Sriwijayamedia.com – Menyikapi uraian serta respon yang disampaikan oleh delegasi Indonesia dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, Rabu, 9 November 2022, Koalisi Masyarakat Sipil meminta Pemerintah RI untuk menerima dan melaksanakan seluruh rekomendasi yang disampaikan UPR dengan menggunakan pendekatan HAM.
Selain itu penting untuk melibatkan korban pelanggaran HAM, masyarakat sipil, dan berbagai institusi HAM karena hal itu akan memberikan jaminan keadilan untuk para korban pelanggaran HAM dan memajukan akuntabilitas HAM di Indonesia.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan kepada sriwijayamedia.com, Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan NGO bidang HAM, seperti HRWG, OHANA, SETARA Institute, YLBHI, LBH Masyarakat, Migrant Care, Imparsial, Arus Pelangi, SUAKA, YAPPIKA-ActionAid, AJI Indonesia, Kalyanamitra, PBHI, dan ELSAM menyampaikan setidaknya 11 tanggapan atas rekomendasi UPR yang diberikan kepada RI, diantaranya dalam menanggapi isu HAM di Papua, menurut SKPKC Papua, pemerintah RI harus mengundang Komisioner Tinggi ke PBB seperti janji Presiden Jokowi pada 2018.
Selain itu, menuntut jaminan kebebasan berekspresi di Papua, izin demonstrasi dalam RKUHP yang akan bertentangan dengan semangat demokrasi.
“Informasi yang disampaikan dalam UPR tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan. Masyarakat berhak tahu yang sebenarnya terjadi. Okey, ada perbaikan, tapi nyatanya represif dan pelanggaran HAM masih berlanjut. Selama 2022 pada demo Otsus ada 51 orang yang ditangkap dan mengalami kekerasan. Apakah ini yang disebut penegakan hukum dan kedaulatan? Ini bagaimana pertanggungjawabannya?,” ujar Amnesty Internastional Indonesia, Media and Campaign Manager Amnesty Internastional Indonesia Nurina Savitri, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Sedangkan pada isu hukuman mati, pemerintah dianggap berupaya mempertahankan hukuman mati atas nama pemberantasan narkotika dan terorisme sebagaimana disampaikan Menkumham Yasonna Laoly saat menyampaikan paparannya disidang UPR.
Dalam pandangan Koalisi Masyarakat Sipil, hal itu merupakan narasi yang dangkal, tidak berbasis ilmiah dan kental sentiment politik. Faktanya kasus narkotika dan terorisme trennya tetap tinggi.
Sejalan dengan lebih dari 23 negara didunia yang memberikan catatan penghapusan hukuman mati disidang UPR, Indonesia perlu menyingkronkan kebijakan penghapusan hukuman mati dalam hukum nasional.
Terlebih saat ini Indonesia tengah membahas perubahan RKUHP yang mempertahankan hukuman mati. Sembari itu, penting bagi Indonesia melakukan moratorium hukuman mati dan komutasi terhukum mati yang faktanya menggerus kesehatan fisik dan mental terpidana mati dan berkontribusi pada tingginya deret tunggu kematian yang melanggengkan penyiksaan atau hukuman berlapis.
Diketahui, dalam menjawab isu hukuman mati yang diangkat oleh beberapa negara, khususnya Eropa pada UPR ke-4 Dewan HAM PBB 2022, Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly menyampaikan bahwa hukuman mati adalah hukuman positif di Indonesia.
Hingga kini Indonesia tengah mencari win-win solution tentang hukuman mati tersebut melalui RUKUHP baru yang masih disusun. Hukuman mati nantinya akan menjadi hukuman alternatif yang bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup.
“Jadi nantinya hukuman mati dapat dievaluasi setelah 10 tahun jika yang bersangkutan mendapat rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk selama menjalankan hukuman dia berbuat baik, maka bisa diubah hukumannya menjadi life sentence atau 20 tahun,” jelas Yasonna ketika menyampaikan keterangan persnya usai persidangan UPR di Jenewa, Swiss ,Kamis (10/10/2022). ( santi)