Sriwijayamedia.com – Pernikahan adalah kontrak antara dua orang yang sederajat, seorang pria dan seorang wanita. Seorang wanita, sebagai pasangan pria yang setara, dapat mengatur kondisi yang diinginkan sama seperti pria.
Menikah pada hakikatnya adalah melakukan pembicaraan tentang cinta (mawaddah wa rahmah), dan itulah dasar pernikahan.
Dengan demikian, hubungan laki-laki dan perempuan adalah hubungan horizontal, bukan hubungan vertikal, sehingga tidak ada ruang yang dominan dan dominan. Semua pihak sama dan bekerja sama dalam ikatan cinta dan kasih sayang.
Pendapat keempat madzhab tersebut diatas menunjukkan bahwa makna dan tujuan perkawinan sering dirumuskan sebagai berikut:
Wanita dapat menikmati tubuh suaminya
Kepemilikan kenikmatan seksual al-‘aqd wadh’ahu al-shari’ li yufīd milk istimtā’ al-rajul bi al-mar’ah wa bi al – istimtā’ al-mar’ah bi al-rajul” (kewajiban akad agama, bisnis atau niaga) (shara’) yang memberikan kenikmatan seksual kepada laki-laki atas (maito al-istimtā ‘) berarti hak guna dan keuntungan.
Hak dan tanggung jawab antara pria dan wanita
Ketidakadilan dalam suatu hubungan dapat memperpanjang proses yang tidak sehat dalam kehidupan pernikahan dan juga menyebabkan hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Definisi pernikahan di atas menjelaskan bahwa kelima aspek pernikahan pada dasarnya berkaitan dengan pria. Meskipun wanita juga dapat merasakan kesenangan ini. Dengan kata lain, definisi di atas menunjukkan bahwa pria dapat merasakan kenikmatan seksual dan wanita diperlukan.
Disatu sisi hanya untuk kenikmatan seksual pria, disisi lain terkait dengan pemenuhan kebutuhannya. Pada saat yang sama, seorang wanita hanya dapat menerimanya jika seorang pria memberikannya.
Kenikmatan seksual adalah hak bagi pria, sedangkan tanggung jawab bagi istri. Hal ini meningkatkan potensi terjadinya ketidakseimbangan atau kekerasan dalam pernikahan.
Insinyur Asghar Ali setuju dengan mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an wanita secara spiritual dan etis setara dengan pria, memberikan masing-masing hak independen yang sama untuk memilih istri mereka.
Di sini dia membenarkan ayat al-Quar. ‘a, -Ahzab ayat 35, yang artinya : “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang berserah diri, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, taat, jujur dalam perkataan, perbuatan dan niat, menanggung cobaan dalam peperangan di jalan Allah, merendahkan diri dan memberikan bagian hartanya.”
“Kamu membutuhkannya untuk orang miskin, tetapkan kewajiban dan puasa matahari, lindungi bagian pribadimu dari hal-hal yang dilarang dan ingatlah Allah dengan hati dan mulutmu. Tuhan mengampuni semua dosa mereka dan memberi pahala yang besar atas perbuatan baik mereka.” (QS. al-Ahzab [33].
Nikah itu adalah akad yang mengandung lafadz pernikahan dan percontohan yang punya akibat hukum dibolehkannya hubungan suami istri, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu pengertian nikah menurut para ahli hukum.
Hukum menikah di dalam Islam itu ada lima, pertama adalah Jaiz. Jaiz itu artinya boleh menikah ini adalah hukum asal dari menikah. Hukum ini bisa berubah menjadi sunat atau sunnah jika situasinya adalah orang yang ingin menikahsudah memiliki kemampuan untuk mencari nafkah atau menafkahi dirinya.
Ini hukumnya sunnah atau disarankan atau direkomendasikan, tetapi hukum sunnah bisa menjadi wajib jika orang yang memang sudah memiliki kemampuan menafkahi dirinya dan orang lain yang akan menjadi istrinya dan dia tidak ada kekhawatiran atau ada ketakutan.
Bisa jatuh ke lubang perzinahan atau dosa jika dia tidak segera menikah. Misalnya ada orang yang sudah menjalin hubungan dan saling mencintai. Calon suaminya sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi sehingga hukumnya menjadi wajib menikah.
Sebab jika tidak dikhawatirkan bisa jatuh ke lubang perizinan, hukumnya menjadi makruh. Hukum menikahi menjadi makruh jika orang tersebut belum memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah. Boleh dilakukan, tapi jika tidak akan mendapatkan pahala.
Jika ada orang yang belum bekerja atau belum memiliki kemampuan untuk mencari nafkah, tapi kemudian dia menikah itu hukumnya makruh. Boleh dijalankan, tapi kalau bisa ditunda dulu kemudian hukumnya menjadi haram atau sama sekali tidak boleh.
Pernikahan bukanlah hanya tentang kebebasan individual, tetapi juga melibatkan dimensi sosial dalam hubungan antara pasangan dan lingkungan keluarga atau masyarakat yang lebih besar.
Oleh karena itu, pernikahan yang ideal adalah yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu tidak terburu-buru dan memperhatikan kehendak perempuan. Hanya dengan memenuhi kedua syarat tersebut, hubungan intim antara pria dan wanita dapat diakhiri.
Sebelumnya, persiapan yang diperlukan harus dilakukan, termasuk saling menyapa dengan kalimat “Assalamu’alaykum yā Bāb al-rahmah” dari pria dan dijawab oleh wanita dengan “Assalamu wa raḥmatullahi ya shadiq al-amin”. Setelah itu, wanita harus mendapatkan izin dan persetujuan dari wali sebelum memilih pasangan.
Oleh :
Raisya Hanifah Mahasiswa Sastra Universitas Andalas, Minangkabau









