Sriwijayamedia.com – Over supply PLN itu merupakan beban. Sebab, pemerintah harus membayar meski listrik tidak digunakan. Produksi listrik yang berlebih atau over supply listrik yang tidak disalurkan akan disimpan dalam jaringan milik PT PLN (persero).
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Studi Rakyat Demokrasi (SDR) Hari Purwanto, di Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Menurut dia, PLN menggunakan skema take of pay dalam transaksi listriknya. Artinya, listrik yang dipakai atau tidak dari hasil diproduksi produsen listrik swasta (IPP), PLN tetap harus membayar sesuai kontrak.
Data dari DPR RI, lanjut dia, bahwa PLN akan over supply listrik 41 GW pada 2030, seiring dengan penerapan energi baru terbarukan (EBT). Sebab itu, setiap 1 GW, PLN harus menanggung beban sekitar Rp3 triliun per tahun karena imbas skema Take or Pay (TOP).
Selama ini, masih kata dia, PLN dininabobokan. Sebab PLN sebagai satu-satunya BUMN yang bergerak di bidang energi kelistrikan dengan basis perusahaan yang melakukan sistem monopoli.
Karena listrik memiliki keterkaitan dengan hajat hidup orang banyak, pemerintah harus betul-betul serius dalam menata pengelolaan PLN dengan baik.
“Jangan sampai melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menetapkan harga terlalu tinggi karena hanya PLN yang memonopoli sektor listrik,” terangnya.
Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dengan over supply PLN adalah rencana memberikan subsidi untuk pembelian motor listrik.
Pemberian subsidi motor listrik dengan asumsi dapat membantu efisiensi anggaran lewat pengurangan subsidi BBM. Pemberian subsidi diharap bisa mendorong minat masyarakat untuk beralih dari kendaraan berbasis BBM ke kendaraan listrik.
“Besaran subsidi yang pemerintah akan berikan untuk pembelian motor listrik kemungkinan Rp 6,5 juta. Pemerintah berambisi memproduksi motor listrik mencapai 1,2 juta unit dan mobil listrik sebanyak 75.000 unit pada 2024,” paparnya.
Dia juga mempertanyakan apa solusi jitu dari pemerintah terhadap over supply PLN.
Jika diamati PLN selama ini selalu menjadi bacakan dan sarang korupsi berkaca dari beberapa kasus korupsi PLN yang menjerat Direktur Utama (Dirut) PLN.
Antara lain Eddie Widiono merupakan Dirut PLN yang menjabat pada periode 2001-2008. Eddie dinyatakan bersalah oleh hakim karena kasus korupsi proyek outsourcing Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) Tangerang tahun 2004-2007.
Selanjutnya, Nur Pamudji merupakan mantan Dirut PLN yang menjabat pada periode 2011-2014. Ia sedianya menjalani hukuman tujuh tahun penjara atas perkara korupsi pengadaan barang yang dilakukan PLN untuk BBM jenis High Speed Diesel (HSD).
“Nur Pamudji sebelumnya divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan,” imbuhnya.
Kemudian Sofyan Basir menjabat sebagai Dirut PLN pada periode 2014-2019. Ia sebelumnya diduga membantu mantan Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Maulani Saragih menerima uang suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
Hakim menyatakan Sofyan harus dibebaskan dari segala dakwaan. Namun di sisi lain jaksa mengatakan bahwa Sofyan Basir terbukti membantu terjadinya suap dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1.
“Mantan Dirut BRI ini memfasilitasi kesepakatan proyek hingga mengetahui adanya pemberian uang,” jelasnya.(Irawan)