Sriwijayamedia.com – Dalam rangka mendukung konsistensi 5 tujuan politik RUU Kesehatan yang disampaikan DPR RI, yaitu peningkatan akses dan pemerataan, hak layanan berkualitas dan terjangkau, koordinasi dan sinergi penyelenggara, keamanan, pengembangan teknologi dan inovasi.
Kemudian Undang Undang (UU) Republik Indonesia (RI) No 35/2014 tentang Perubahan Atas UU No 23/2022 tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 44 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan didukung oleh peran serta masyarakat. Dengan meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.
Dengan catatan bila menemukan keluarga yang tidak mampu diselenggarakan secara cuma-cuma. Demikian bunyi lengkap pasal 44 yang terdiri dari 4 ayat tersebut.
Serta memperhatikan mandat UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76 Ayat 2 yang menyatakan bahwa KPAI memiliki tugas memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak.
Sehingga KPAI menjadi lembaga yang terus menerus diharapkan memastikan produk legislasi memiliki perspektif perlindungan anak.
Untuk itu, KPAI membentuk Kelompok Kerja (Pokja) RUU Kesehatan yang merupakan gabungan berbagai disiplin Ilmu dalam kepentingan terbaik bagi anak. Terdiri para komisioner KPAI, akedemisi, para ahli kesehatan, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada advokasi bidang kesehatan, para individu yang memiliki keilmuwan penting dalam pengawalannya di bidang kesehatan.
Sehingga pengawalan dan kerja legislasi yang telah dilakukan para anggota DPR RI yang membidangi kesehatan dan pemerintah harus terus di dukung, hingga ketok palu pengesahan nanti. Dalam rangka bersama sama menghadirkan produk legislasi yang mengarusutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan menghindarkan kondisi pengabaian terhadap hak dan perlindungan anak di bidang kesehatan.
Ketua KPAI AI Maryati Sholihah menyampaikan hak kesehatan anak adalah isu yang sangat penting dalam kluster konvensi hak anak dan tidak boleh diabaikan. Karena sampai hari ini kita masih diperlihatkan ibu yang terlanjur melahirkan yang belum terlayani tenaga kesehatan.
Kemudian temuan obat sirup yang menjadi gagal ginjal anak bagai pembunuhan massal, karena tidak sebanding penanganannya padahal jiwa sudah melayang.
Keterlambatan imunisasi lengkap pada anak yang menyebabkan menjadi penyakit yang harusnya bisa dicegah, lalu menuju fasilitas kesehatan kita yang belum menunjang seperti ibu yang harus mendapatkan penanganan persalinan segera masih ditandu, dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) terkait aborsi karena kejahatan seksual, traficking, perdagangan orang, eksploitasi.
Seperti yang saya alami langsung, mendampingi anak hamil dari korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih sulit mendapatkan akses hak aborsi secara sehat. Kemudian ketika lahir pun anak tidak tahu siapa ayah, dan ibunya yang notabene anak dalam keadaan depresi saat persalinan, itu benar benar terjadi.
Kita juga masih berhadapan dengan pandemi, yang ketika terjadi sesuatu pada anak “kagetan”. Padahal dalam UU Kesehatan sudah jelas sekali dalam struktur, bagaimana tugas dan fungsi dari penyelenggara kesehatan mulai dari pusat sampai daerah. Hanya realitanya di lapangan, yang satu bilang gas, yang satu lagi bilang injak rem. Pandemi yang sudah kita hadapi 3 tahun, masih ada seperti ini.
Tentu ini semua bukan yang semestinya harus terjadi pada anak. Untuk itu penting dibentuknya Pokja agar ada perspektif yang tajam dalam mengkritisi RUU, ini sangat krusial. Tentu kita akan hearing di DPR, kita menyaring usulan dan masukan dari berbagai lapisan masyarakat.
Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Eva Devita Harmoniati menyampaikan karena anak bertumbuh dan berkembang maka segala hal sekecil apapun yang dilakukan akan berdampak panjang. Untuk itulah sejak dalam kandungan perlu di intervensi, karena dimulai dari kandungan terancam stunting, dari stunting menjadi potensi disabilitas, setelah lahir mempengaruhi pertumbuhan emosional, fisik, otak dan jiwa. Yang akan menambah berbagai hambatan gagal tumbuh.
Sehingga intervensi sejak dari perencanaan, kandungan dan kelahiran harus dipahami sebagai konsep menyeluruh dari anak yang sehat, yang kedepan akan mempunyai kemampuan belajar yang lebih baik serta akan tumbuh dewasa sebagai individu yang produktif dan mandiri.
Sebagai gambaran, saat ini kasus mall nutrisi cukup besar, walau survey Gizi 2022, angka stunting menurun 21 persen, tapi sebenarnya dalam praktek sehari hari para dokter masih banyak menemukan kasus under weight atau kurus, dan kalau tidak di intervensi akan menjadi stunting.
Sehingga situasi ini akan mempengaruhui ketahanan tubuh, karena nutrisi yang tidak cukup, daya tahan tubuh menurun, kekuatan otot menurun, sehingga motorik terganggu, sehinga kecerdasan melambat. Hal ini terbukti dalam penelitian anak mengalami stunting IQ nya lebih rendah.
Kalau ditanya apakah ada hubungan stunting dengan disabilitas, tentu ada hubungannya. Tapi disabiltias yang mana? Yaitu disabilitas intelektual. Karena ketika mengalami stunting ada delay, tidak hanya motorik, kemampuan berbahasa dan pemahamannya berkurang dan anak mengalami stunting.
Tidak tertangani dengan baik dimasa emas, di 2 tahun pertama, terhitung sejak dari saat mengandung, maka akan jadi anak bermasalah di sekolah, tidak bisa mengikuti sekolah, mengalami bullying di berbagai tempat, dan terlibat berbagai macam gangguan perilaku dan kenakalan remaja
Koordinator Pokja RUU Kesehatan KPAI Jasra Putra menyampaikan Pokja akan bekerja selama 3 bulan, mulai Mei sampai Agustus, terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden No 61/2016 tentang KPAI, pada pasal 8 bahwa KPAI dapat membentuk kelompok kerja perlindungan anak sesuai kebutuhan yang terdiri dari unsur akedemisi, masyarakat dan pemerintah. Pokja ini sangat urgen ditengah keterbatasan KPAI melihat isu ini.
Isu omnibus law di Negara Negara maju sudah dilakukan. Dimana mengumpulkan berbagai Undang Undang sejenis, dimana di RUU Kesehatan ini ada 13 UU yang akan dikumpulkan. Pertanyaannya apakah 13 Undang Undang yang akan di jadikan satu tersebut, sudah mengacu pada UU Perlindungan Anak yang menyampaikan kewajiban pemerintah dan pemerintah pusat pada setiap anak untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
Oleh karena itu, ada 2 hal yang perlu di pastikan, pertama kepastian hukumnya karena akan mencuplik pasal pasal dari 13 UU terkait isu kesehatan, maka ketika berlaku apakah kita akan merujuk ke sini, atau masih bisa merujuk dengan UU sebelumnya. Untuk itu, penting kepastian hukum. Kedua bagaimana dampak bagi pengguna hukum, terkait kesehatan terutama anak anak kita.
Saya kira ini jadi diskusi panjang para pegiat hukum. Padahal kita tahu anak anak di mata hukum bukanlah subyek hukum, karena setiap yang terjadi pada anak, diyakini ada peristiwa yang mendasarinya. Karena mereka tidak bisa memenuhi hak dan kewajibannya sendiri, akibat kebutuhan tumbuh kembang yang harus terus di kuatkan dan didampingi hingga pada saatnya anak akan mandiri.
Namun KPAI tentu akan melihat lebih jauh, dengan melihat perspektif dari perlindungan anaknya, dan inklusi terutama untuk anak anak berkebutuhan khusus serta disabilitas. Karena kalau sudah bisa menjawab terkait kesehatan anak anak disabilitas maka anak anak non disabilitas itu otomatis akan terlayani.
Karena UU Perlindungan Anak bicara anak 0 sampai 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Artinya perlindungan anak mempersyaratkan sejak perencanaan kehamilan, saat mengandung sampai 18 tahun, dalam memastikan bagaimana sistem penyelenggaraan perlindungan anak di RUU Kesehatan.
Memang memahami konstruksi UU ini, seperti memahami perjalanan hidup manusia secara keseluruhan. Beberapa pasal sudah muncul terkait pemenuhan hak anak, pada saat ibu mengandung, saat kelahiran, stunting, imunisasi, isu rokok.
Kita sudah mulai mendetailkan apa yang harus dilakukan untuk melihat lebih utuh RUU Kesehatan sebagai penguat penyelenggaraan perlindungan anak. Karena sekali lagi, hak kesehatan adalah satu satunya hak anak, yang perlindungannya berlangsung sejak dari perencanaan, kandungan dan kelahiran anak. Sehingga ini pondasi awal dan sangat menentukan.
Karena bila intervensinya salah, akan menjadi penyebab berkepanjangan, yang tidak perlu terjadi.
Karena telah banyaknya penemuan dan inovasi dunia kesehatan terutama aspek promotif, preventif yang telah berhasil mengantisipasi dalam menghindari pertumbuhan anak yang buruk.
Sayangnya masalah di ujung ini, masih sangat perlu di dukung sosialisasinya. Karena angka kematian kandungan, kematian ibu, kematian di masa neonatal masih menjadi masalah klasik.
Sehingga masa emas ini perlu menjadi prioritas intervensi, sehingga RUU Kesehatan seperti gerbang awal menentukan keseluruhan keberhasilan negara dalam melindungi anak, terpeleset sedikit saja atau ada yang terlewat dalam pembahasannya, maka akan berdampak jangka panjang seumur hidup anak sampai dewasanya, berdampak sangat sistemik pada penyelenggaraan perlindungan warga negara ke depan.
Sebelumnya, KPAI mengeluarkan Surat Keputusan 14 tahun 2023 yang menetapkan nama nama tercantum sebagai Pokja Analisis Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak dalam rancangan UU Kesehatan, yaitu Ketua KPAI Ai Maryati Sholihah, Wakil Ketua KPAI Jasra Putra, anggota KPAI Diyah Puspitarini, Anggota KPAI Aris Adi Leksono, anggota KPAI Kawiyan, Kepala Sekretariat KPAI Dewi Respatiningsih, Dewan Jaminan Sosial Nasional/P3HKI Ahmad Ansyori, Universitas Widya Mandala Surabaya Wahyu Wibowo, Direktur ELKAPE (lembaga Analis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan) German E. Anggent, Akedemisi Muhammadiyah Roosita Meilani Dewi, Pemerhati Anak Farid Ari Fandi, Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari, Analis Pengelola Anggaran APBN Rahmi Umaira Arlym, Analis Pengawasan dan Hubungan Kelembagaan KPAI Sander Dicky Zulkarnaen, Analis Hukum KPAI Muhammad Fakhry, Analis Pengawasan KPAI Afif Al Ghani Yoneva, dan Prameshwara Winriadirachman Analis Pengawasan KPAI.
Oleh :
Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI