OPINI : Antara Korupsi dan Budaya

CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang Pradikta Andi Alvat/sriwijayamedia.com-ilang

Sriwijayamedia.com – Realitas Korupsi

Korupsi masih menjadi problema laten bangsa Indonesia dari masa ke masa. Menilik sosio-historis, ada fakta nan menarik mengenai dinamika korupsi di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Secara reflektif dapat dilihat bahwa tren korupsi di Indonesia memiliki corak yang relevan dengan sistem pemerintahan yang diterapkan. Di masa orde lama dan orde baru, dimana sistem pemerintahannya bersifat sentralistik, corak korupsinya pun bersifat memusat. Dalam arti, pelaku-pelaku korupsi sebagian besar dilakukan oleh pejabat pemerintahan pusat.

Kemudian, memasuki era reformasi, salah satu aspirasi sosiologis masyarakat Indonesia adalah terkait pemberantasan korupsi. Pembenahan struktural dan substansial untuk mendukung spirit pemberantasan korupsi pun diperbaiki. Sistem desentralisasi diterapkan, Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi dibentuk, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk.

Realitasnya, korupsi justru semakin meluas baik secara vertikal maupun horizontal. Korupsi terjadi baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Korupsi menghinggapi di semua lingkup kekuasaan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Selanjutnya, sejak diundangkannya UU No 6/2014 tentang Desa, dimana setiap desa diberikan kemandirian untuk mengelola dana desa (DD), korupsi pun turut menyebar hingga desa-desa.

Menurut data ICW, pada tahun 2021 lalu, terdapat total 1.282 jumlah perkara korupsi dengan jumlah terdakwa sebesar 1.404 orang, dimana sektor penyumbang terbanyak korupsi terdapat pada sektor korupsi DD, yakni dengan jumlah 154 kasus dan 245 tersangka dengan potensi kerugian negara sebesar Rp233 miliar.

Sedangkan total kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2021 adalah sebesar Rp 62,93 triliun. Jumlah kasus dan terdakwa korupsi sendiri terus mengalami peningkatan saban tahun.

Tercatat pada tahun 2018, jumlah kasus korupsi capai 1.053 kasus dengan 1.162 orang tersangka. Tahun 2019 ada sekitar 1.019 kasus korupsi dengan 1.125 orang terdakwa dan tahun 2020 ada sekitar 1.218 kasus korupsi dengan 1.298 orang tersangka.

Tingginya kasus korupsi memiliki efek derivasi terhadap nilai persepsi korupsi Indonesia. Berdasar rilis dari Transparency International, Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2021 adalah sebesar 38 dari skala 0-100, Indonesia hanya menempati peringkat 96 dari 180 negara.

Menurut Transparency International, negara yang memiliki IPK dibawah 50 artinya terindikasi bahwa negara-negara tersebut memiliki problematika korupsi yang serius. Di sisi lain, berdasarkan data BPS, Nilai Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2022 ini hanya sebesar 3,93 (skala 0-5). Nilai tersebut mengindikasikan bahwa secara umum masyarakat Indonesia masif permisif terhadap korupsi, walaupun secara angka memiliki peningkatan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Akar Korupsi di Indonesia: Abai terhadap Budaya

Menurut hemat penulis, problema pemberantasan korupsi di Indonesia terletak pada problema sistem sosial secara luas. Selama ini kita terlalu fokus pada pembenahan sistem hukum dengan mengesampingkan penguatan sistem sosial.

Menurut Talcot Parsons (1956), di dalam masyarakat terdapat 4 sub-sistem sosial yang memiliki relasi respirokal untuk membangun tatanan yang ideal dalam masyarakat. Keempat sub-sistem sosial tersebut terdiri atas sub-sistem ekonomi, sub-sistem politik, sub-sistem sosial, sub-sistem budaya.

Sub-sistem ekonomi memiliki fungsi adaptasi, sub-sistem politik memiliki fungsi pencapaian tujuan, sub-sistem sosial memiliki fungsi integrasi sosial, dan sub-sistem budaya memiliki fungsi latensi. Sub-sistem budaya sendiri menjadi sub-sistem yang fundamental karena memiliki fungsi latensi, yakni memelihara dan menjaga pola. Jika fungsi latensi dapat berjalan baik (dapat memelihara dan menjaga pola sosial yang baik) maka akan berdampak pada baiknya tatanan sosial secara keseluruhan.

Budaya sendiri adalah entitas kunci yang membentuk karakter dan kepribadian seseorang.

Nah, merebaknya dan masifnya korupsi di Indonesia menjadi sinyalmen kuat bahwa sub-sistem budaya di Indonesia mengalami disfungsi. Artinya, budaya-budaya luhur bangsa Indonesia yang tercermin dalam Pancasila maupun kearifan lokal setempat telah ditinggalkan.

Manusia Indonesia kontemporer telah tercabut dari akar budayanya yang mengandung nilai-nilai adiluhung. Budaya Indonesia memiliki kearifan-kearifan lokal yang sangat kental dengan nilai religiusitas, humanisme, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Sedangkan perilaku korupsi yang mengandung nilai ketamakan, rakus, jahat, materialistik, dan oportunisme merupakan sikap yang diametrikal dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Secara literal, akar penyebab dari pada korupsi di Indonesia menurut Penulis bukanlah sekadar pada rusaknya sistem hukum melainkan tercabutnya dan abainya bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai budayanya sendiri.

Budaya hedonisme, oportunisme, dan individualisme kini tengah menginvasi masyarakat Indonesia sehingga membuat masyarakat Indonesia semakin permisif terhadap korupsi.

Oleh sebab itu, diperlukan re-internalisasi budaya agar nilai-nilai budaya Indonesia kembali hidup dalam relung sosio-kultural masyarakat Indonesia. Selain budaya universal yang tercermin dalam Pancasila, setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan-kearifan lokal setempat yang mengandung nilai-nilai luhur yang dapat direjuvenasi sebagai sarana untuk memberantas korupsi.

Di Sulawesi Selatan, ada falsafah Siri’ Na Pacce, di Maluku ada falsafah ain ni ain, dan di tiap daerah di Indonesia memiliki falsafah lokalnya masing-masing.

Penguatan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal memang bukan pekerjaan mudah, membangun budaya adalah kerja-kerja peradaban yang membutuhkan keteladanan, konsistensi, dan waktu nan panjang.

Langkah praksisnya adalah dengan membangun ekosistem lingkungan yang non-permisif terhadap korupsi, meng-influence keteladanan secara kontinu terhadap nilai-nilai antikorupsi dalam lingkup keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan pekerjaan, dan lingkungan sosial. Kerja-kerja peradaban tersebut pada saatnya akan menjadi socio-barrier (benteng sosial) yang kokoh untuk melawan praktik-praktik korupsi.

Oleh : 

Pradikta Andi Alvat, CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *