Sriwijayamedia.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten OKI akhirnya memberikan penjelasan dan edukasi tentang cara membaca data statistik terkait trend angka kemiskinan.
Ini menyusul adanya kesimpangsiuran informasi mengenai progres angka kemiskinan di Kabupaten OKI, Sumsel.
Kepala BPS OKI Anugrahani Prasetyowati, S.ST., M. Si., menyampaikan bahwa dalam merilis angka kemiskinan kabupaten/kota, BPS melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) setiap tahunnya.
Menurut Hani, pengukuran yang ideal diukur berdasar persentase naik turun angka kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam satu wilayah.
“Dalam melihat kemiskinan, yang kita perhatikan adalah persentasenya dibandingkan dengan total jumlah penduduk di daerah tersebut. Itulah yang menjadi acuan yang objektif,” aku Hani, Selasa (9/5/2023).
Hani melanjutkan, setiap daerah memiliki jumlah penduduk berbeda-beda hingga tidak bisa dijadikan acuan penghitungan angka kemiskinan.
“Kurang tepat bila membandingkan dengan menggunakan indikator pembandingnya dari sisi jumlah penduduk miskinnya saja. Sudah pasti kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang banyak, maka jumlah penduduk miskinnya juga akan banyak,” terangnya.
Dia mengilustrasikan seperti Kota Palembang berada di urutan pertama dan Kabupaten OKI diurutan kedua. Karena kedua daerah ini memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibanding daerah lain di Sumsel.
Hani memaparkan untuk mengukur kemiskinan dapat dilihat dari tiga indikator: Pertama Tingkat Kemiskinan (P0). Cara pertama dengan melihat perbandingan penduduk yang mengeluarkan pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan (GK).
Sementara itu GK mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang, seperti kebutuhan makanan (GKM) maupun non-makanan (GKNM).
GKM dilihat dari kebutuhan seseorang yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita. Paket harian ini seperti dari jenis bahan baku padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak.
Sementara GKNM merupakan kebutuhan di luar makanan. Hal ini dapat berupa perumahan, sandang, pendidikan, serta kesehatan. Diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
Selanjutnya kedua P1 atau indeks kedalaman kemiskinan. Caranya dengan melihat rata-rata selisih pengeluaran per kapita penduduk miskin dengan garis kemiskinan yang terjadi di masyarakat.
“P1 menunjukkan bahwa jika P1 semakin tinggi, maka angka kemiskinan penduduk juga semakin jauh dari rata-rata pengeluaran penduduk per kapita. Sebaliknya, semakin kecil nilai indeks maka semakin mendekati garis kemiskinan,” imbuhnya.
Ketiga Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Cara ketiga dengan melihat keparahan kemiskinan dengan kode P2. Hitungannya adalah rata-rata dari kuadrat selisih pengeluaran per kapita penduduk miskin dengan garis kemiskinan.
Dengan begitu, keparahan kemiskinan dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Jika nilai indeks semakin tinggi, semakin tinggi juga ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Hani menambahkan BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs approach untuk mengukur tingkat kemiskinan di OKI.
“Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan,” paparnya.
Hani juga menyampaikan bahwa Kabupaten OKI salah satu daerah yang mengalami penurunan angka kemiskinan signifikan di tahun 2022 lalu.
Menurutnya, angka perubahan penurunan tersebut menjadi salah satu indikator keberhasilan pemerintah daerah dalam upaya penurunan kemiskinan di suatu wilayah.
“Penurunan 1,45 persen tergolong penurunan yang cukup tinggi, terutama diantara Kabupaten kota lainnya di Sumsel sehingga secara urutan Kabupaten OKI turun peringkat dari urutan ke 4 termiskin menjadi urutan ke-5 di Sumsel,” jelasnya.(jay)