Sriwijayamedia.com – Dalam “Dialog Kebangsaan” yang digelar dalam rangka memperingati HUT Ormas Pemuda Pancasila (PP) ke 64, Ketua MPR RI Dr H Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyampaikan pesan perdamaian dan pentingnya menjaga persatuan bangsa dalam tengah gejolak politik yang tengah berlangsung.
Dialog ini juga menjadi platform untuk membahas tema yang menjadi perhatian bersama, yaitu “Kembalikan MPR RI sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kewenangan subyektif superlatif”
Dalam sambutannya, Dr H Bambang Soesatyo menekankan pentingnya menjaga persatuan di tengah isu-isu sensitif seperti agama, ras, dan suku yang kerap menjadi sumber konflik di Indonesia.
Ia juga mengingatkan bahwa pemilihan pemimpin adalah sebuah game, dan penting bagi semua pihak untuk tidak membutakan mata hati dan menjadi fanatik.
Sebagai contoh, ia menunjukkan bahwa dalam Pemuda Pancasila, terdapat pendukung dari berbagai calon pemimpin, namun semuanya adalah bagian dari satu kesatuan yang lebih besar.
“Jangan membutakan mata hati kita, jangan membutakan membuat kita fanatik bahwa kalau bukan ini bukan gua “lu gua” nggak, kita adalah kita. jadi siapapun yang menang itulah kader terbaik bangsa yang harus kita percayakan kita dukung penuh untuk bangsa kita ke depan 5 tahun yang akan datang,” terang Bamsoet, Minggu (22/10/2023).
Bamsoet juga membahas pentingnya MPR kembali memiliki kewenangan subjektif superlatif untuk mengatasi dispute konstitusi.
Ia mengingatkan bahwa dalam beberapa situasi darurat, seperti pemilu yang tidak dapat dilaksanakan tepat waktu karena bencana atau pandemi, kevakuman kekuasaan dapat terjadi tanpa adanya regulasi yang memadai.
Oleh karena itu, kembali memberikan MPR kewenangan untuk mengeluarkan tap menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan.
“Kembali memiliki kewenangan subjektif superlatif agar apabila terjadi dispute konstitusi, ini ada Jalan keluarnya. kita tidak ingin seperti Skotlandia, Polandia yang kemudian pecah karena ada kevakuman kekuasaan ketika terjadi dispute konstitusinya,” lanjutnya.
Ia juga mengemukakan pandangan pribadinya tentang sistem demokrasi yang saat ini diterapkan, yang menurutnya lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Dalam sistem demokrasi ini, pemilihan pemimpin menjadi semacam perlombaan untuk mencari suara, dan suara itu dianggap ekuivalen dengan uang. Hal ini menyebabkan berbagai praktik yang merugikan demokrasi dan nilai-nilai Indonesia.
“Pemilu kita ini bukan lagi mencari aspirasi, tapi mencari suara, nah suara itu ekuivalen dengan uang, NPWP Nomer Piro Wani Piro,” paparnya.
Berbicara mengenai kepala daerah, Bamsoet mengingatkan akan praktik jual beli jabatan, izin, dan pengaruh kepentingan ekonomi yang mengakibatkan korupsi dan pelanggaran hukum.
Dia menyoroti bahwa banyak kepala daerah mengejar sponsor dan dukungan finansial dari tokek dan bandar, yang akhirnya mengakibatkan ketidakseimbangan antara keinginan dan kemampuan, serta tarik sana tarik sini dalam praktik korupsi.
“Ada dua yang bisa dibayar oleh kepala daerah ini dengan kebijakan yang menguntungkan pengusaha sponsornya, kedua ya dengan uang,” imbuhnya.
Dialog kebangsaan ini mengingatkan pentingnya menjaga persatuan, kembali mempertimbangkan peran MPR dalam konstitusi, dan mengkritisi sistem demokrasi yang mendorong praktik-praktik merugikan bagi bangsa dan negara. (irawan)