Opini : Hari Anak Nasional yang Suram Dialami 11 Anak Tanah Datar Minang

IMG_20211103_075543

Oleh : 

Kadivwasmonev Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra

Mendapatkan kabar 11 anak mengalami pencabulan oleh ZH dari media popular di bumi Minang, saat mengisi Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli 2022 di lahan parkiran Gedung Suku Dinas Pemadam kebakaran Gulkamat Jakarta Timur, Jasra Putra Kadivwasmonev KPAI segera lakukan konfirmasi kebenaran peristiwa tersebut kepada dengan pemerintahan Sumatera Barat, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Propinsi Sumatera Barat (Dinas PPPA).

Dari hasil kontak tersebut, Dinas PPPA membenarkan peristiwa tersebut. Dan pagi ini Selasa (26/7/2022) akan melaksanakan koordinasi untuk respon penanganan awal. Mereka akan mengunjungi sekolah anak anak untuk memetakan kasus ini lebih dalam. Selain itu mereka juga akan mengajak sekolah dan orang tua untuk mendiskusikan kebutuhan penanganan para korban. Pekerja Sosial Kementerian Sosial juga sudah ikut turun menangani bersama.

Hari Anak Tercederai

KPAI berharap segera ada case conference dalam respon cepat lintas sector, agar penanganan korban sejak awal integratif, Begitu juga kondisi para korban bisa segera terungkap, agar pemulihan bisa segera berjalan. Karena ini baru mulai masa PTM 100 %, yang harus di sikapi cermat dan hati hati, agar anak anak kondusif di masa awal sekolah. Juga mengurangi anak dari bullying dan stigma atas peristiwa.

Sungguh sangat disayangkan di Hari Anak yang menjadi momen kampanye hak dan kewajiban anak tetapi kita disuguhi kembali berita kejahatan seksual anak oleh seorang tokoh lokal di Jorong Kayu Tanduak, Nagari Aia Angek, Kecamatan X Kotao, Tanah Datar, Sumatera Barat. Artinya peringatan HAN masih jauh dari anak anak Indonesia, peringatan HAN masih harus digemakan lebih kuat pemerintah dan pemerintah daerah, agar menjadi ajang kesadaran orang tua dan anak dalam pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak hak anak. Mereka tahu ada hak yang wajib dipenuhi orang dewasa, agar tidak terus menerus mendapat perlakuan salah berulang ulang.

Di Hari Anak ini, kita diajarkan untuk semakin kuat, menerima kenyataan, masih banyaknya pelaku kejahatan seksual di Indonesia yang menyembunyikan kasus perbuatan bejatnya kepada anak anak. Apalagi ini pelakunya dibalut sebagai tokoh agama lokal, yang selama ini diimajinasikan sebagai penjaga moral yang wajib dihormati dan disegani masyarakat.

Akibat posisi pelaku dan memperhatikan pertimbangan banyak hal, para korban menahan diri bicara pada orang tuanya. Mendapatkan perlakuan berulang ulang. Bayangkan setahun anak anak memikul beban berat yang tidak seharusnya, demi memilih menjaga pelaku, karena ancaman ancaman. Namun akhirnya di Hari Anak Nasional para korban tidak tahan juga dan melapor ke orang tua mereka. Yang dilanjutkan membuat pengaduan masyarakat di Kepolisian.

Ini realita kejahatan seksual anak, dengan masih banyaknya pelaku orang dewasa yang melakukan justifikasi perbuatannya, menyembunyikan, atas nama alasan kebenaran, dibungkus berbagai profesi yang katanya mendidik anak, lalu mereka memanipulasi anak, orang tua, lingkungan dan masyarakat. Seolah olah perbuatannya benar. Agar para korban patuh menerima aksi bejatnya.

Pelaku berhasil menutup perbuatannya setahun lebih, dengan membunuh karakter anak anak, dengan mematikan moral anak anak. Namun sebagai anugerah titipan Tuhan, anak anak itu getir bangkit untuk berani menjadi pelopor dan pelapor. Karena tanpa itu perbuatan pelaku tidak dapat dihentikan dan akan menyasar korban yang lebih banyak lagi.

