Ketum SPPI Achdiyanto Ilyas : Haruskah Nelayan Disebut Pekerja Informal?

Ketum SPPI Achdiyanto Ilyas Pangestu/sriwijayamedia.com-santi

Sriwijayamedia.com – Indonesia yang dikenal sebagai negara bahari kaya dengan hasil laut, termasuk ikan-ikannya berlimpah ruah, ternyata tak menjadi jaminan para nelayannya hidup sejahtera.

Sementara sektor perikanan dunia sudah semakin berkembang pesat dan menggunakan peralatan modern diberbagai negara penghasil ikan.

Bacaan Lainnya

Kesetaraan nasib pekerja nelayan dengan pekerja lainnya inilah yang masih perlu diperjuangkan, termasuk upah dan jaminan kemanan dalam bekerja bagi para nelayan.

Ketua Umum (Ketum) Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Achdiyanto Ilyas Pangestu diwawancarai di Jakarta, Kamis (17/11/2022) menyatakan hingga kini SPPI yang menaungi belasan ribu nelayan masih memperjuangkan kesetaraan status profesi nelayan yang masih dianggap sebagai kegiatan informal.

Padahal, kata Ilyas, seharusnya sudah ada pergeseran pemikiran semacam itu, baik bagi kalangan pengambil kebijakan maupun masyarakat.

“Di negara-negara maju seperti Taiwan, Korea, New Zealand bahkan Perancis sekarang sudah menganggap perikanan sebagai sektor yang strategis. Siapapun yang terlibat didalamnya, khususnya ketenagakerjaannya, baik di industri pengelolaannya, budidaya maupun penangkapan seharusnya sudah dianggap normal dan memiliki payung hukum dalam hubungan industrial yang jelas,” terang Ilyas.

Sebab, sekarang untuk anak buah kapal (ABK) di dalam negeri saja mereka tidak ada upah minimum sektoral. Upah yang diterima sekarang masih berdasar budaya seperti bagi hasil yang faktanya tidak pernah jelas dilapangan atau dengan menggunakan standar harga yang ditetapkan oleh standar perusahaan yang pastinya dengan harga sangat rendah/jauh dibawah harga pasar.

“Atas dasar inilah, SPPI ingin memperjuangkan upah minimum sektoral. Sebab rasa keadilan terhadap sektor lain harus menjadi acuan. Harapan kami perikanan bisa disamakan dengan sektor industri lainnya,” ungkap mantan ABK kapal pencari ikan di Malaysia.

Ilyas menambahkan seharusnya pekerjaan dengan risiko lebih tinggi memperoleh upah tinggi pula. Tapi di industri perikanan hal itu belum berlaku sama sekali.

Oleh sebab itu, target minimal SPPI adalah adanya kepastian perihal upah minimum nelayan. Meski sudah beredar informasi akan adanya aturan tersebut, tetapi pihaknya belum menemukan implementasinya dilapangan.

“Kekuatan ego sektoral di masing-masing lembaga lebih dominan. Sehingga perlu ada komitmen bersama mewujudkannya. Karena implementasi undang-undang yang ada jika tidak didukung oleh semangat kolaboratif dari kementerian lembaga akan terjadi kepincangan,” akunya.

Dia mengilustrasikan Kemenakertrans sekarang ini sedang mengadakan pendekatan. Begitu pula dengan Kemenhub dan KKP melakukan joint inspection melibatkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Sayangnya, sampai hari ini masih wacana saja atau belum ada implementasinya.

Sektor-sektor industri perikanan yang dinaungi oleh SPPI meliputi pembudidayaan, pengolahan dan penangkapan baik didalam negeri maupun di luar negeri.

Anggota SPPI yang merupakan para nelayan tersebar dimana-mana, terbanyak di Pantura yang sekarang terdata secara keseluruhan capai 11.863 orang anggota per 30 Oktober 2022.

“Nelayan lokal banyak yang dikategorikan sebagai nelayan tradisional, tapi bagi nelayan diluar negeri tergantung peralatan yang digunakan untuk dikatakan modern atau tidaknya. Area yang digunakan para nelayan untuk mengambil ikan juga tergantung jenis perairannya, apakah theritory atau distance water,” tuturnya.

Seperti di Taiwan, ada yang theritory atau letter of galancy (LG). Begitupun di Korea, saat ini ada budidaya ikan dan kim (rumput laut). Namun budidaya rumput laut di Indonesia belum optimal karena masih ada gap/kesenjangan antara aturan masyarakat.

Dia menyebut ada kunci sustanablelity untuk nelayan yang ada dilapangan. SPPI pastinya melakukan advokasi/pendampingan bagi nelayan yang berhadapan dengan hukum.

Namun lebih utama berusaha mengedepankan upaya advokasi perlindungan yang bertujuan mencari perhatian dunia untuk lebih memperhatikan sektor keuangan.

“Kami menilai selama ini parlemen lebih bersikap pasif. Inilah yang perlu menjadi perhatian kita bersama karena parlemen hanya membuat aturan yang dianggap strategis bukan berdasar kebutuhan”, imbuh Ilyas.

Ilyas menegaskan jika SPPI mengemban suatu kewajiban, bukan hanya memberikan kritik, tapi juga memberikan solusi. Sayangnya SPPI tidak memiliki kedekatan dengan anggota parlemen, sehingga masa reses untuk serap aspirasi rakyat dikalangan nelayan tidak ada.

Anehnya, parlemen Korea justru meminta masukan dari SPPI. Bahkan SPPI sudah melakukannya, memberikan masukan serta rekomendasi kepada parlemen Korea dibidang industri perikanan.

“Isu perbudakan ketenagakerjaan atau post labour menarik untuk dibahas, tapi SPPI justru tidak pernah dipanggil oleh DPR RI untuk membahas hal itu,” jelas pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur (Jatim). (santi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *