Sriwijayamedia.com – Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menyatakan sudah menjadi tugas pemerintah sesuai amanah konstitusi untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, terutama yang terjadi di masa lalu. Masa lalu yang dimaksud di sini adalah era sebelum UU No 39/1999 tentang HAM diundangkan.
Menurut definisi UU tersebut, pelanggaran HAM berat dikenal tidak memiliki masa kadaluwarsa sekaligus juga bersifat antiretroaktif alias berlaku surut.
Karena penanganan pelanggaran HAM berat, dengan alasan kemanusiaan, menabrak salah satu hak dasar yakni tidak dituntut dengan UU yang berlaku surut, maka penanganan HAM berat ini pun menjadi spesial dan khas.
“Salah satu bentuk keistimewaannya adalah penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu harus melalui Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk dengan Keppres. Pembentukan Pengadilan HAM berat masa lalu ini diatur dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” terang Hari, Selasa (11/7/2023).
Dalam UU Pengadilan HAM juga secara tegas dan terang benderang, penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan HAM Ad Hoc atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Sayangnya, UU KKR yang dibentuk kemudian digugat oleh sejumlah LSM dan kemudian dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi.
“Presiden Joko Widodo dalam salah satu janji politiknya menyatakan akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tekanan politik pun lumayan deras, apalagi di periode pertama kepresidenan sama sekali tak tersentuh, padahal sejumlah korban pelanggran HAM berat ikut berkampanye untuk Jokowi,” terangnya.
Masuk ke periode kedua, Presiden menerbitkan Keppres No 17/2022, Keppres No 4/2023, dan Inpres No 2/2023 mengenai penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat.
Sontak, keputusan ini melahirkan polemik. Bahkan, sejumlah keluarga korban pun menolak mekanisme ini. Sebab, selain tidak ada landasan konstitusional, penyelesaiannya ini sama sekali tidak menyentuh pelaku. Sehingga, terbaca seolah-olah pemerintah hanya ingin ‘menyuap’ korban dengan sejumlah fasilitas.
Sebagai negara hukum, mestinya setiap keputusan diambil merujuk berdasarkan UU yang berlaku. Dalam kasus ini, justru menabrak UU.
Padahal, urgensi dalam penuntasan pelanggaran HAM selain kompensasi untuk korban, lebih penting tentunya pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM tersebut berikut modus dan pelakunya. Agar dikemudian hari peristiwa ini tidak terulang.
“Jika kemudian presiden selaku kepala negara hendak memberi ampunan, misal amnesti massal, itu dilakukan setelah ada penetapan pelaku dan peran mereka.
Sehingga, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang dilakukan pun akan memiliki legitimasi dan landasan konstitusi yang kuat,” imbuhnya.
Dalam kasus hari ini, tidak ada jaminan bahwa program penyelesaian non yudisial ini bisa berlanjut, terutama jika pemerintahan berganti. Sebab tidak memiliki payung hukum kuat.
Bahkan, terhadap penggunaan APBN dalam program ini pun, terancam bisa menjadi temuan audit BPK karena bertentangan dengan UU Pengadilan HAM.
“Sebaiknya pemerintah melaksanakan penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai dengan amanat UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” jelasnya.
Selain sebagai pencerminan negara hukum, penuntasan ini juga harus bisa memiliki alas hukum yang kuat. Sehingga, bagi korban dan keluarga korban memperoleh keadilan dan mendapat kepastian hukum.(Irawan)