Sriwijayamedia.com – “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”
Siapa yang tidak mengenal bait tersebut yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 yang mungkin sering dibacakan pada saat upacara bendera setiap hari Senin sejak kita SD. Itu adalah tujuan bernegara kita. Pemerintah mengerahkan segala daya upayanya dalam meraih tujuan bernegara tersebut. Salah satu tools yang digunakan oleh Pemerintah adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang secara umum memiliki tiga peranan.
Peran dan fungsi APBN tersebut antara lain untuk melakukan fungsi alokasi melalui penyediaan barang-barang publik untuk dapat diakses oleh seluruh masyarakat, fungsi distribusi melalui pemerataan pembangunan dari ujung barat ke ujung timur Indonesia, dan yang terakhir adalah fungsi stabilisasi yang akan menjaga ekonomi tidak terlalu bergoyang parah ketika terjadi gejolak dalam beragam bentuk.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN tersebut, maka pemerintah menyusun suatu laporan keuangan yang merupakan perwujudan transparansi dan akuntabilitas pemerintah atas pemanfaatan APBN sesuai dengan apa yang telah direncanakan tersebut. Pemerintah mempunyai tanggung jawab tidak semata-mata hanya untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas yang diwujudkan melalui pencapaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melainkan juga untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan yang bersifat holistik sehingga kebijakan yang diambil bisa bersifat menyeluruh dan menjadi solusi terbaik untuk kendala-kendala yang dihadapi dalam kehidupan bernegara.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemerintah menyusun laporan keuangan yang bersifat untuk tujuan umum (general purpose financial statements) dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Kedua laporan ini disusun menggunakan standar akuntansi pemerintah yang berlaku secara nasional dan bersifat pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dan juga sebagai objek audit badan pemeriksa.
Untuk itu, diatur dalam UU N 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Diaturlah suatu bentuk laporan yang ditujukan untuk kepentingan khusus yang mengarah pada kepentingan manajerial dalam pengambilan keputusan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 275/PMK 05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia, dibuatlah suatu standar Government Finance Statistics (GFS).
Saat ini, LKPP dan LKPD masih bersifat sesuai dengan penamaannya yaitu sebagai laporan dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari Kementerian Negara/Lembaga dan juga Bendahara Umum Negara. Sementara LKPD merupakan pertanggungjawaban pemerintah daerah. Kedua laporan tersebut menjadi objek Audit BPK untuk mendapatkan opini yang mencerminkan kualitas laporan keuangan yang telah disusun.
Namun, kedua laporan tersebut belum dapat dikatakan telah mencerminkan laporan keuangan sebagai suatu kesatuan NKRI. Laporan keuangan yang ada saat ini masih belum mencerminkan posisi keuangan yang didukung berdasarkan data statistik atas arus masuk dan arus keluar yang terjadi di antara periode laporan keuangan yang disusun.
Untuk itulah perlu untuk dilakukan suatu pergeseran paradigma untuk menggunakan standar penyusunan yang sama baik dalam bentuk laporan keuangan yang bertujuan umum maupun khusus agar dapat disusun suatu laporan statistika keuangan pemerintah yang bersifat nasional dan mencerminkan NKRI. Untuk menuju hal itu, telah diterbitkan Perpres No 39/2019 tentang Satu Data Indonesia yang mengarah kepada hal tersebut dalam rangka pemanfaatan data secara bersama-sama oleh stakeholders yang berbeda.
GFS menjadi sesuatu yang dibutuhkan karena tidak hanya berdasar pada standar akuntansi, namun juga menggunakan standar statistik yang berlaku umum, agar dapat menggunakan bahasa yang sama dalam penyusunan laporan keuangan. Dengan adanya unifikasi terhadap data-data ini tentu saja akan memberikan dampak luar biasa bagi pengambilan kebijakan Pemerintah karena adanya dukungan dari analisa atas fakta-fakta yang ada di lapangan.
GFS itu sendiri memiliki kerangka yang diatur dalam Government Finance Statistics Manual (GFSM) yang berlaku secara internasional. Sehingga dalam penerapannya, GFS ini tidak hanya bisa diintegrasikan dan dibandingkan dalam ranah regional dan nasional, bahkan dapat dibandingkan pada kancah internasional, dalam artian Indonesia dengan negara-negara lain di dunia yang menerapkan GFS berbasis GFSM.
Standar Akuntansi yang digunakan saat ini mengacu pada International Public Finance Accounting Standards (IPSAS) pada dasarnya telah memiliki beberapa kesamaan dengan standar yang digunakan oleh GFS antara lain terkait dengan pengelolaan transaksi yang berbasis akrual; pencatatan aset, kewajiban, pendapatan, dan beban pemerintah telah sama; serta telah terdapat informasi yang komprehensif terkait dengan arus kas.