Jangan Sembunyikan Hari Anak

Artinya ini bukan hal main main, kita harus melawan memerangi kejahatan seksual, kalau perlu setiap hari adalah bergerak untuk HAN, dalam mengirim sinyal kepada para pelaku kejahatan seksual bahwa mereka tidak bisa sembunyi, anak anak tidak bisa lagi dibohongi. Karena Negara dan seluruh elemen bangsa komitmen bergerak bersama anak anak menghapus kejahatan seksual. Dan ini mempersyaratkan semua pihak terlibat mengkampanyekan dengan keras hak dan kewajiban anak.

Tak Terawasi Kasus Kejahatan Seksual, Mudah Belok

Seringkali penyelesaian kasus kejahatan seksual diarahkan kepada korban pada istilah istilah suka sama suka, mereka teman dekat, mereka sudah saling mengenal lama, mereka itu pacaran lalu hamil. Sehingga kasusnya mudah di SP3 alias di tutup kasusnya karena dianggap tidak dapat dibuktikan.

Meski hukum tegak lurus dalam memberi hukuman jera sampai kematian, namun bila tidak terawasi sedikit saja, kasus itu berubah arah. Yang seringkali diungkap media, terakhir anak berkebutuhan khusus atau anak disabilitas yang mengalami perkosaan di tengah sawah, didamaikan begitu saja. Karena alasan saksi dan korban adalah anak disabilitas yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, Padahal setiap hari orang tua melihat keguncangan anak, yang tidak bisa dilihat orang lain, karena setiap hari dapat membedakan pertumbuhan anak disabilitas. Yang berakhir ibu ibu di Ciamis memprotes kepada Kepala Desa dan Kepolisian setempat.

Dibalik kasus kejahatan seksual anak yang terungkap ke publik dan media, seringkali jika kasusnya tidak di kawal dengan baik, tidak perhatian pada update perkembangan, jauh dari proses persidangan, tidak bisa mengakses informasi, persidangan tertutup karena alasan tertentu, orang tua tidak memahami proses hukum dan tahapannya, akan menyebabkan kasus terlunta-lunta, akibat masalah pasal belum ditentukan, keberpihakan SDM yang menangani tidak ada, dan anggaran yang dianggap tidak mencukupi untuk memprosesnya. Sehingga prosesnya tidak bisa naik ke penyidikan, persidangan dan penuntutan. Sehingga ketika peristiwa itu sudah menjadi milik publik, para APH mendorong ada masyarakat yang melapor kembali.

Padahal kasus kejahatan seksual pada anak bukan ranah restoratif justice atau didamaikan. Karena ada proses panjang yang cenderung buruk akan di alami korban dalam sepanjang hidupnya.

Mereka sebagai korban mengalami kegamangan dalam trauma kejahatan seksual, pertama mereka akan bangkit namun menjadi pribadi yang terus membawa luka batin, dan kedua berada dalam gangguan fisik psikis yang bisa berdampak sangat buruk. Posisi keduanya tidak ada yang mengenakkan untuk anak yang mengalami kejahatan seksual. Bahkan menjadi stigma tak berkesudahan.

Karena ada perjalanan hidup yang belum pada waktunya, namun sudah harus menanggung sepanjang hidup, sehingga menjadi alarm yang akan bunyi terus sepanjang hidupnya. Untuk itulah para psikolog menyarankan hypnotherapy harus terus dilakukan sepanjang hidupnya, karena menjadi faktor sangat penting untuk menjaga dua kondisi tersebut, agar seimbang dalam perjalanan hidup korban.

Pidana Untuk Pelaku Mengancam Sepanjang Hidupnya

Dan aturan regulasi dalam pidana kejahatan seksual pada anak berada dalam ruang yang hidup, sehingga pelaku tidak bisa bebas begitu saja, meski sudah keluar dari tahanan. Undang Undang 17 tahun 2016 yang berisi pemberatan hukuman kepada pelaku kejahatan seksual anak, yang memberikan pidana kebiri, lapor diri, pengawasan, tahanan kota, kebebasan bersyarat, mengumumkan pelaku, penanaman chip. Artinya para pelaku meski bebas, tidak bisa jauh dari proses hukum pidana yang melekat sepanjang hidupnya.

Korban Kejahatan Seksual Anak Menjadi Yatim Piatu Pada Proses Hukum

Kita memasuki bulan Juli Hari Anak dengan menjamurnya kasus kejahatan seksual pada anak, dan banyak kasus yang menjadi kegeraman publik, artinya begitu banyak yang menanti rasa keadilan, namun sayangnya kita berhadapan dengan penegakan hukum yang tidak serta merta tegak lurus. Karena dinamika pendampingan kasus, membutuhkan perspektif yang terus menerus harus di perbaharui dan dipersegar, agar petugas yang menanganinya tidak ‘masuk angin’.

Hal ini disebabkan kasus kejahatan seksual berada diruang privat, yang menempatkan korbannya jadi sendirian alias yatim piatu, dengan menjadi saksi sekaligus korban. Mulai dari berani mengungkap kasusnya, menjalani pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, persidangan, pembuktian, penerapan hukum, dengan paralel itu juga pentingnya penanganan psikologis korban. Karena jika timpang dari proses keduanya, rehabilitasi justru menjadi ancaman baru, karena pemenuhan hak korban kejahatan seksual tidak berjalan integrative, karena mempersyaratkan keterlibatan berbagai profesi dalam keberhasilan penanganan.

Pengawalan Kasus Jangan Berhenti

Kemudian begitu juga ada tantangan bagi para petugas yang menanganinya, mulai dari APH, pendamping, masyarakat pemerhati, CSO, saksi ahli yang dihadirkan dalam menguatkan perspektif penanganan kejahatan seksual yang berpihak pada korban, perlu terus menerus dikuatkan dalam tahap panjang prosesnya.

Yang seringkali jika salah menarasikannya, justru menempatkan korban menjadi pesakitan, diserang secara psikologis dan korban berlapis.

Pentingnya keluarga korban mendapatkan akses case conference lintas sektor berkelanjutan, agar dapat mengerti proses dan perkembangan kasus. Karena tidak semua korban mendapat pemenuhan pendampingan, akibat petugas yang tidak bisa selalu mendampingi, untuk itu perlu inovasi, agar pengawalan kasus tetap tegak hukum. Karena harusnya tidak ada halangan lembaga lembaga untuk mengikuti case conference, dengan berkembangnya berbagai kemudahan komunikasi dan transportasi.

Kasus Lumpuh, Gunakan Yurisprudensi Hukum

Perjalanan kasus akan lumpuh, bila berhadapan dengan kasus yang orang tua dan korbannya menjauh dari proses hukum karena berbagai sebab.

Kemudian sikap pelaku pada kejahatan seksual selalu manipulatif, menyebabkan relasi yang timpang dan sangat mudah di intervensi. Sehingga penguatan pembuktian baik di tahap pemeriksaan, persidangan, sampai putusan membutuhkan jadi terancam menyerang balik korban.

Karena tegas di Undang Undang Perlindungan Anak, tidak ada istilah suka sama suka untuk kasus kejahatan seksual pada anak. Semua kasusnya harus menempuh persidangan dan pembuktian, tidak ada tolerir sama sekali.

Saya juga melihat potensi peristiwa kejahatan seksual yang berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan yang tidak pada tempatnya, ketika pelakunya tokoh atau anak tokoh tertentu. Karena ada hubungan di luar penugasan di lembaga pengadilan agama atau pengadilan negeri. Sehingga ini dapat menyebabkan pengadilan agama atau pengadilan negeri kecolongan dalam memberikan dispensasi perkawinan anak. Akibat pelaku memanfaatkan relasi, ketokohan dan penghormatan.

Jangan sampai ada anggapan di masyarakat, mereka yang mengerti agama namun menggunakan istilah itu dengan tidak pada tempatnya, seperti mendapatkan dispensasi karena sudah nikah mutah atau nikah siri. Sehingga perkawinan yang tidak layak itu mendapatkan dispensasi perkawinan.

Untuk itu penting, untuk tidak hanya memperhatikan proses formal dalam usulan dispensasi perkawinan. Pertanyaannya siapa orang tua yang mau anaknya berada dalam situasi dispensasi perkawinan seperti ini? Tentu situasi yang sangat tidak diinginkan korban dan orang tuanya, hanya mereka tidak bisa ditinggal sendirian.

