Sriwijayamedia.com – Partai Buruh, KSPI, serta organisasi serikat buruh lebih memilih pola PERPPU ketimbang omnibus law UU Cipta Kerja dibahas di Pansus atau Baleg DPR RI terhadap omnibus law UU Cipta Kerja.
Dalam hukum ketatanegaraan, pembahasan produk undang-undang, ada dua metode atau pilihan. Pertama adalah PERPPU dengan memandang kedaruratan, kedua melalui DPR RI. Dalam kaitan itu, buruh memilih metode Perppu.
Menurut Presiden Partai Buruh Said Iqbal, pilihan itu diambil setelah mempertimbangkan pengalaman di awal awal pembahasan UU Cipta Kerja berapa tahun yang lalu, dimana buruh, petani, nelayan, kelas pekerja merasa dibohongi.
“Maka pembahasan ulang UU Cipta Kerja ini kami menolak atau tidak setuju terhadap dilakukan di DPR RI,” ujar Ketua Umum (Ketum) Partai Buruh Said Iqbal, Minggu (1/1/2023).
Said menilai DPR tidak hanya “menyakiti” buruh dalam kasus omnibus law, tetapi juga lahirnya UU KUHP yang di dalamnya ada pasal karet yang rentan terjadi kriminalisasi.
Buruh juga tidak setuju dengan UU PPSK, khususnya terkait JHT yang tidak bisa diambil 100 persen saat PHK dan harus menunggu masa pensiun dengan adanya istilah akun utama dan akun tambahan. Dan yang terdahulu UU KPK, KPK dilemahkan. UU PPRT bahkan tidak kunjung disahkan meski sudah 17 tahun.
“Fakta-fakta itulah yang membuat buruh tidak percaya dengan DPR RI yang sekarang,” tutur Said Iqbal.
Terkait dengan isi PERPPU, Partai Buruh menolak atau tidak setuju.
“Setelah mempelajari, membaca, menelaah, dan mengkaji salinan Perppu No 2 tahun 2022 yang beredar di media sosial, dan kami sudah menyandingkan dengan UU Cipta Kerja serta UU No 13 Tahun 2003, maka sikap kami menolak,” paparnya.
Beberapa pasal yang ditolak oleh buruh, yang pertama adalah pasal tentang upah minimum. Di dalam PERPPU, upah minimum kab/kota digunakan istilah dapat ditetapkan oleh Gubernur. Itu sama dengan UU Cipta Kerja. Bahasa hukum “dapat”, berarti bisa ada bisa tidak, tergantung Gubernur. Usulan buruh adalah, redaksinya adalah Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Hal lain di dalam UU Cipta Kerja, upah minimum kenaikannya inflansi atau pertumbuhan ekonomi. Menggunakan bahasa “atau”, dipilih salah satunya. Sedangkan di UU 13/2003 didasarkan pada survey kebutuhan hidup layak dan turunannya PP 78/2015 menggunakan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Menggunakan kata “dan”, jadi akumulasi dari keduanya.
Sementara di dalam PERPPU berdasarkan variabel inflansi, pertubuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Ini yang ditolak buruh. Sebab dalam hukum ketenagakerjaan tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum.
“Kami menduga indeks tertentu seperti di dalam Permenaker 18/2022, menggunakan indeks 0,1 sampa 0,3. Partai buruh menginginkan tidak perlu indeks tertentu,” jelas Iqbal.
Dalam pasal lain yang ditolak di PERPPU adalah adanya Pasal 88F yang berbunyi, dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Buruh berpendapat, ini seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah. Sehingga bisa seenaknya mengubah-ubah aturan. Permasalahan lain terkait dengan pengupahan, PERPPU juga menegaskan hilangnya upah minimum sektoral.
Iqbal menyimpulkan, persolan dalam PERPPU terkait upah minimum yang ditolak buruh adalah: pertama, UMK bisa diputuskan gubernur bisa juga tidak. Kedua, formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Buruh menolak menggunakan indeks tertentu. Ketiga, Pemerintah bisa mengubah formula kenaikan upah minimum, ini juga tidak ditolak buruh. Keempat, upah minimum sektoral dihilangkan.
Catatan kedua yang ditolak buruh adalah outsourcing atau alih daya. Di dalam UU Cipta Kerja, Pasal 64, 65, dan 66 dihapus. Prinsipnya, alih daya diperbolehkan oleh PERPPU, sehingga tidak ada bedanya, meski ada ruang dialog.
Dalam PERPPU disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dalam Peraturan Pemerintah.
“Akan diatur dalam perturan pemerintah, mana yang boleh mana yang tidak. Makin tidak jelas. Karena semakin menegaskan semua pekerjaan bisa di outsourcing. Ukurannya apa jika diserahkan kepada peraturan pemerintah? Bisa seenak-enaknya dong?”, tanya Said.
Untuk itu, pihaknya meminta sekurang-kuranya outsourcing harus kembali ke UU No 13/2003, dengan ada batasan yang jelas.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah terkait pesangon. Dalam PERPPU tidak ada perubahan. Buruh meminta kembali pada UU No 13/2003. Sementara jika upah di tingkat manager atau direksi dinilai terlalu tinggi, bisa dibuat Batasan 4 PTK.
Keempat, yang sorot adalah tentang PKWT yang di UU Cipta Kerja tidak dibatasi periode kotraknya. Di PERPPU tidak ada perubahan, sehingga buruh menolak ini, karena dengan adanya pasal ini kontrak kerja bisa dibuat berulangkali.
Kelima, terkait dengan PHK tidak ada perubahan. Masih sama dengan UU Cipta Kerja. Partai Buruh menolak system mudah rekrut mudah PHK.
Keenam, tenaga kerja asing. Sama persis dengasn UU Cipta Kerja. Partai Buruh menolak dan meminta harus ada izin untuk TKA. Kalau izin belum keluar, tidak boleh bekerja.
“Kemudian saksi pidana, sama persis dengan UU Cipta Kerja. Kami minta kembali ke UU 13/2003. Berikutnya adalah pengaturan waktu kerja juga sama persis dengan UU Cipta Kerja. Begitu juga pengaturan cuti. Pengaturan cuti panjang yang hilang, kami tolak. Begitu juga pengaturan cuti, harus kembali ke UU No 13 Tahun 2003,” urainya.
Sementara itu, terhadap isi UU Cipta Kerja mengenai pasal Bank Tanah, di PERPPU tidak ada perubahan. Artinya tetap berlaku UU Cipta Kerja.
“Kami tolak, karena merugikan petani dan pemilik tanah orang kecil. Bank Tanah diorientasikan untuk kepentingan korporasi besar, perkebunan sawit, dan sebagainya. Partai Buruh dan SPI meminta bank tanah dikorelasikan dengan reforma agraria. Bank tanah yang dimaksud adalah untuk didistribusikan kepada petani,” tegasnya.
Langkah yang akan diambil, adalah mempertimbangkan langkah hukum dengan melakukan judicial review. Sementara langkah gerakan, akan ada aksi besar-besaran. Di samping itu, pihaknya juga akan melakukan lobi. Partai Buruh dan serikat buruh berharap bisa bertemu dengan Presiden Jokowi untuk memberikan masukan.
“Tentang kapan waktu pekaksanaan aksi dan gugatan terhadap PERPPU kami akan diskusikan terlebih dahulu dengan elemen yang ada Partai Buruh,” ulasnya.(Santi)