GFS itu sendiri merupakan laporan statistik keuangan yang secara komprehensif menyajikan aktivitas ekonomi dan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan korporasi publik secara terkonsolidasi. Sektor korporasi publik inilah yang selama ini berada di luar LKPP maupun LKPD, dimana korporasi publik ini merupakan BUMN dan BUMD yang berstatus sebagai kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. Di Indonesia, GFS telah disusun sejak tahun 2008. Namun masih bersifat GFS untuk Pemerintah Umum yang mencakup Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, namun belum memuat sektor korporasi publik. Untuk sektor Korporasi Publik ini baru mulai diintegrasikan mulai tahun 2015.
Dengan adanya data GFS ini, kita akan bisa menilai operasi pemerintah, posisi likuiditas, dan kesinambungan keuangan untuk sektor pemerintah umum maupun sektor korporasi publik secara keseluruhan. Melalui GFS inilah, dapat dilakukan penilaian terhadap perkembangan entitas-entitas tersebut dalam kaitannya dengan sektor-sektor lainnya dalam perekonomian dan akan dapat dikonsolidasikan degan indikator-indikator lainnya yang bersifat makro ekonomi.
Pada aspek ini, selain menjadi perwujudan atas pengelolaan keuangan negara yang komprehensif, GFS memiliki peranan penting dalam analisis kebijakan fiskal makro ekonomi yang menjadi dukungan penting bagi pengambilan kebijakan pemerintah. Hal ini menjadi penting karena dengan analisis yang baik, pemerintah akan dapat membangun suatu early warning sistem yang akan berperan sebagai peringatan bagi Pemerintah dalam hal pemetaan risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Secara umum, GFS terdiri atas empat bagian yaitu Neraca, Laporan Operasional, Laporan Sumber dan Penggunaan Kas, dan Laporan Arus Ekonomi Lainnya. Penyusunan GFS ini menggunakan gabungan dari teori akuntansi yang berlaku umum dan penggunaan prinsip-prinsip statistika yang juga berlaku secara umum. Sehingga, dengan menggunakan GFS ini, kita akan dapat dengan mudah mencari hubungan transaksi melalui pos-pos yang ada di GFS yang terjadi di sektor-sektor yang berbeda untuk kemudian dilakukan analisis sesuai dengan kebutuhan pengambil kebijakan. Dalam kata lain, GFS berperan seperti jembatan yang menghubungkan pelaporan keuangan yang berbasis pada prinsip akuntansi dan sistem statistik makro ekonomi yang menggunakan prinsip-prinsip statistik.
Berdasarkan GFS, NKRI terdiri dari Laporan Keuangan Pemerintah Umum yang terdiri dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta Korporasi Publik yang terdiri dari sektor keuangan dan non keuangan. Keseluruhan elemen inilah yang pada akhirnya membentuk GFS. Laporan ini kemudian disusun secara berjenjang mulai dari tingkat wilayah sampai dengan tingkat Nasional. Di Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), terdapat 34 Kantor Wilayah yang tersebar di 34 provinsi yang memiliki tugas untuk penyusunan GFS pada tingkat wilayah, termasuk salah satunya Kanwil DJPb Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Hasil tingkat wilayah tersebut kemudian akan dikonsolidasikan secara nasional oleh Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan di tingkat pusat.
Sebagai suatu laporan yang berbasis data, keandalan GFS itu sendiri masih tergantung pada kualitas data masukannya, penting untuk dilakukan peningkatan terhadap kualitas LKPD yang disusun karena LKPN ini pada muaranya akan menjadi bagian dari Laporan Pemerintah Umum pada GFS, utamanya terkait dengan sistem informasi dan kebijakan keuangan di daerah yang arahnya mengikuti standar yang berlaku secara nasional.
Selanjutnya perlu juga dilakukan koneksi antar sistem informasi yang terlibat dalam penyusunan GFS ini yang bertujuan untuk membuat pertukaran data antar-sistem dapat terlaksana secara mulus tan tanpa kendala. Dengan adanya peningkatan terhadap kualitas data masukan yang digunakan dalam penyusunan GFS, maka GFS yang akan dihasilkan tentu akan semakin meningkat kualitasnya, utamanya sebagai dasar pengambilan keputusan Pemerintah. Kedepanya, GFS akan selalu mendapatkan penyempurnaan dalam perwujudan perannya sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintah yang holistik.
Oleh :
Muhammad Syukur, Kepala Bidang (Kabid) Pembinaan Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Kanwil DJPb Sumsel