Sriwijayamedia.com- Dalam perkembangan situasi menuju pilpres 2024, konteks indeks kerawanan Bawaslu sudah menunjukan suatu kerawanan yang tinggi diberbagai daerah
Konflik itu bisa bersifat konflik laten, yang sifatnya tersembunyi atau konflik sporadis yang kemudian terjadi secara realitas.
Untuk konflik laten bisa saja terjadi karena dipicu dari medsos. Hal ini sangat memungkinkan karena saat ini orang-orang merujuk pada medsos baik itu benar atau salah dan belum tentu akurat.
Sebab, pada pilpres 2019 lalu, angka hoax, miss informasi, disinformasi, dan ujaran kebencian sangat meningkat.
“Artinya jika berbicara pada pemilu 2024 yang kurang empat bulan lagi akan sangat mungkin mirip kondisinya. Apalagi kini sudah ada tiga pasangan kontestan capres dan cawapres. Namun ketika berbicara kontestan, masih ada permasalahan terkait regulasi yang kemudian oleh KPU belum juga dituntaskan, salah satunya terkait putusan MK dalam hal batasan usia capres/cawapres,” kata Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Pramita, Minggu (29/10/2023).
Menurut dia, dalam konflik pemilu yang penting dilihat adalah sumber pemicunya.
“Dalam konflik laten peran medsos menurut saya sangat besar. Konflik yang kemudian tiba-tiba muncul secara bersamaan tapi kemudian di tempat yang hampir sama misalnya, politik uang seperti itu akan berpotensi muncul. Apalagi ini sebentar lagi sosialisasi yang mungkin tidak terlalu beda dengan ajakan. Kalau cuma sekedar dia bicara soal lambang saja, apa ya sosialisasi? Tapi kalau sudah ada nomor urut, sudah ada ajakan, sudah tanda paku, ya otomatis ini akan memenuhi unsur kampanye namanya,” jelas Mita, sapaan akrabnya.
Meskipun memang diakui hal itu merupakan seni dalam berkampanye. Tapi kalau kemudian proses seperti itu sangat mungkin dan bisa mungkin menimbulkan percikan-percikan disintegrasi nasional. Dimana yang kemudian pemicunya itu ada, dan kemudian tinggi itulah yang merupakan konfiguralitas realitas.
Kemudian dalam posisi kampanye nanti, apakah rapat terbuka atau ruang tertutup, tapi kalau ruang tertutup, juga memungkinkan terjadinya konflik.
“Pokoknya mekanismenya itu sangat bisa memunculkan konflik realitas. Kenapa saya bilang kalau realitas, karena konflik tergantung pada ranah yang menjadi pijakan,” imbuhnya.
Mita juga mengatakan bahwa pemilu adalah konflik yang di “arena”-kan atau kompetisi, yang berarti akan ada yang menang dan ada yang kalah.
Ketika ada yang menang tapi kalah, lalu tidak suka dan merasa dicurangi atau tidak sesuai aturan yang berlaku kemudian akan ada pemicunya.
Sehingga kemudian bagaimana menjaga agar aspek dasar hukum seusai dengan relnya.
Mita mengakui untuk menjaga agar aspek dasar hukum seusai dengan relnya memang berat karena sekarang ini politiklah yang menjadi panglima bukan hukum.
Karena itu proses ini perlu dikhawatirkan dan tentu harus dipantau walau sekecil apapun kejahatan atau yang berkaitan dengan upaya disintegrasi.
“Karena semangat pemilu kita adalah mencegah disintegrasi bangsa, kalau kita tahu konflik ini mengancam disintegrasi maka harus kita pantau,” tegas Mita.
Mita menambahkan JPPR sebagai bagian dari masyarakat sipil akan terus menyuarakan keberpihakan pada pemilih dan berharap parpol tidak semena-mena serta berfikiran feodal karena negara Indonesia adalah negara yang demokratis.
Oleh sebab itu, Mita mengimbau kepada masyarakat luas agar lebih selektif dalam melihat pemberitaan yang muncul, dan dalam berekspresi sebaiknya tidak menyinggung atau merugikan pihak lain.
“Berpolitik sebagai bagian dari proses strategi. Ini yang merupakan realitas dan kita menjadi bagian didalamnya. Marilah kita menahan diri agar tidak sampai pada hal yang anarkis. Marilah berpolitik secara santun, hargai perbedaan yang ada agar tidak terjadi disintegrasi bangsa,” ajak Mita.(Santi)