Sriwijayamedia.com – Perayaan Nyepi identik dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan salah satu kebudayaan dari Bali.
Tradisi pawai ogoh-ogoh termasuk dalam ritual Hari Raya Nyepi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, ogoh-ogoh merupakan patung yang terbuat dari bambu, kertas, dan lain sebagainya berbentuk raksasa dan lain-lain yang diarak keliling desa pada hari tertentu (biasanya sehari menjelang Nyepi).
Meskipun terkesan sangar dan menakutkan, penampilan ogoh-ogoh memiliki makna sekaligus sebagai salah satu rangkaian dari upacara pergantian Tahun Baru Caka.
Ogoh-ogoh diarak saat menjelang malam pada hari pengerupukan, yakni sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh yang diarak keliling kota atau hanya melewati persimpangan jalan bermakna Bhuta Kala. Yakni artinya sifat-sifat keraksasaan atau sifat buruk dalam diri manusia dipanggil dan dikumpulkan.
Setelah diarak, ogoh-ogoh tersebut akan dimusnahkan dengan cara dibakar. Pembakaran ini mengandung arti melenyapkan sifat-sifat buruk yang melekat dalam diri manusia.
Dengan demikian, umat Hindu siap menyambut Tahun Baru Caka dengan keadaan bersih lahir dan batin.
Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tidak terukur serta tidak terbantahkan.
Perwujudan patung ogoh-ogoh, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan. Masyarakat Bali menggambarkannya dalam wujud raksasa.
Selain itu, ogoh-ogoh sering digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup lainnya yang berasal dari Mayapada, Syurga dan Naraka misalnya seperti naga, gajah, dan widyadari (bidadari).
Asal Usul Perayaan Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh sebenarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sekitar tahun 80-an, umat Hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara keliling desa. Dalam acara tersebut masyarakat dengan membawa obor atau yang disebut acara Ngerupuk.
Sebelum memulai pawai ogoh-ogoh, para peserta upacara biasanya minum minuman keras traditional yang disebut dengan arak khas Bali.
Lalu, ogoh-ogoh diarak menuju tempat yang diberi nama sema (tempat persemayaman umat Hindu sebelum dibakar dan pada saat pembakaran mayat). Selanjutnya ogoh-ogoh yang sudah diarak mengelilingi desa tersebut dibakar.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh diarak setelah upacara pokok selesai.
Ia diarak diiringi dengan irama gamelan khas Bali yang diberi nama bleganjur. Sebetulnya, ogoh-ogoh merupakan kreativitas dan spontanitas masyarakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara Ngerupuk.
Sebagai salah satu umat Hindu di Indonesia, saya tentunya memiliki harapan kepada bangsa ini, khususnya kepada para oemimpin bangsa. Semoga di tahun ini lahir pemimpin berjiwa kesatria. Seorang pemimpin yang nantinya harus bisa mewujudkan tepo seliro. Janganlah memakai istilah ‘mumpung’.
Mari tegakan keadilan di negara ini. Hukumlah orang yang memang pantas mendapat hukuman akibat perbuatan yang dilakukan, kalau perlu beri hukuman seberat-beratnya. Namun jangan mencari-cari kesalahan pada orang yang tidak berbuat kesalahan (orang benar). Karena jaman kali ini bisa dikatakan ‘jaman edan’, yang jujur menjadi hancur, yang tidak jujur justru tumbuh subur.
Karena itulah penulis berharap agar para penegak hukum jangan melindungi orang-orang yang melanggar hukum agar martabat bangsa kita tidak selalu direndahkan oleh negara-negara lain.
Terlebih saat ini bangsa Indonesia memasuki tahun politik menuju pemilu 2024, yang sudah dipastikan akan banyak isu SARA, hoaks dan lain-lain bermunculan dan berpotensi memecah belah bangsa. Kita sebagai bagian dari masyarakat harus lebih mawas diri dan bijaksana dalam menerima berbagai informasi yang ada, salahsatunya dengan tidak menelan mentah-mentah informasi yang ada namun terlebih dahulu mencari kebenarannya dari berbagai pihak atau dengan melakukan literasi media.
Salam kebangsaan.
“Rahajeng Rahina Nyepi Warsa Anyar Saka 1945. Mari rayakan hari yang suci ini dalam keheningan dan kedamaian”
Oleh :
Iputu Ngurah AG, Umat Hindu Bekasi/Pura Rawamangun