnya, termasuk adanya arahan dari Kapolri supaya Polri benar-benar berdiri diatas semua golongan menjaga situasi agar kondusif mulai dari menjelang pemilu sampai selesainya pelaksanaan pemilu 14 Februari 2024.
Dalam konteks ini, kata dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam posisi bagaimana setiap peserta pemilu dan masyarakat Indonesia juga bisa mengikuti pemilu dengan baik dan damai tanpa polarisasi.
Kemudian dampak dari pemilu yang damai tanpa ujaran kebencian, hoax dan sebagainya. Dalam hal ini, Polri sudah melakukan tugas dengan baik.
“DPR RI seharusnya tidak perlu lagi membuat Panja Netralitas Polri karena sebenarnya di institusi Polri pun sudah ada Propam yang memang bertugas untuk menindak, baik secara etik/khusus ketika ada dugaan-dugaan pelanggaran-pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh oknum Polri. Itu sudah jelas juga diatur dalam UU No 2/2002 tentang Polri yang mengatur netralitas Polri dalam berpolitik. Jadi sederhana saja sebenarnya kalau memang ada bukti, langsung saja lapor ke Propam. Dan karena situasi sekarang sudah transparan semua, publik juga sudah bisa melihat ketika ada laporan, itu kita bisa mengawalnya bersama. Jangan sampai kemudian ada tuduhan-tuduhan yang tidak dapat dibuktikan. Itu bisa menimbulkan kondisi atau semacam isu-isu yang tidak enak ditengah masyarakat padahal itu belum tentu terbukti,” ungkap Sahat, di Jakarta, Jum’at (17/11/2023).
Pria lulusan teknik geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga mengingatkan seluruh pihak untuk tidak begitu saja membuat statement-statement yang meresahkan masyarakat yang kemudian menjatuhkan independensi atau marwah dari institusi Polri itu sendiri.
Publik juga harus bertanggungjawab dengan pernyataan-pernyataan yang dibuat, terutama di dunia media social (medsos).
“Selama ini kita sudah melihat bagaimana kinerja Polri dalam menjaga netralitasnya, termasuk adanya arahan dari Kapolri agar Polri benar-benar berdiri diatas semua golongan, menjaga situasi agar kondusif mulai dari menjelang pemilu sampai selesainya pelaksanaan pemilu 14 Februari 2024,” terangnya.
Dalam konteks tersebut, Sahat melihat Presiden Jokowi berada dalam posisi bagaimana setiap peserta pemilu dan masyarakat Indonesia juga bisa mengikuti pemilu dengan baik dan damai tanpa polarisasi.
Kemudian dampak dari pemilu yang damai tanpa ujaran kebencian, hoax dan sebagainya. Dalam hal ini, Sahat juga melihat Polri sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Perihal mencuatnya isu keterlibatan institusi polri dalam ajang pilpres berupa pemasangan baliho salah satu kandidat capres yang berujung pada Rapat Dengan Pendapat (RDP), di DPR RI belum lama ini hingga wacana pembentukan Panja di DPR RI.
“Ada Propam, ya silahkan dilaporkan. Jangan sampai hanya dugaan atau sekedar melempar isu yang belum tentu ada buktinya. Yang akibatnya membuat kepercayaan publik kepada institusi Polri. Nah, ini kan tidak baik juga,” imbuh Sahat.
Ia melanjutkan, meski dalam alam demokrasi publik diberikan kebebasan mengemukakan pendapat dan argumentasi, tapi tentu harus bertanggung jawab dengan argument tersebut,dengan kata lain laporan jangan hanya sebatas dugaan.
Seandainya memang ada indikasi kecurangan (tidak netral) publik pun dapat membuat laporan. Semua perangkat yang berkaitan dengan pemilu, baik Polri, TNI, KPU, Bawaslu, maupun pemerintah daerah semua itu dalam kepentingan pemilu yaitu pelaksanaan pileg dan pilpres harus benar-benar berdiri ditengah.
Bagaimana supaya situasi kegiatan ini bisa berjalan dengan baik. Tidak ada yang kemudian mendukung kandidat-kandidat caleg, capres dan sebagainya.
“Masyarakat yang menemukan indikasi pelanggaran (pemilu) bisa melaporkannya pada berbagai pihak yang menanganinya, misalkan jika pelanggaran ada kaitannya dengan Polri maka laporan dapat disampaikan ke Propam atau Bawaslu atau bisa juga ke pemerintahan daerah dan sebagainya. Tinggal bagaimana masyarakat mengetahui jalur-jalur yang harus ditempuh. Setahu saya itu ada hotline-nya dan bisa dicari di google. Jadi bagi pihak perangkat terkait, baik Bawaslu maupun Polri, silakan juga untuk mensosialisasikannya,” papar Sahat.
Sahat menambahkan seiring waktu yang berjalan menuju pelaksanaan pemilu 2024, literasi terkait pelanggaran pemilu menurutnya belum mencapai seluruh lapisan masyarakat.
Pemilu adalah momen 5 tahun yang menjadi pesta rakyat bagi kita untuk menentukan siapa pemimpin-pemimpin yang tepat baik untuk legislatif maupun presiden, yang kemudian diikuti juga dengan pemilihan kepala daerah pada September 2024, maka sebagai rakyat haruslah cerdas memilih siapa pemimpin-pemimpin yang memang mempunyai visi-misi, rekam jejak, kapasitas dan karakter yang baik. Kalaupun calon yang dipilih namun ternyata tidak terpilih, jangan ‘baper’.
Karena itu memang situasi demokrasinya. Bagi pemimpin yang terpilih pun kemudian berpikir bahwa dia menjadi pemimpin bagi siapapun, bagi rakyat dan bukan hanya untuk satu golongan saja.
“Jadi mari kita mengikuti pemilu dengan baik, jangan ada polarisasi. Selesai pemilu kita tetap bersaudara, sebagai sesama anak bangsa dan anak ibu pertiwi. Siapapun pemimpin yang terpilih adalah pemimpin kita bersama. Terpenting pemimpin yang terpilih ini adalah untuk maju Bersama, serta bisa membawa misi keberlanjutan bangsa Indonesia yang maju dan mampu mensejahterakan rakyatnya,” ajak mantan Ketum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).(Santi)