Sriwijayamedia.com – Puluhan media menghadiri forum legislasi yang dilaksanakan di Media Center Gedung DPR/MPR RI, Selasa (20/6/2023).
Dengan mengangkat tema “RUU Kesehatan Jamin Perlindungan Kesehatan Bayi dan Anak di Indonesia?” tersebut menghadirkan berbagai narasumber, yaitu Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena, Anggota Badan Legislatif DPR RI dari Fraksi Demokrat Dr Ir Herman Khaeron, Dewan Pembina Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Dr Baharudin, Anggota Pokja RUU Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia German E Anggent, Sekjen Ikatan Bidan Indonesia Ade Jubaidah, serta Dewan Pengamat Kesehatan Dr Hermawan Saputra.
Pada diskusi tersebut disampaikan berbagai opini yang diberikan baik dari sisi pemerintah, dalam hal ini diwakilkan oleh DPR RI, maupun dari sisi organisasi profesi bidang kesehatan.
Anggota Badan Legislatif DPR RI dari Fraksi Demokrat Dr Ir Herman Khaeron menyampaikan bahwa hanya Demokrat dan PKS yang sangat menolak pembahasan RUU Kesehatan ini dilanjutkan ke tingkat berikutnya.
“RUU Kesehatan ini seharusnya memberikan peranan penting terhadap masa depan anak bangsa, karena di dalam indikator kesejahteraan, indikator IPM menjadi ukuran terhadap tiap wilayah bahkan akumulatifnya menjadi ukuran nasional. Tiga aspek yang tidak boleh terlepas dan menjadi hal yang fundamental, karena merupakan Hak Asasi Manusia, yaitu kesehatan, pendidikan, serta pendapatan. Maka dari itu, saya tegaskan bahwa Fraksi Demokrat menolak keras RUU Kesehatan dan diharapkan kepada pemerintah untuk membuka kembali ruang diskusi untuk masukan, pandangan, serta parameter yang lebih jelas dan holistik,” ujar Herman.
Terkait membuka kembali ruang diskusi sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembuatan RUU Kesehatan ini, juga disampaikan Sekjen Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Ade Jubaidah.
Ade menilai bahwa RUU Kesehatan ini sangat minim transparansi, minim kejelasan, dan minim urgensi.
“Kami memang bersyukur DPR RI dan pemerinrah mengeluarkan UU No 4/2019 tentang Kebidanan, namun setelah RUU Kesehatan ini mendadak muncul, saya merasa bahwa ini sangat minim transparansi, dimana pemerintah terkesan sangat buru-buru dan terlihat ada yang disembuyikan. Selain itu, juga minim kejelasan. Kita semua tahu bahwa sudah ada 12 UU existing di bidang kesehatan, namun tiba-tiba semuanya dicabut dan langsung digantikan oleh RUU Kesehatan yang baru. Lalu, saya juga merasa ini minim urgensi. Kami itu tidak pernah menolak adanya transformasi kesehatan, namun setelah Pandemi Covid 19 ini, kami seperti tidak dianggap keberadaannya. Padahal kami sudah menjadi garda terdepan untuk memberikan pelayanan terbaik kami saat pandemi lalu,” sampainya.
Dewan Pembina Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Dr Baharudin juga menyampaikan bahwa pembuatan RUU Kesehatan ini seperti bentuk chaos theory, dimana harus dipastikan pemerintah melakukan keputusan terbaik bagi masyarakat, sehingga membuat UU yang menguntungkan bagi rakyat.
“Chaos theory itu seharusnya memberikan ruang bagi pemerintah untuk membuat UU yang menguntungkan bagi rakyatnya. Namun, nyatanya, Menteri Kesehatan seperti tidak melakukan check dan recheck terlebih dahulu mengenai organisasi profesi. Ini bukan hanya mengenai urusan bidan atau urusan dokter, tapi urusan seluruh masyarakat Indonesia di masa mendatang,” tegasnya.
Sementara itu, Dewan Pengamat Kesehatan Dr Hermawan Saputra menambahkan apabila 5 dari 12 poin dari SPM atau Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang terdapat pada UU No 23/2004 mengenai ibu dan anak dihapuskan, maka masa depan tidak akan sejalan dan cita-cita melenyapkan stunting akan lenyap.
“SPM itu ada 12 poin, dan 5 poin itu adalah mengenai ibu dan anak. Saat ini, angka imunisasi dasar lengkap yang terdata di Indonesia hanua 67,3% dan angka stunting Indonesia itu sebesar 24,4%. Apabila negara ini ingin menghilangkan stunting dan ingin meningkatkan produktif SDM nya, maka angka vaksinasi imunisasi harus mencapai 100% dan angka stunting yang berada di bawah 10%. Di RUU Kesehatan itu, jangan sampai menghapuskan 5 poin SPM itu, karena masa depan yang dicita-citakan Indonesia tidak akan sejalan bahkan hilang,” paparnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Golkar Emanuel Melkiades Laka Lena menerangkan RUU Kesehatan ini dibuat sebagai hasil dari rangkuman seluruh UU Kesehatan sebelumnya, dan tidak heran menimbulkan pro kontra.
“RUU Kesehatan ini sudah melewati tahapan lebih lanjut di Komisi IX DPR RI, tinggal menunggu keputusan para pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi, yang apabila sudah diputuskan, maka akan disahkan pada Rapat Paripurna. Isi dari RUU Kesehatan ini juga mencakup banyak perhatian yang diberikan kepada bayi, ibu, dan anak. RUU ini dibahas sejak bulan April hingga Juni Tahun 2023 dan sudah menguras banyak energi seluruh anggota Komisi IX DPR RI. Kami hanya ingin memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dan seluruh tenaga medis di Indonesia,” terangnya.(raya)