Kayuagung, Sriwijaya Media – Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa oknum Kepala Desa (Kades) Simpang Tiga Makmur Samsul Bahri dan perangkat desa setempat Asmara membacakan tanggapan atau duplik atas replik yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam rangka untuk memperoleh kebenaran materil dalam mengungkapkan perkara yang kini berada diujung persidangan, sebagaimana yang didakwakan dan dituntut terhadap diri terdakwa.
Hal itu terungkap dalam sidang yang diketuai Ketua Majelis Hakim Tira Tirtona, SH., dengan anggota I Made Gede Kariana, SH., dan Dany Agustinus, SH., dihadiri JPU Bravo Swastikara, di Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Selasa (16/8/2022).
“Bahwa sebenarnya tidak ada fakta hukum dan argumentasi hukum yang baru terkait dengan perkara a quo yang disampaikan oleh JPU. Kami anggap dakwaan JPU prematur dan tidak bisa dibuktikan,” kata tim penasehat hukum terdakwa yakni Junjati Patra, SH., Iwed Suprianto, SH., Bustanul Fahmi, SH., MH., Satria Budiman Alamsyah, SH., dan Alan Pranjaya, SH.
Terhadap dakwaan yang dikatakan terbukti dilakukan oleh terdakwa dalam perkara a quo dalam surat tuntutan dan replik JPU bahwa memaknai ha-hal yang telah terungkap dalam persidangan, pihaknya meminta kepada majelis hakim yang mulia untuk dapat menyikapinya dengan memberikan putusan seadil-adilnya bagi terdakwa.
Dia melanjutkan fakta dalam persidangan perkara a quo, bahwa terdakwa Samsul Bahri adalah Kades Desa Simpang Tiga Makmur dan Erika (pelapor) adalah Ketua BPD Desa Simpang Tiga Makmur.
Saudara Erika telah melaporkan tentang tindak pidana 263 ayat (2) tahun 2021 bahwa saudara erika sudah tahu tentang tanda tangannya dipalsukan dari tahun 2016, tetapi alasannya tidak ada bukti, namun selalu menikmati tunjangan sebagai Ketua BPD Desa Simpang Tiga Makmur dari tahun 2016-2019.
“Itu diakui oleh saudara Erika di persidangan. Bahwa terbukti terdakwa tidak ada keterlibatan dalam hal pemalsuan yang dilakukan oleh Asmara dimana terdakwa Samsul sebagai Kades hanya menjalankan fungsi dan tugasnya memerintahkan perangkat desa untuk memproses data-data yang di dapat dari rapat anggaran desa untuk segera diproses pencairan dana desa. Itu semua untuk kepentingan desa,” terangnya.
Bahwa terbukti jika terdakwa dalam melaksanakan tugas sebagai Kades harus mengontrol dan mengawasi setiap kegiatan yang ada di desa. Bahkan usai rapat, kades melakukan evaluasi bersama perangkat desa lain dalam bentuk kegiatan apapun yang ada di desa untuk kemajuan desa.
Pihaknya juga menegaskan bahwa BPD mempunyai fungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kades; menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan melakukan pengawasan kinerja kades.
“Kami menyimpulkan bahwa disini Ketua BPD Erika hanya mengedepankan hak tanpa mau melakukan fungsinya sebagai Ketua BPD,” paparnya.
Dia menilai terdapat keganjilan dalam perkara a quo dimana saudara Erika selaku Ketua BPD menyampaikan di muka persidangan bahwa selama menjabat Ketua BPD Erika tidak pernah melakukan rapat dengan anggota BPD lainnya untuk rapat berita acara badan permusyawaratan desa tahun anggaran 2016, 2017, 2018 hingga 2019 untuk melengkapi dokumen APBDes, sehingga tidak dapat diketahui secara jelas, terang, dan nyata apa motif, serta bagaimana dan apa permasalahan yang sebenarnya, yang sekarang ini hanya menempatkan terdakwa dalam posisi yang sulit secara hukum atas pembebanan semua pekerjaan tersebut, sehingga secara hukum perkara a quo seharusnya prematur untuk diajukan ke persidangan disandingkan dengan kwalitas saksi –saksi.
“Kami menyimpulkan dari semua fakta yuridis di atas jika perkara a quo, terutama dakwaan JPU sejak awal adalah prematur, terdapat kekeliruan hukum (error juridische), dakwaan atau tuduhan kurang beralasan hukum dan kabur (obscuur libel), terjadi kesalahan fakta hukum (error factie) yang dajukan oleh JPU (dakwaan dan tuntutan), kekeliruan mengenai orang (error in persona), dan lebih fatalnya lagi secara hukum adalah terjadi kekeliruan terhadap barang/alat bukti (error in evidence), dan kekeliruan terhadap keterangan saksi (error in witness testimonium), yang secara hukum “dikhawatirkan” akan berujung kepada kekeliruan terhadap putusan hakim (error judex factie) yang tentunya tidak kami harapkan dalam perkara a quo. Namun kami yakin Majelis Hakim a quo akan memutus perkara sesuai dengan fakta-fakta hukum yang kami sampaikan diatas dan berdasarkan keyakinannya dalam persidangan ini,” jelasnya.
Dia memohon kepada majelis hakim yang mulia untuk tidak terjebak dengan cara-cara tidak yuridis yang dilakukan oleh JPU di atas, yang secara parsial dan sepotong-potong telah memaknai dan menyimpulkan materi pembelaan penasehat hukum terdahulu, dan dengan menolak semua dalil-dalil dalam surat tuntutan dan replik JPU sebelumnya. Serta memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi terdakwa Samsul Bahri dan Asmara.
“Kami tarik kesimpulan/kongklusi secara hukum, bahwa tidak ada satupun, baik unsur dan uraian JPU baik dalam dakwaan Primair maupun dalam semua surat dakwaan JPU yang dapat dibuktikan dilakukan oleh terdakwa dalam perkara a quo,” urainya.
Dia berharap Ketua dan anggota majelis hakim sependapat dengan apa yang disampaikan pihaknya dan memutus perkara ini dengan berpedoman kepada “Keadilan bagi terdakwa Samsul Bahri dan Asmara” untuk dapat mempertimbangkan semua uraian, penegasan serta pembelaan dan jawaban/tanggapan/duplik yang disampaikan.
Sidang akan dilanjutkan dengan agenda putusan pada Selasa 30 Agustus 2022 mendatang.
Diketahui sebelumnya, terdakwa Syamsul dan Asmara didakwa dalam tindak pidana dengan sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 263 ayat (2) KUHP, begitu juga dengan terdakwa Asmara pasal 263 ayat (1) KUHP. Kedua terdakwa di tuntut JPU dengan ancaman kurungan 6 tahun penjara.(Jay)