Sriwijayamedia.com – Transformasi perbankan dari konvensional ke digital merupakan sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Kendati demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mendukung perkembangan bank digital. Salah satunya melalui literasi digital masyarakat.
Literasi digital sangat berkaitan erat dengan keamanan bank digital. Saat bertransaksi di bank digital, data pribadi nasabah pun harus dilindungi.
Seperti halnya dilakukan salah satu lembaga perbankan plat merah yakni PT Bank Negara Indonesia (BNI). Manajemen PT BNI mengklaim telah membentuk unit khusus untuk memastikan transaksi perbankan dan data nasabah aman.
“Ada dua jenis upaya pengambilan data nasabah yang teridentifikasi melalui skimming dan social engineering. Dua hal itulah yang selama ini kerap menyerah perbankan,” aku Pemimpin Divisi Managemen Risiko PT BNI Rayendra M Goenawan, saat menjadi narasumber dalam workshop literasi keamanan digital perbankan buah kerjasama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dengan PT BNI, Jum’at (19/8/2022).
Dia menjelaskan skimming merupakan metode pencurian data yang menggunakan alat khusus, yaitu skimmer. Cara kerjanya dengan menyalin data strip magnetik di kartu ATM atau kredit.
Dia menyebut modus tindak kejahatan ini sering terjadi di mesin EDC, ATM, dan kartu ATM yang menjadi instrumen untuk bertransaksi.
Sementara social engineering ialah mendapatkan data dan informasi dengan memengaruhi pikiran seseorang yang berdampak pada psikologis dan emosi.
“Kedua modus tersebut masih menjadi momok bagi perbankan karena belum 100 persen diantisipasi, mengingat hal itu berkaitan dengan pengetahuan dan wawasan nasabah terkait dengan upaya peretasan,” terangnya.
BNI secara khusus telah mengoperasikan unit khusus untuk perlindungan data nasabah. Unit khusus tersebut bekerja selama 24 jam penuh.
Unit khusus ini bertugas untuk memastikan transaksi nasabah berjalan tanpa gangguan, termasuk saat libur lebaran.Antisipasi oleh petugas itu dilakukan secara intensif dan maksimal.
Dia menyarankan bagi nasabah yang mencurigai ataulun menjadi korban kejahatan skimming dan social engineering untuk dapat menginformasikan ke BNI melalui pengaduan yang disiapkan BNI.
Pengaduan bisa dilakukan dengan menghubungi BNI call 1500046 dan bisa juga datang langsung ke kantor cabang BNI terdekat.
“Nasabah dapat melaporkan secara tertulis dengan mengakses www.bni.co.id, dan memilih menu hubungi kami. Atau ke email bnicall@bni.co.id atau faksimili (021) 25541203. Ya, itu semua sebagai upaya BNI melindungi data nasabah,” jelasnya.
Dia juga mengingatkan nasabah untuk selalu menjaga One Time Password (OTP) transaksi, menjaga selalu informasi pribadi yang bersifat rahasia, dan masuklah ke website resmi. Sebab BNI memiliki record transaksi nasabah.
“Meskipun petugas BNI pernah menanyakan OTP transaksi, namun petugas tidak akan meminta ataupun menanyakan password maupun PIN nasabah,” ingatnya.
Setali tiga uang, Guru Besar Ilmu Komputer Sains Universitas Sampoerna Prof Teddy Mantoro menegaskan akan pentingnya melindungi data pribadi nasabah.
Menurut dia, data pribadi sangat rentan disalahgunakan oknum tak bertanggung jawab melakukan kejahatan phising yang bisa menyerang setiap individu.
“Oleh karena itu, upaya perlindungan data pribadi esensinya menjadi konsen setiap pihak berkepentingan yaitu perbankan,” papar Prof Teddy.
Berdasar data Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), kata dia, anomali trafik atau serangan siber pada tahun 2021 cenderung meningkat 3 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Tercatat ada sekitar 1,6 miliar kasus serangan siber di tahun tersebut.
Hal ini membuktikan kalau kejahatan phising makin masif, dimana rata-rata korbannya merupakan nasabah perbankan.
Dia menilai perbankan Indonesia menjadi sasaran empuk bagi peretas. Terlebih melihat populasi penduduk Indonesia yang capai 258 juta jiwa lebih.
Untuk itu, dia berharap perbankan memiliki formula yang dapat melindungi data dan transaksi nasabah dapat berjalan dengan aman.
Sementara itu, Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK Horas VM., Tarihoran mengatakan literasi keuangan tidak akan bisa ditingkatkan oleh OJK sendirian, diperlukan peran sektor jasa keuangan termasuk perbankan.
Dia pun menyoroti tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia yang terbilang masih sangat rendah. Hal itu berbanding terbalik dengan tingkat inklusi keuangan yang hampir dua kali lipat lebih besar dibanding literasi.
Menurut survei dilakukan OJK tahun 2019 lalu, tingkat literasi keuangan di Indonesia baru mencapai 38 persen. Di sisi lain, tingkat inklusi keuangan sudah 76 persen.
Dia melanjutkan OJK terus memperkuat upaya perlindungan konsumen sektor jasa keuangan melalui penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Ketentuan yang memperbarui POJK No 1/POJK.07/2013 ini antara lain mengatur penerapan perlindungan konsumen oleh industri jasa keuangan sejak perencanaan produk, pelayanan dan penyelesaian sengketa.
Selain itu, POJK memperjelas kewajiban prinsip keterbukaan dan transparansi informasi produk dan layanan serta peningkatan perlindungan data dan informasi konsumen.
“POJK ini semakin memperkuat pengaturan terhadap perlindungan konsumen dan kewajiban pelaku usaha jasa keuangan sebagai respons terhadap dinamika perubahan di sektor jasa keuangan,” rinci Horas.
Dia berharap POJK Nomor 6/POJK.07/2022 ini dapat menjawab kebutuhan agar sektor jasa keuangan dapat tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen.(ocha)