UU Perkawinan Kita Membatasi Umur Dan Regulasi Penguat

Bicara pernikahan siri misalnya, sesuai UU 1 tahun 1974 perkawinan yang syah menurut agama, namun harusnya tidak selesai disitu, karena wajib didaftarkan untuk mendapatkan pengakuan Negara.

Disinilah hakim harus cermat, dalam memperhatikan dispensasi pada perkawinan yang sebenarnya sangat tidak layak. Karena kita menganut Negara hukum yang membatasi usia perkawinan minimal 19 tahun.

Begitupun KUHP bicara bersetubuh dengan anak dibawah umur dapat dipidana berat. Sehingga restorative justice dengan alasan apapun, dapat melanggar hak anak.

Karena Undang Undang Perlindungan Anak dan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual saling menguatkan dalam pemberatan hukuman untuk para pelaku. Karena dispensasi kawin dianggap tidak layak, karena disana rekonstruksi timpang, Mulai dari pelanggaran kesusilaan, relasi yang timpang dan sikap manipulatif pelaku kejahatan seksual, yang benar benar harus cermat di lihat.

Untuk itu penting semua pihak melihat yurisprudensi kasus kasus sebelumnya, agar kasus tidak dihentikan oknum tertentu. Banyak contoh yurisprudensi yang bisa dipakai untuk dilihat kembali kasusnya oleh pengadilan agama dan pengadilan negeri. Sangat banyak contoh kasus kejahatan seksual, yang dapat di pedomani. Akibat diselesaikan dengan pola restorative Justice, perkawinan siri, dispensasi perkawinan yang semuanya terkait dengan memanipulasi perbuatan.

Saran KPAI, Jika Keluarga Tak Berani Proses Hukum

KPAI juga sering mendapatkan keluhan kasus kejahatan seksual, akibat problematika menghadapi keluarga korban dan korban yang tiba tiba menjauhi proses hukum, memutus kuasa hukum, atau tidak mau menunjuk kuasa hukum, bahkan ketika keluarga sadar kembali harus menempuh hukum namun kesulitan karena korban sudah berada di keluarga pelaku, karena alasan telah bertanggung jawab atau sudah kawin.

Sehingga ketika keluarga disodorkan masyarakat yang siap mendampingi dan menjadi kuasa hukum, menjadi dilema. Apalagi bila keluarga berhadapan dengan keluarga pelaku yang memiliki akses ekonomi yang lebih dari korban, maka akan menyurutkan upaya hukum. Karena ketakutan tidak di bantu atas situasi korban yang memprihatinkan.

Biasanya aparat, CSO ataupun masyarakat berkonsultasi kondisi ini. Mereka mengeluhkan, kenapa keluarga tiba tiba tidak dapat ditemui?, atau tiba tiba memutus kuasa hukum, menjauhi pendamping, sehingga tidak ada kewenangan untuk membela.

Yang sebenarnya di belakang proses yang sedang berjalan, seringkali ditemukan karena pelaku memilki kemampuan dengan segala yang dimilikinya untuk dikerahkan dalam menghindari hukum, mengintervensi proses hukum, bahkan di tahanan masih bisa mengintervensi korban.

Karena memang kasus kejahatan seksual, akan sangat mungkin menggunakan apa yang ia punya untuk mengintervensi proses hukum. Sangat berbeda dengan penanganan koruptor yang diputus dari segala akses, sehingga bisa dibuktikan dengan cepat, dan ditahan KPK.

Dalam menghadapi kasus seperti ini, KPAI meyakinkan pentingnya mencari keluarga besar atau keluarga dekatnya yang memiliki power untuk memberi jalan kepada keluarga atas kesulitan keluar dari tekanan proses hukum dan intervensi pelaku melalui pihak ketiga. Begitupun pelibatan LPSK menjadi wajib, agar tidak kasus tidak “masuk angin” ditengah jalan.

KPAI menyarankan jangan menurut, ketika disarankan lembaga berwenang tidak dilibatkan, karena mereka berada dalam satu wadah Negara, dan mereka punya mandate good governance, sehingga pelibatan penanganan kasus yang melibatkan Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Satgas PPA KemenPPPA, LPSK, Pekerja Sosial Kemensos, LBH dan CSO terkait, menjadi sangat wajib.

