Sriwijayamedia.com – Wacana kembali ke UUD 1945 patut dipertimbangkan. Beberapa kasus yang terjadi, menandakan kedaulatan negara hilang, seperti lelang kepulauan Widi Halmahera, Maluku Utara. Hilangnya Sipadan Ligitan yang diambil oleh negara lain, awal dari rapuhnya Indonesia.
Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 menentukan arah Indonesia sebagai negara berdaulat. Namun, pasal ini mengalami amandemen. Walaupun isinya ada perbedaan makna yang menyebabkan pola tata kelola ekonomi negara keluar dari semangat nasionalisme.
Pasal 33 sebelumnya berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Merujuk pada nilai Pancasila tentang keadilan yang terdapat pada sila ke-5.”
Kemudian, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang diamandemen menegaskan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Makna yang terkandung dalam ayat tersebut sangat dalam yakni sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak basis persaingan serta atas asas yang sangat individualistik.”
Namun, realitas berbeda. Indonesia disandera gempuran oligarki rakus dalam mengelola ekonomi Indonesia. Bukan lagi pada kekuatan negara kendalikan cabang-cabang produksi yang penting. Terutama maritim Indonesia. Secara populasi rakyat yang bersumber pada laut dan hutan sudah dikuasai oligarki. Negara tidak hadir memberi keadilan pada sumber produksi yang dikuasai rakyat.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau yang dihuni lebih dari 360 suku bangsa. Hal ini membuat Indonesia kaya akan keragaman budaya dan tradisi serta memiliki pemandangan alam yang sangat indah, dilengkapi dengan aneka hayati sumber daya alam.
Tetapi, realitas terbalik sekarang. Segelintir oligarki rakus menguasai sebagian besar SDA: Hutan dan laut Indonesia. Ekonomi nasional tidak lagi diselenggarakan secara demokratis. Keluar dari prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan dan kemandirian.
Jejak oligarki menjarah cabang – cabang produksi ekonomi Indonesia kian dirasakan. Bahkan kebijakan negara tak berdaya mengontrol arus cengkeraman asing di wilayah Indonesia. Terutama hubungan dagang hasil kelautan perikanan kian merosot akibat gempuran oligarki menguasai pasar makro dan mikro masyarakat pesisir.
Kebijakan ekonomi banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi; keuangan, industri, kelautan, perikanan, perindustrian dan perdagangan. Tonggak kebijakan liberalisasi kelautan dan perikanan adalah menjamurnya industri perikanan yang di kuasai segelintir oligarki.
Akibatnya, sulit menjaga keseimbangan distribusi pasokan pangan dan ekonomi nasional. Padahal, Pasal 33 ejawantah pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial.
Muhammad Hatta menyatakan dalam bukunya bahwa pasal ekonomi merupakan jalan keekonomian dan koperasi dengan semangat kolektivitas yang didasarkan tolong-menolong (gotong royong).
Hatta juga menjelaskan, tanah dan air (laut) merupakan faktor produksi utama, oleh karena itu tanah tidak bisa menjadi dikuasai perorangan, namun harus dikuasai pemerintah. Karena penguasaan perorangan adalah pembawaan dasar individualisme, yang bertentangan atas dasar perekonomian adil.
Demikian juga laut (maritim) Indonesia mengalami degradasi, erosi, pencemaran lingkungan hingga penebangan liar membuat maritim Indonesia itu rusak. Karena laut rusak akibat hutan rusak. Penyebabnya tidak lain, gempuran oligarki tanpa syarat analisis lingkungan yang ketat sehingga berdampak pada masyarakat pesisir.
Indonesia tak memiliki kesempatan untuk sejahtera. Bahkan terancam pecah menjadi negara serikat. Karena mengabaikan tujuan pasal 33 UUD 1945 asli. Negara nampak lemah berhadapan langsung dengan oligarki. Padahal amanah yang terkandung dalam Pasal 33 itu jelas yang tegaskan asas, sumberdaya alam: air dan tanah dikuasai negara serta tujuan yang ingin dicapai, yakni mewujudkan kemakmuran rakyat.
Karena itu, mekanisme menuju tujuan yang akan dicapai tidak boleh menyimpang dengan tujuan utamanya yaitu kemakmuran rakyat. Makna dari Pasal 33 ini bahwa dalam menerapkan perekonomian nasional dan pemanfaatan SDA harus dapat menjamin kepentingan masyarakat secara kolektif dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, serta adanya penguasaan Negara atas cabang produksi strategis.
Puncak kegagalan dari pembangunan ekonomi maritim Indonesia ditandai dengan meledaknya pengangguran ekstrem. Apalagi, di ikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian maritim dan masyarakat pesisir Indonesia.
Di era sekarang ini, keadaannya sangat mengkhawatirkan. Fenomena mencolok yakni kekuasaan (pemerintah dan negara) menjadi pengumpul modal dari sindikat jaringan oligarki dan rentenir rakus. Itulah sebabnya, kebijakan maritim dalam pengembangan banyak program, lebih memenuhi kepentingan kelompoknya, ketimbang meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin yang berada di desa-desa pesisir.
Jadi, pilihan pemerintah Indonesia adalah kembali kepada UUD 1945 Asli agar Indonesia segera bangkit sesuai semangat awal kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Oleh :
Rusdianto Samawa, Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI)