Sriwijayamedia.com – Karang Taruna (KT) di Provinsi DKI Jakarta kini menggeliat. Kalau dahulu keaktifan KT lebih hidup dan mudah sekali ditemukan di pedesaan. Tapi sekarang, di ibukota KT juga mulai unjuk gigi dan diminati kalangan muda. Salah satu sumber penggeraknya adalah adanya aliran dana stimulan dan pengenalan KT ke dalam lingkungan sekolah dan kampus.
Diketahui, KT merupakan organisasi kepemudaan di Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, tak terkecuali di DKI Jakarta. KT adalah wadah pengembangan generasi muda non partisan, yang tumbuh berdasarkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, serta untuk masyarakat, khususnya generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas sosial sederajat.
Organisasi ini bergerak di bidang kesejahteraan sosial yang di dalamnya mencakup pembinaan dan pemberdayaan remaja dalam bidang keorganisasian, pengembangan kegiatan ekonomi produktif dengan memberdayakan potensi sumber daya manusia (SDM) dan lingkungan yang telah ada, pembinaan olahraga, keterampilan, advokasi, keagamaan, serta kesenian.
Secara nasional, dasar hukum KT tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 5/2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) No 77/HUK/2010 tentang Pedoman Dasar KT.
Sebagai peraturan pelaksana dari Permensos 77/2010, di Provinsi DKI Jakarta telah disusun Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 8/2012 tentang KT yang di dalamnya mengatur ketentuan yang lebih khusus lagi mengenai KT di Jakarta.
KT di DKI Jakarta mempunyai fasilitas Gedung Sasana Krida. Gedung milik pemerintah yang berdiri diatas lahan milik Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta. Disinilah tempat berbagai potensi KT dikembangkan. Pada era Gubernur Jakarta saat ini, melalui Pergub No 81/2021, Pemprov DKI Jakarta mulai memberikan anggaran stimulan bagi para pengurus KT tingkat RW atau yang disebut Unit Kerja Karang Taruna (UKKT).
Dana itu berfungsi sebagai dana pemantik atau pancingan kegiatan KT di tingkat RW. Di kelurahan juga menerima dana stimulant sebesar Rp 1 juta/bulan. Diakui dengan adanya aliran dana tersebut, akhirnya KT di tingkat kampung bergeliat. Karena ada dana stimulant itu. Bahkan kegiatan peringatan Sumpah Pemuda pun tahun ini bisa terlaksana berkat adanya anggaran tersebut.
“Inilah waktunya menitikberatkan kebawah bahwa KT bukan hanya sebatas organisasi sosial milik RT/RW yang hanya bisa menyelenggarakan kegiatan 17-an (HUT RI) atau ada saat kerja bakti. Padahal KT adalah wadah bagi kalangan muda membentuk jati diri,” Ketua KT DKI Jakarta Muhammad Mul, saat diwawancarai sriwijayamedia.com di Sekretariat KT DKI Jakarta di kantor Dinas Sosial DKI Jakarta Jalan Gunung Sahari III, Senen, Jakarta Pusat (Jakpus), Senin (7/11/2022).
Mul mengatakan bagi yang serius mengikuti kegiatan KT tentunya akan memahami dan merasakan manfaat dari kegiatannya. Untuk itulah, KT Jakarta kini berusaha memperkenalkan kegiatan-kegiatan KT hingga masuk kedalam sekolah-sekolah atau kampus agar para generasi muda dan remaja bisa mengenal dan lebih memahaminya sehingga tumbuh minat dari mereka untuk bergabung ke dalam KT.
Sebagai strategi agar keberadaan KT bisa lebih dikenal dikalangan masyarakat, khususnya generasi muda atau remaja. KT kini berusaha diperkenalkan dibangku sekolah dan kampus-kampus. Cara ini disebut dengan ‘KT goes to school’ atau ‘KT Goes to Campus’.
“KT DKI ingin memperkenalkan KT sampai ke tingkat sekolah dan kampus. Program yang kita sampaikan yaitu KT goes to school / campus. Kegatan itu sekarang sudah kita lakukan, meski hanya melalui kegiatan LDKS, OSIS dan lain-lain supaya mereka (pelajar dan mahasiswa) tahu tentang KT,” jelas Muhammad Mul yang aktif di KT sejak 1997.
Langkah ini penting dilakukan mengingat tingkat antusias masyarakat, khususnya remaja, pelajar dan pemuda sangat minim didalam KT. Padahal dengan aktif bergabung kedalam KT banyak sekali manfaat yang bisa didapat, seperti memahami cara berorganisasi, lebih mengenal dan mampu menjalin komunikasi antar sesama anak muda dengan kampung lain, serta bisa mengeksiskan diri dalam berbagai kegiatan yang bisa dilakukan bersama anggota KT lainnya.
Sehingga jalingan komunikasi yang baik, pengembangan kreatifitas yang tinggi nantinya menjauhkan para generasi muda dari hal-hal negatif, seperti tawuran, narkoba, kecanduan gadget, keengganan bersosialisasi karena merasa tidak punya kawan, dan sebagainya.
Selain pengenalan KT melalui sekolah dan kampus, KT DKI Jakarta juga membuat regulasi tentang pengkaderan yang berjenjang sampai di TOT (Training Of Trainer). Dimana setiap KT kelurahan wajib membuat LKKT 1 (Latihan Kepemimpinan KT level 1).
Disitu akan diperkenalkan tentang organisasi KT dengan sasaran kalangan kader muda ditingkat RW. Kemudian di level kedua adalah tingkat Kecamatan (LKKT II). Pelatihan disini lebih mendalam sifatnya dan juga diajarkan bagaimana membangun komunikasi dengan pihak luar dalam mendukung kegiatan KT.
Lalu pada jenjang berikutnya, yakni LKKT III, ditingkat KT Kota ini anggota akan lebih diberikan pemahaman dalam berorganisasi, termasuk bagimana mengadakan sebuah sudang dalam rapat kerja. Target dari LKKT III ini adalah para peserta dipersiapkan untuk diterjunkan sebagai mentor.
Sesuai AD/ART, batasan umur sampai usia 55 tahun untuk tingkat nasional. Sementara berdasar Permensos No 25/2019, Pergub No 81/2001 yang menyebutkan bahwa warga masyarakat bisa menjadi anggota KT provinsi di kisaran umur 13-45 tahun.
Namun itu terbagi dua, yakni warga KT aktif dan pasif. Bagi yang aktif tentunya akan menjadi pengurus. Sedangkan yang tidak aktif hanya sebagai anggota biasa (bukan pengurus).
“Kami serius. Kami juga punya program Jak Hope yang dibangun untuk memfasilitasi pemberdayaan ekonomi sehingga terjadi ketahanan ekonomi. Melalui program ekonomi kreatif ini setidaknya anggota KT bisa mandiri secara ekonomi,” ungkap Mul.
Didalam pelaksanaannya, Jakarta Hope (Jak Hope) terdapat 6 segmen, diantaranya yaitu : Jakarta Montir (bengkel), Jak Wash (cuci kendaraan), Jak paint (pengecatan kendaraan), Jak print (merchandise), Jak food (makanan), serta Jak Travel (wisata).
Pelatihan kadang tidak tepat sasaran. Anggota dipaksa untuk mengikuti latihan demi memenuhi kewajiban. Akhirnya setelah pelatihan, ilmu yang didapat tidak diterapkan. Berbeda dengan di Jak Hope, disini bentuk bantuan bisa disesuaikan dengan kebutuhan anggota. (Santi)