Penanganan Harus Paralel, Komperhensif dan Integratif, Agar Korban Selalu Kuat

Untuk itu sangat penting keluarga mencari kuasa hukum yang paham proses penanganan hukum dan pendampingan, karena ini dua proses yang harus berjalan seiring. Karena korban akan menjalani dua proses tersebut.

KPAI juga meminta aparat tetap menjalankan visum repertum pada korban dalam kondisi apapun, karena bukan alasan akibat suka sama suka, sudah dikawinkan, korban sudah berada keluarga pelaku, kemudian proses terhenti. Kemudian mengurungkan visum. Karena Undang Undang Perlindungan Anak kita bicara, segala bujuk rayu dalam kejahatan seksual kepada anak masuk ke ranah pidana.

Untuk kejahatan seksual, yang sampai menyebabkan terlahir bayi, ini juga sering menjadi persoalan panjang, karena orang tua lebih banyak tahunya, ketika usia bayi dalam kandungan sudah besar, tinggal menunggu persalinan. Sehingga keluarga dan korban dibebani, tidak hanya proses hukum, lebih kompleks.

Faktor ini seringkali menjadi kelemahan para keluarga korban, terutama mereka yang kurang memiliki akses ekonomi secara baik, kurang memahami jalannya proses hukum, tidak tahu lembaga hukum yang bisa membantu. Akhirnya justru korban mendapatkannya dari pelaku dalam perjalanan kasusnya.

Untuk itu KPAI sejak awal menyampaikan keluarga untuk menghindari bersentuhan dengan keluarga pelaku. Semisal khawatir akan identitas anak. Bahwa penetapan asal usul anak, terkait status anak yang lahir dan pencatatan akta kelahiran sudah tidak seperti dulu, korban dan keluarga tidak perlu merasa terancam dengan kewajiban memasukkan nama pelaku di akta kelahiran, karena pencatatan akta kelahiran sekarang sekarang lebih inklusif dengan 4 cara. Salah satunya untuk kelahiran yang tidak diinginkan, bisa ditetapkan hanya ibunya saja yang tercatat.

Begitupun untuk para korban yang sampai hamil karena perkosaan, juga tidak perlu tergantung atau mengemis kepada pelaku, selama mengandung bayi korban perkosaan, karena saat ini Presiden mengintruksikan pada aturan nomor 5 tahun 2022 tentang Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan bagi Ibu Hamil, Bersalin, Nifas, dan Bayi Baru Lahir Melalui Program Jaminan Persalinan.

Artinya keluarga diberi akses periksa kandungan, diskusi dengan dokter apakah kandungan akan di teruskan, atau memperjuangkan kandungan sampai kelahiran. Sehingga jika pelaku mengancam soal ini, korban dapat mengakses Instruksi Presiden ini di berbagai layanan kesehatan. Sehingga tidak ada lagi korban perkosaan yang meninggal atau sakit berkelanjutan akibat mengugurkan kandungan.

Untuk jaminan kesejahteraan korban, juga sepatutnya tidak dikhawatirkan dengan hadirnya jaminan untuk pemulihan dan penanganan korban di Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tidak hanya kepada korban UU TPKS juga memastikan pelaku terus di proses, soal penegakan hukum juga jelas disana, sampai rehabilitasi pelaku, bahkan sampai mencegah pengulangan pelaku dengan mewujudkan lingkungan tanpa kejahatan seksual.

Jaminan ini membuat korban dapat bersikap tegas, mandiri, independen, kuat menghadapi pelaku dan intervensinya melalui pihak ketiga. Kita berharap betul implementasi regulasi ini benar benar terlaksana dan di pakai APH. Agar dari hulu ke hilir dapat menyisir semua permasalahan.

Sehingga ancaman dari pelaku dan kekhawatiran tentang identitas bayi yang lahir, tidak perlu di khawatirkan berlebih keluarga. Karena sudah di akomodir dalam berbagai regulasi, peraturan, sampai produk turunan pelaksanaannya.

Apakah Korban Perkosaan Bahagia Dalam Perkawinan

Pertanyaannya apakah bila di nikahkan akan bahagia? Tentu saja prosesnya sejak awal memasukkan anak dalam tumbuh kembang yang tidak layak, karena ada pertimbangan unsur fisik dan jiwa. Yang seringkali membawa trauma psikologis yang panjang. Seiring perjalanan pelaku menjauhi tanggung jawab.

Seperti yang kita lihat belakangan pada kasus yang terjadi di pesantren, dengan pelaku anak dari pemilik lembaga dan bahkan ada pelaku yang juga pemiliknya. Yang memiliki kharisma, sehingga kasus kejahatan seksual berbau feodal. Mereka nampak, tapi ketika bicara kasusnya seperti tidak tersentuh hukum, korban mudah ditundukkan karena korban melihat pelaku adalah anak dari kultus junjungan, sehingga anak tidak bisa dibedakan. Butuh energi yang besar Kepolisian untuk menangkapnya, bahkan pada kasus tertentu bisa bertahun tahun hanya berkutat untuk upaya penangkapan.

Itupun ketika kasusnya sudah menjadi milik publik, dikuatkan pengawalan media, para regulator bersikeras meminta Kepolisian memprosesnya, barulah kemudian menyerahkan diri. Tapi apakah semua keluarga korban dan korban dapat mengakses ini, ditengah kejahatan seksual yang mudah di belokkan. Meski kita tetap mengapresiasi penegakan hukum yang maksimal, namun kalau melihat fenomena data puncak gunung es, tentu kita masih banyak korban yang belum bisa menggapai akses seperti ini.

Kemudian bila korban terus menjalani perkawinan bersama pelaku, ada ketidaknyamanan yang disampaikan korban, yaitu mengalami relasi yang timpang dalam keluarga pelaku.

Memang tidak terlihat langsung, tetapi setelah melihat dampak tekanan korbannya, baru kita menyadari dampaknya semakin buruk untuk korban. Karena sebenarnya berangkat dari situasi yang tidak diinginkan. Karena dari pengalaman, cenderung korban berada dalam kerentanan dan resiko tinggi, bahkan pilihan kematian. Karena sejak awal memang karakternya telah dibunuh. Artinya rehabilitasi ketika korban berada dalam keluarga pelaku, menjadi sesuatu yang tidak mudah. Karena seringkali mengalami serangan psikologis.

Kita sedang membayangkan, ketika pelakunya adalah anak tokoh atau publik figur, maka korbannya akan mudah tunduk, alias sangat menurut pada pelaku. Sehingga menjadi semakin menyulitkan rehabilitasi, karena korban korban akan membisu. Padahal dari pengalaman pendampingan, jika berhasil mendekati korban, selalu saja terungkap cerita korban lainnya. Artinya bisa di pastikan korbannya sangat banyak.

Untuk itu penting kasus kasus serupa di potret lebih jauh, karena dugaan korban yang sangat banyak. Sehingga harus ada upaya maksimal, ketika sudah terungkap satu korban, untuk membuka korban lainnya. Karena kalau tidak akan jadi ancaman para korban dari pelaku atau para pendukung pelaku

Sebagaimana penyampaian Presiden Joko Widodo, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan yang mengakui korbannya sebenarnya banyak, dengan menyebutnya sebagai angka fenomena puncak gunung es. Bahkan Mas Menteri menyampaikan kejahatan seksual adalah dosa besar pendidikan. KPAI juga pernah dilaporkan, pelaku yang belum tersentuh hukum dan korban yang terus menjalani rehab, tentu ini menjadi pesakitan publik dalam pemenuhan rasa keadilan.

Korban Sendirian dan Sangat Butuh Pengawalan Pemberitaan Yang Layak

Jangan lupa di luar proses hukum, dalam kasus kejahatan seksual pada anak juga ada upaya penguasaan narasi publik, yang bisa berdampak positif atau negatif untuk korban, bisa menyerang balik korban, dan menguntungkan pelaku. Karena hanya medialah yang bisa tembus ke kanan dan kiri, ibarat memiliki telinga dimana saja.

