Opini : BLBI, 48 Obligor dan Oligarki

Oleh :

Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto 

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bermula pada 1997-1998, ketika Bank Indonesia (BI) memberikan pinjaman kepada bank-bank yang hampir bangkrut akibat diterpa krisis moneter.

Pada Desember 1998, Bank Indonesia kemudian menyalurkan dana bantuan Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, dana BLBI justru banyak diselewengkan oleh para penerimanya. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000, ditemukan kerugian negara mencapai Rp 138 triliun dari dana yang telah disalurkan.

Pembayaran obligasi rekap BLBI misalnya, selama ini terus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun belum ada niat sama sekali dari pemerintah untuk menghentikan pembayaran bunga kepada para konglomerat melalui program rekapitalisasi perbankan saat krisis moneter 1998 lalu.

Pemerintah juga menempatkan obligasi rekap di beberapa bank untuk memperkuat modalnya yang jumlahnya sekitar 600 triliun rupiah. Bunga dari penempatan obligasi tersebut sekitar 10 persen per tahun atau 60 triliun rupiah per tahun akan dibayar pemerintah sampai 2043 mendatang.

Sekarut BLBI yang sudah berlangsung selama 24 tahun tentunya menjadi beban bangsa ini, bahkan setiap pemilu tidak menutup kemungkinan dari 48 Obligor tersebut ikut memainkan peranan.

Rakyat yang wajib membayar pajak ikut terbebani oleh hutang-hutang para 48 Obligor BLBI yang ditanggung oleh negara melalui APBN setiap tahunnya. Bahkan kekayaan diantara 48 Obligor tersebut ada yang mengalami peningkatan setelah 24 tahun, tapi beban mereka ditanggung negara.

Sadar atau tidak sadar negara kita dimainkan oleh Obligor BLBI yang hidupnya dibantu negara dan rakyat. Selama 24 tahun bisa kita lihat bagaimana peran negara seperti diatur oleh beberapa personal dari Obligor BLBI tersebut.

Bangunan Oligarki yang dibuat oleh Obligor BLBI tersebut sudah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga setiap kekuasaan siapa pun dan pesta demokrasi yang berjalan akan tetap menjaga bisnis dan usaha para Obligor BLBI dengan bisa membeli dan mengatur oknum Aparat Penegak Hukum (APH).

Perlu kesadaran bersama bahwa seharusnya pemerintah menghentikan sementara pembayaran bunga obligasi rekap BLBI karena tidak sepatutnya negara bertanggung jawab atas penyimpangan-penyimpangan dan penyalahgunaan pengelolaan aset-aset obligor yang nota bene adalah aset negara, bukan aset obligor.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *