Sriwijayamedia.com – Penggunaan dana filantropi belakangan menjadi perhatian publik karena ternyata praktik penggalangan dana publik yang digadang-gadang sebagai dana sosial kemanusiaan untuk kepentingan umat ternyata disalahgunakan untuk membiayai kebutuhan aksi terorisme.
Publik tentunya akan terkecoh sehingga tak ragu memasukan sejumlah dana untuk disalurkan sesuai kebutuhan, seperti apa yang diinformasikan oleh penyelenggara dana filantropi.
Entah untuk kepentingan kemanusiaan dalam membantu korban bencana alam, kaum miskin (duafa), pendidikan dan kegiatan ibadah lainnya.
Pendekatan melalui kegiatan keagamaan atau mengatasnamakan agama inilah yang sering dijadikan sebagai kedok untuk mengetuk hati para dermawan yang sebenarnya merupakan calon mangsa (korban).
Namun sebenarnya tidak ada kaitannya antara terorisme dan radikalisme dengan agama, karena tidak ada satupun agama yang membenarkan. Hal itu merupakan fitnah bagi umat Islam serta menjadi sebuah stigma negative.
Ide dan gagasan akan kolaborasi Intelijen Keamanan Mabes Polri (BIK) dengan Kementerian Lembaga dalam mendeteksi pengelolaan dana filantropi dikemukakan oleh Kombes Pol Solehan, S.Ik., MH., siswa Pendidikan Kepemimpinan Tinggi Tingkat 1 LAN angkatan 55 tahun 2022.
Konsep pemikiran kolaborasi itu disampaikan oleh sejumlah pembicara kompeten dibidangnya. Seperti Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, SE., MM., dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kolaborasi Intelkam Polri dengan Kementerian Lembaga Dalam Mendeteksi Pengelolaan Dana Filantropi” di Veranda Hotel, Jakarta Selatan (Jaksel), Kamis (27/10/2022).
Dalam diskusi ini, Ahmad menyampaikan bahwa oknum umat beragamalah yang salah memahami cara beragama.
Menurut dia, ada lima sumber dana yang digunakan oleh terorisme dengan menggunakan dalih keagamaan, yakni : menggunakan infak yang di koordinir diantara terorisme ; memiliki paham takfiri atau mengkafirkan orang lain yang berbeda (agama, kelompok) dan mengkafirkan negara yang dianggap berdasarkan hukum agama sehingga menghalalkan apapun seperti menipu, merampok, korupsi, mendirikan lembaga filantropi dengan casing atau kedok agama dan semua hal yang mengatasnamakan agama, darah dan harta menjadi halal.
“Ketiga bekerja sama dengan mafia hitam (yang memiliki politik kekuasaan) ; mendapatkan donasi dari Wahabisasi Internasional, ciri dan indikasinya adalah takfiri, ekslusif terhadap lingkungan pergaulan dan dinamika sosial, Intoleransi pada agama, pro ideologi khilafah, Anti budaya dan kearifan lokal, dan terakhir radikal terorisme mengatasnamakan agama adalah proxy war dan asimetri war, dengan salahsatu donaturnya adalah intelijen asing,” terangnya.
Sementara itu, Direktur tindak Pidana ekonomi khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Wishnu Hermawan, S.Ik., MH., menjelaskan bahwa risalah filantropi ditemukan dalam kitab-kitab agama.
Dari bentuknya dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, citizen filantropi kegiatan amal yang dilakukan seseorang dengan berasas jangka pendekatan. Kedua, filantropi terorgansir yang berbentuk lembaga secara terstruktur termasuk bagaimana dana filantropi dapat didistribusikan bukan hanya melalui perorangan, tapi bahkan melalui dunia usaha.
”Kemunculan dan perkembangan lembaga filantropi di Indonesia sebagian besar dilatarbelakangi oleh motif agama. Seperti Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Rumah Zakat, Dompet Du’afa, Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Laziznu, Lazismu, PKPU, Dompet Sosial Madani (BSM) Bali, Karinakas (berbasis Agama Katolik), HFHIND (Kristen) dan berbagai Lembaga Filantropi berbasis agama lain yang belum teridentifikasi dalam kajian ilmiah,” jelas Wishnu.
Direktorat Strategi dan Kerja Sama Dalam Negeri Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Mardiansyah ME., dalam diskusi menyampaikan, setidaknya ada sepuluh ancaman pendanaan terorisme global berdasarkan hasil Mutual Evaluation Reports (MER) FATF antara lain Kelompok Teroris Internasional; Kelompok Teroris Domestik; Penyalahgunaan Non Profit Organization (NPO); Pejuang Teroris Asing; Penyalahgunaan Sektor Jasa Keuangan; Self Funding; Pembawaan Uang Tunai dari Sektor Informal lainnya; Lone Actors dan kelompok jaringan kecil; Pendanaan hasil kriminal/ilegal; dan Perantara jasa profesi. (santi)









