KPAI Ajak Hindari Multi Trauma Anak Korban Bencana

Kadivwasmonev KPAI Jasra Putra/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Belum lepas dari peristiwa membekas dari keprihatinan mendalam mulai masa pandemi, tragedi Kanjuruhan hingga gempa Cianjur yang meninggalkan 321 nyawa.

Catatan penting pada setiap peristiwa pasca pandemi adalah ada situasi selama 3 tahun mengalami pembatasan. Artinya ketika dilepas, ada situasi pengelolaan energy yang selama 3 tahun menahan diri. Pelepasan emosi atau energi ini perlu diatur atau dikelola dengan baik. Agar ketika merespon situasi seperti pasca gempa, tidak menjadi pemicu menjadi negative yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Bahwa ada situasi yang lebih sensitif dalam menghadapi para korban, yang perlu dimaknai positif, agar dapat dikelola dengan baik.

Bacaan Lainnya

“Bahwa ada situasi yang sama, diberbagai peristiwa pasca pandemic, ditinggalkan orang orang tersayang dengan sangat mendadak, begitu juga dalam gempa di Cianjur. Tentu bagi para anak ada situasi yang tidak siap, bukan hanya lolos dari ujian kesedihan, namun ada situasi ikutan dampak panjang, ketika yang meninggal adalah para pencari nafkah, orang yang dianggap paling berarti atau sangat dekat, situasi yang meninggal lebih dari satu dalam keluarga. Begitupun anak anak yang ditinggalkan, melihat situasi keluarga yang ditinggalkan, juga menjadi persoalan sendiri. Apalagi bila ada trauma fisik yang dialami anak, yang membekas atau menjadi disabilitas,” ujar Kadivwasmonev KPAI Jasra Putra, Selasa (29/11/2022).

Ada situasi yang kompleks dari rasa kehilangan. Tentu situasi tersebut masih membutuhkan perhatian banyak pihak, agar tidak membawa situasi anak lebih buruk. Seperti dialami ananda Lutfiati yang meninggal, menyusul ayah dan kakaknya pada korban Kanjuruhan, setelah sebulan peristiwa dengan menulis dan menggambar situasi sebelum kematian.

Untuk itu, segala pemicu situasi lebih kompleks akan kesedihan yang dapat membawa anak anak dalam multi kesedihan yang berdampak sangat kompleks harus dihindari. Karena anak butuh pemahaman panjang soal konsep kematian dan anak butuh waktu belajar menerima sebuah peristiwa trauma.

Begitupun bila ada upaya hukum dari peristiwa. Seperti anak-anak yang dalam perkara perceraian, anak-anak dalam perebutan kuasa asuh, orang tua yang mencari keadilan, anak-anak dalam situasi bencana alam dan non alam, sangat membutuhkan lingkungan yang kondusif.

Dia menilai mereka perlu dihindari dalam pemicu kesedihan. Sehingga pilihannya adalah melaksanakan segala upaya yang dapat mendukung pemulihan dari menghindari situasi yang lebih buruk untuk anak.

“Seperti pasca bencana gempa bumi di Cianjur, membawa reaksi beragam bagi usia anak dan remaja. Hal ini disebabkan kondisi usia dan perkembangan mereka, sangat menentukan cara penerimaan anak-anak,” bebernya.

Dia melanjutkan umumnya kehidupan anak yang masih penuh ketergantungan dan belum mampu mandiri dalam melakukan banyak hal, akan sangat sensitif pasca peristiwa. Ini menjadi pertanda untuk para orang tua dan relawan untuk mendampingi secara intens.

Seperti pengalaman di pasca peristiwa bencana anak anak akan bereaksi ketika mendengar kabar, melihat situasi keramaian atau mendengar suara di sekitarnya.

Apalagi dengan korban 321 orang meninggal, menandakan ada anak-anak yang mengalami kehilangan, perpisahan, keprihatinan, yang bila rasa ini tidak di olah, menjadi makna positif, akan menjadi keprihatinan mendalam. Bahkan bila penanganannya telat akan membawa multi kehilangan dan kesedihan.

Hal tersebut menyebabkan anak-anak sangat rentan kondisi psikologisnya, menjadi kecemasan, yang menyebabkan mengurangi jam istirahat dan kualitas hidup, yang sudah tentu membawa dampak kepada kesehatan.

“Beberapa anak yang umur bayi, batita, dan balita akan mengalami penurunan kondisi fisik dan mudah menangis. Hal tersebut terjadi karena di umur mereka tidak mudah mengekspresikan kesedihan, atau orang diluar sana memahami ekspresi kesedihan mereka. Seperti kita diberitakan seorang balita yang selamat dari reruntuhan pasca gempa, tentu tidak mudah baginya ketika mendapatkan figur baru atau pengganti dalam hidupnya, dalam kondisi trauma beberapa hari dalam reruntuhan,” terangnya.

Untuk itu sangat tidak disarankan bayi, balita, batita, anak anak usia sekolah tidak dipisahkan dari keluarganya dan berlama lama dalam pengungsian.

Kehadiran relawan yang memiliki perspektif cara bekerja dengan anak-anak, baik anak dibawah umur ataupun usia sekolah menjadi sangat penting, dalam rangka mengalihkan ketakutan dan kecemasan berlebihan mereka dan bermanfaat untuk membantu para orang tua mereka, yang membutuhkan waktu menguasai pasca dan beradaptasi dengan kondisi, pasca peristiwa.

Untuk anak-anak usia remaja, juga sangat penting diperhatikan, meski mereka bisa memaknai peristiwa dengan lebih baik. Namun kenyataannya reaksi kecemasan mereka tidak begitu kelihatan.

Ketika sudah menjadi gangguan kesehatan, tidak mau mengikuti kegiatan, menjauh dari keramaian, tidak mau diajak atau di suruh, keinginan motivasi yang menurun, menyatakan para remaja juga mengalami kondisi yang sama, namun dengan reaksi berbeda.

Hal tersebut akan mempengaruhi perilaku sosial remaja di tenda pengungsian, cara memahami sesuatu yang dibarengi emosi tidak stabil dan mengalami gangguan konsentrasi.

Bahkan di beberapa remaja bisa sangat mendalam, ketika saat peristiwa mengalami kejadian langsung atau melihat korban, yang berujung pada ketidakpercayaan diri, keputusasaan dan kehilangan harapan yang menyebabkan respon dari setiap intervensi dari luar, membawa situasi lebih buruk untuk mereka.

Bila tidak teratasi dengan baik, bisa menempatkan remaja pada keterlibatan konflik yang tidak perlu. Baik dengan sesama mereka maupun dengan orang dewasa di sekitarnya, apalagi diperberat dengan mengkonsumsi industri efek candu, bisa bisa berujung pada keterlibatan hukum.

Untuk beberapa anak yang berdampak pada kondisi trauma fisik akibat tertimpa reruntuhan atau menjadi luka fisik yang membekas pasca gempa, apalagi mengalami disabilitas. Kedepan bisa membawa stigma untuk anak, karena kondisi fisiknya sudah tidak seperti dulu, sehingga membawa sikap menjauh dari berbagai interaksi. Mereka perlu pendampingan lebih panjang.

“Disinilah perlu para pendamping psikososial untuk melihat lebih jauh kondisi anak dan mendukung aktif dan mengembalikan fungsi sosial mereka,” ulasnya.

Dari pengalaman aktifitas di tenda pengungsian, seringkali kegiatan anak anak usia sekolah dan pra usia sekolah lebih terpenuhi dibanding remaja. Sehingga remaja di pengungsian nampak jauh dari pengawasan.

Mereka kemudian meninggalkan tenda pengungsian, karena kurang terperhatikan. Pengalaman di tenda pengungsian, justru remaja menghadapi kasus kekerasan remaja dan kekerasan seksual. Untuk itu penting pendamping atau konselor remaja hadir di tenda pengungsian, yang benar benar bekerja untuk mereka, agar situasi bencana tidak semakin lebih buruk untuk mereka.

“Traume healing merupakan kegiatan pemulihan pasca terjadi bencana. Karena tidak terhindarkan reaksi pasca bencana membawa anak anak dan remaja dalam situasi cemas dan kekhawatiran. Jika tidak di tuntun untuk di kelola dengan baik akan membawa efek ketakutan, keputusasaan, hilang harapan, rasa bersalah dan stigma. Namun jika cemas dan kekahawatiran ini tidak di pandu, dituntun, dan dibekali dengan memberi makna positif, dapat membawa situasi yang lebih buruk untuk anak,” jelasnya.

Di usia pra sekolah, keberhasilan trauma healing, tentu sangat ditentukan dari keaktifan figur yang melekat, seperti ibu dan anggota keluarga lainnya. Sedangkan untuk usia remaja, anak anak lebih mementingkan teman teman sebayanya (peer support). Hal inilah yang perlu di perhatikan dalam kegiatan trauma healing.

Karena keberhasilan trauma healing menuntut prasyarat kedekatan dan kepercayaan. Sehingga mereka yang sedang bekerja disana, dapat memanfaatkan kondisi, situasi psikologis, usia dan perkembangan, yang membawa kecenderungan aktifitas sosial anak anak di pengungsian.

Karena sesungguhnya ketika bencana terjadi, kita bicara setelah itu, apa yang harus dilakukan, dan tidak melulu soal kondisi psikologis. Mereka yang bekerja di trauma healing juga memerlukan dukungan. Karena ada kebutuhan melanjutkan kehidupan, yang perlu penopang kemandirian, sesuai kebutuhan para pengungsi, ada masa transisi yang perlu di respon lintas sektor, dalam menggantikan harapan yang lebih baik untuk orang tua, anak dan remaja. Terutama untuk anak-anak mengembali aktifitas mereka seperti sedia kala.

“Saya kira sangat baik, dengan banyaknya elemen masyarakat yang peduli dengan ikut bergerak di Cianjur. Karena pekerjaan ini tidak bisa di tangani sendiri, butuh keterlibatan lintas sector dan profesi. Pengalaman dari penanganan pasca gempa, ada tuntutan pendampingan jangka panjang. Sejak awal tidak meninggalkan jejak karitatif atau ketergantungan. Untuk itu upaya stabilitas penanganan dan memiliki kualitas assessment berkelanjutan, menjadi prasyarat keberhasilan penanganan pasca bencana terutama untuk anak-anak,” imbuhnya.

Untuk itu penting pemerintah daerah Cianjur menyediakan pos koordinasi relawan trauma healing, hotline, menyediakan tempat manajemen kasus, dan manajemen rujukan, yang bisa langsung direspon bersama dengan supervisi penanganan lintas sector. Agar membantu kerja kerja kerelawanan dan filantrophy.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah No 78/2021 tentang Perlindungan Khusus Anak, dimana pemerintah berkewajiban memberikan layanan yang dibutuhkan anak yang memerlukan perlindungan khusus dan mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak anak untuk anak anak dalam situasi bencana dan mendapatkan tindakan kekerasan.

Agar mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. Perlindungan ini diberikan kepada anak yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih didalam kandungan ibunya, melalui penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik,psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.

Selain itu ada pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan. Lalu pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu, serta pemberian perlindungan dan pendampingan.(santi)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *