Sriwijayamedia.com – Pemkab Muara Enim secara resmi menghentikan aktivitas pengangkutan batubara milik PT Musi Prima Coal (MPC) di Sungai Lematang Desa Dangku Kecamatan Empat Petulai Dangku, Muara Enim.
Hal itu didasarkan pada hasil rapat sebelumnya yang dipimpin Sekda Muara Enim Yulius, diikuti oleh Kepala Dishub Muara Enim Junaidi, pada Senin (29/5/2023) lalu.
“Seluruh aktivitas angkutan batubara PT MPC melalui aliran Sungai Lematang dihentikan,” ujar Junaidi.
Dia mengaku hal ini dilakukan karena aktivitas pelabuhan dan pelayaran yang dilakukan oleh perusahaan ini belum mendapat izin resmi dari Dishub Sumsel.
Oleh sebab itu, perusahaan diminta melengkapi izin. Terlebih banyak sorotan yang diterima oleh Pemkab Muara Enim dalam penanganan permasalahan perusahaan perusak lingkungan ini.
Belakangan diketahui, dalam rapat yang menyimpulkan penghentian sementara kegiatan MPC di aliran Sungai Lematang itu telah pula didengar laporan dan keluhan dari 15 kepala desa setempat.
“Penghentian itu setelah adanya laporan dari 15 orang Kepala Desa yang masuk di Kecamatan Empat Petulai Dangku dan Kecamatan Sungai Rotan serta masyarakat di sekitar wilayah operasi PT MPC. Mereka mempermasalahkan persoalan air sungai yang semakin keruh, adanya tanah longsor di area permukiman warga dan adanya kerusakan pada usaha tambak ikan warga serta masih banyak lagi,” terang Junaidi.
Meski telah disetop, sejumlah masyarakat tetap meminta Pemkab Muara Enim bisa bertindak tegas dengan tidak memberikan izin terhadap aktivitas pengangkutan batubara melalui Sungai Lematang lewat pelabuhan tersebut.
Ketua DPD LSM Gerakan Rakyat Peduli Keadilan (GRPK) RI Muara Enim Harmani menilai ada temuan kesalahan berulang yang dilakukan PT MPC sehingga penting bagi Pemkab Muara Enim dan APH untuk bertindak tegas.
Baru-baru ini, kontraktor perusahaan tersebut terbukti bersalah lantaran melakukan pengalihan alur Sungai Penimur.
Pengadilan Negeri (PN) Muara Enim memvonis PT LCL selaku kontraktor yang dikomandoi saudara Zambi dengan denda Rp2 miliar.
“Keputusan itu diberikan lantaran perusahaan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dan nonkonstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah,” paparnya.
Belum lagi sederet sanksi lingkungan lain yang sebelumnya telah diterima perusahaan selama beroperasi. Hal itu menandakan jika kelestarian lingkungan bukan menjadi prioritas utama perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya.
“Jika perusahaan-perusahaan semacam ini dibiarkan tanpa ada tindakan tegas, maka akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan perkembangan ekonomi di daerah khususnya Muara Enim,” kata Harmani, Rabu (31/5/2023).
Menurut dia, lebih baik kehilangan satu investor daripada harus kehilangan martabat dan harga diri kabupaten dalam membela hak dan kepentingan masyarakat, karena pelanggar aturan tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Operasional Pelabuhan Disinyalir Tanpa AMDAL dan Tabrak Aturan
Sebelumnya, PT MPC telah mendapatkan sanksi lingkungan terkait aktivitas pelabuhan miliknya. Namun belakangan, sanksi itu telah dicabut melalui keputusan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.1284/MENLHK/Setjen/PLA.4/12/2022 tentang persetujuan dokumen evaluasi lingkungan hidup, kegiatan operasional terminal khusus Batu bara dan Fasilitas pendukung di Desa Dangku, Kabupaten Muara Enim (Sumsel) pada 23 Desember 2022.
Hal itulah yang membuat perusahaan pada tahun ini mulai melakukan uji coba pelabuhan.
“Izin sudah ada dan sanksi sebelumnya telah dicabut,” ujar Pengawas Lingkungan Ahli Muda Dinas Lingkungan Hidup Muara Enim Ana Novianty.
Sayangnya, izin lingkungan yang dimaksud tidak dirincikan apakah AMDAL ataupun UKL-UPL. Sehingga masih menjadi pertanyaan bagi masyarakat dan aktivis lingkungan. Sebab untuk aktivitas PT MPC dalam skala besar tersebut, diperlukan izin AMDAL, bukan UKL/UPL seperti yang beredar, dan diberikan pula oleh BKPM.
Tak hanya itu, aktivitas di sempadan sungai mulai dari pembangunan konstruksi dan hal berkaitan dengan pelabuhan tersebut, sebelum ini juga telah menjadi sorotan karena dianggap menabrak undang-undang.
Puncaknya, berdasarkan penelusuran lokasi pelabuhan PT MPC Itu berada di luar Izin Usaha Perusahaan (IUP), sehingga sudah layak untuk dikenakan sanksi.
Namun sampai saat ini belum ada konfirmasi maupun klarifikasi dari perwakilan perusahaan, termasuk KTT PT MPC Bambang saat dikonfirmasi.
Terpisah, Ketua Komisi IV DPRD Sumsel Holda juga ikut menyoroti hal itu. Terlebih saat aktivitas ini diduga berlangsung di tengah sanksi yang menjerat korporasi ini, mulai dari MPC, kontraktornya Lematang Coal Lestari dan pembangkit listrik GHEMMI.
Komisi IV DPRD Sumsel berencana akan melakukan pemanggilan terhadap manajemen perusahaan.
“Segera kita jadwalkan,” tegas Holda.
Apalagi, aktivitas ini juga mendapat protes dari masyarakat di empat desa, yaitu Kelurahan Payu Putat dan Gunung Kemala di Prabumulih dan Desa Siku dan Desa Dangku di Muara Enim.
Holda mengungkapkan, permasalahan pertambangan di Sumsel belakangan semakin menjadi.
Oleh sebab itu pula pihaknya mengaku tetap memberi atensi terhadap permasalahan, termasuk aduan masyarakat.
Wakil Ketua Komisi V DPRD Sumsel Hasbi Asadiki memastikan pemanggilan terhadap Musi Prima Coal akan segera dikordinasikan oleh pihaknya, bahkan tidak menutup kemungkinan pula untuk memanggil pihak terkait.
“Kita akan koordinasikan dengan ketua dan anggota lain kapan waktunya dipanggil bersama pihak terkait (Dinas ESDM dan Dinas LH),” papar Hasbi. (Kiki)