Seperti saat ini begitu sangat ramai media daring dan luring, termasuk gema social media, yang berbicara kasus kejahatan seksual anak di SPI dan Pesantren Jombang. Mereka memberi judul untuk menarik penonton.

Narasi publik ini sebenarnya sangat baik untuk pengawalan kasus bagi para korban dan keluarganya. Namun ini juga dimanfaatkan pelaku, dalam menguasai narasi publik. Sehingga seringkali publik yang sudah memihak korban, berubah kadar keberpihakan. Artinya sangat penting peran dan literasi media, keberpihakan media, dan pengawalan media, berlaku independen.

Contoh terakhir ini, media menjadi penentu narasi publik yang berdampak kepada penanganan korban. Sehingga digunakan dalam persidangan menjadi bahan saling pro kontra, adu konsep, adu alibi, strategi di persidangan, dan isunya bisa sangat liar. Contohnya terakhir adalah dua tokoh anak yang saling berseberangan pada kasus kejahatan seksual, dan lebih berdebat soal lembaga, bukan mengutamakan psikologis korban yang sedang berjuang.

Sehingga penting media memilih target pemberitaan dan narasumber, agar menjadi buat penguatan untuk pembuktian dan korban. Serta pelaku semakin tebal tanggung jawabnya alias tidak manipulatif. Untuk itu sudah sewajarnyalah kita berharap banyak pada media dalam tugas meliput kejahatan seksual.

Untuk itu penting narasi kejahatan seksual tidak masuk pada perdebatan posttruth, apalagi menjadi penggeseran narasi publik, seolah olah peristiwa tersebut benar benar tidak ada. Padahal korban sedang bertarung psikologis dalam pembuktian. Yang akhirnya justru proses edukasi yang sedang diperjuangkan, dikalahkan proses diluar persidangan. Sehingga keberpihakan semua sektor sangat penting, dalam mempertaruhkan independensi hakim dan kualitas putusan yang menghindari era posttruth.

Mari Bergerak Mengurangi Ancaman Buat Anak

Dalam kasus Tanah Datar yang menyebabkan 11 anak menjadi korban pencabulan, KPAI berharap Hari Anak semakin menempatkan para petugas APH untuk tidak mentolerir aksi kejahatan seksual. Begitupun anak dan orang tua untuk teguh memberanikan diri, memilih menjadi pelopor dan pelapor. Dalam menuntaskan kasus. Karena tanpa itu aksi bejat pelaku tak terhentikan.

Hari Anak harus dijadikan momentum penghapusan kejahatan seksual, menjadi momentum keberpihakan orang dewasa, yang tahu anak anak di sekitarnya mendapat perlakuan salah. Karena apapun alasannya, bujuk rayu, diancam, atau anak dianggap pelaku “mau”, alasan perkawinan, alasan dispensasi perkawinan, itu semua adalah motif pelaku untuk berbuat dan menekan, para korbannya. Dengan menjanjikan hal hal baik, atau masa depan yang lebih baik atas perbuatan bejatnya. Padahal pengalaman pendampingan, pelaku cenderung ke depan melepas tanggung jawabnya.

KPAI berharap pelaku di pidana pasal berlapis. Karena Indonesia telah memiliki banyak acuan dalam menghadapi pelaku ini, dalam Undang Undang Perlindungan Anak, Undang Undang yang mengamanatkan pemberatan hukuman bahkan menjerat pelaku sampai hukuman mati, Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, PP Perlindungan Khusus Anak, Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak yang masih sangat hangat karena baru beberapa hari di tandatangani Presiden Joko Widodo.

Apalagi DPR RI Juni lalu baru mengesahkan Undang Undang Sumatera Barat yang memiliki kekuatan dalam penegakan hukum bersanding dengan syariat. Tentu saja harusnya pelaku bisa dipastikan masuk dalam pidana berat dan berlapis dengan berbagai aturan ini. Begitupun restitusi dan rehabilitasi para korban harusnya benar benar bisa diwujudkan sejak awal dengan hadirya regulasi ini.

Selamat HAN 2022. Anak Terlindungi Indonesia Maju dengan gerak bersama mengurangi ancaman di sekitar anak, dalam rangka menghapus kekerasan dan kejahatan seksual pada anak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *