Sriwijayamedia.com – Insiden kebocoran pipa Pertamina yang terjadi berulang di Prabumulih terus menuai sorotan.
Kali ini dari aktivis Kawali Sumsel yang terjun langsung ke lokasi bocornya pipa hingga mencemari lingkungan dan pemukiman warga, di Kelurahan Majasari, Kecamatan Prabumulih Selatan, Kota Prabumulih.
Ketua Kawali Sumsel Chandra Anugerah bersama timnya yang turun langsung melihat bagaimana warga masih harus berjuang menghadapi pencemaran lingkungan, serta bau menyengat, kendati tumpahan minyak sudah dibersihkan.
Tumpahan minyak masih melekat akar dan rerumputan yang berada di sepanjang aliran Sungai Kelekar. Mulai dari sumbernya yang berada di Kelurahan Majasari hingga beberapa kilometer di Kelurahan Muara Dua, Gunung Ibul hingga Desa Pangkul.
“Di sempadan masih terlihat bekas minyak, di beberapa titik Sungai Kelekar yang kita lihat juga masih terlihat sedikit, beruntung pembersihan terbantu dengan turunnya hujan di sini,” kata Chandra.
Oleh sebab itu, kata Chandra, Pertamina harus menunjukkan tanggung jawab lebih dari sekadar melakukan pembersihan. Utamanya berkaitan dengan ekosistem lingkungan dan dampak yang dirasakan oleh warga.
Dia menilai apa yang terjadi saat ini bisa membuat Pertamina terancam UU Lingkungan Hidup karena dianggap abai terhadap permasalahan lingkungan.
“Hal ini harus dilihat dalam logika sebab akibat,” tutur Chandra.
Salah satunya, kebocoran disebabkan oleh pipa yang usang, tidak ada pemeriksaan jalur pipa yang komprehensif sehingga menurutnya lingkungan dan warga yang harus menjadi korban.
“Ini adalah keteledoran perusahaan Pertamina Hulu Rokan (PHR) Zona 4 Prabumulih Field) dalam menjaga asetnya. Kejadian ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila ada ketelitian dalam menjaga kondisi pipa yang kami duga jadi sebabnya,” ungkap Chandra.
Selain membersihkan sungai, Pertamina juga diminta untuk memberikan ganti rugi yang layak kepada warga di sepanjang aliran Sungai Kelekar atas dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
Sungai Kelekar sendiri masih menjadi sumber kehidupan warga. Beberapa warga yang tinggal di pinggir Sungai Kelekar memanfaatkan sungai tersebut untuk mencari ikan, memberi minum ternak, mengairi kebun dan mencuci pakaian.
“Tadi saja, kami masih menemukan warga yang menjala ikan. Sementara, akibat kejadian ini banyak ikan mati dan ekosistem di sungai yang rusak. Tentunya ini merugikan warga yang menggantungkan kehidupannya terhadap Sungai Kelekar,” imbuhnya.
Dia menyebut, perbuatan korporasi diduga telah melanggar UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam pasal 99 ayat 1 disebutkan, setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000 dan paling banyak Rp3.000.000.000.
“Kami sudah mengambil sampel air dan beberapa keterangan dari warga. Apabila tidak ada tindak lanjut, kami akan segera laporkan insiden ini sebagai kejahatan terhadap lingkungan,” jelasnya.
Pembersihan Tumpahan Minyak Libatkan Warga, Tak Pakai APD, Abaikan Keselamatan
Di sisi lain, sejak diketahui mengalami kebocoran, Pertamina telah menggagas proses pembersihan pasca insiden yang terjadi pada Minggu (9/7/2023) sekitar pukul 10.00Wib. Pekerjaan pembersihan itu dilakukan dengan melibatkan pekerja harian lokal dan warga.
Dari pantauan Kawali Sumsel, Senin (10/7/2023), banyak pekerja lokal maupun warga di sepanjang bantaran Sungai Kelekar dilibatkan dalam proses pembersihan aliran minyak. Namun, banyak dari mereka yang tidak menggunakan APD.
“Jangan hanya karena mereka bukan pegawai Pertamina keselamatannya tidak diperhatikan. Seolah warga ini dijadikan tumbal atas kelalaian perusahaan,” ulasnya.
Chandra mendesak instansi pemerintah dapat mengawasi proses penanggulangan minyak yang mengalir di Sungai Kelekar. Karena jauh dari standar norma K3 dan lingkungan.
“Keterlibatan warga ini memang hasil kesepakatan dari mediasi antara warga dengan perusahaan. Tapi bukan berarti aktivitas ini tidak memperhatikan standar keselamatan,” terangnya.
Menyoroti hal ini, dalam aturan penanggulangan maupun pengelolaan limbah B3 wajib menggunakan APD seperti rubber shoes, sarunga tangan, masker reporator dan kacamata pelindung.
“Harusnya ini difasilitasi perusahaan. Pekerja-pekerja itu. Meskipun mereka pekerja harian lokal. Tapi, mereka bekerja di dalam kegiatan perusahaan. Ini untuk keselamatan mereka juga,” kata Ketua Asosiasi Profesi K3 dan Lindungi Lingkungan (APK3L) Kota Prabumulih Yogi Astrada.
Dia mengatakan, minyak yang mengalir tersebut memiliki bau yang menyengat. Sehingga, apabila terhirup dapat mengganggu kesehatan.
Selain itu, minyak tersebut masih mengandung berbagai zat kimia yang jika disentuh secara langsung juga bisa berdampak bagi tubuh.
“Faktor keselamatan tetap harus menjadi prioritas, bukan sebaliknya malah abai,” ucapnya.
Sementara itu, di waktu sama digelar pertemuan antara perwakilan warga enam kelurahan dan 1 desa yang dialiri Sungai Kelekar dengan PHR Zona 4 Prabumulih Field, berlangsung di Gedung Islamic Center Kota Prabumulih, Senin (10/7/2023).
Pertemuan difasilitasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Prabumulih menyepakati empat poin, yaitu pertama pihak perusahaan bersedia melibatkan tenaga harian lokal atau warga setempat di kelurahan masing-masing untuk melakukan pekerjaan pembersihan paparan limbah B3 di lokasinya.
Kedua, data laporan warga terdampak terdiri dari nama warga, jarak rumah dari pinggiran sungai kelekar, alamat dan permasalahan warga terdampak atau media tercemar.
Ketiga, pendataan warga terdampak diterima paling lambat sampai Rabu, 12 Juli 2023 ke Pertamina Hulu Rokan Zona 4 Prabumulih Field.
Keempat, laporan warga terdampak yang masuk akan diverifikasi ke lapangan oleh tim bersama yang terdiri dari DLH Kota Prabumulih, Pertamina Hulu Rokan Zona 4 Prabumulih Field, RT dan aparat setempat.
Ada enam kelurahan dan satu desa yang menjadi wilayah terdampak, yaitu Kelurahan Majasari, Karang Raja, Tugu Kecil, Muara Dua, Gunung Ibul, Sindur dan Desa Pangkul. (ocha)