Jakarta, Sriwijaya Media – Cadangan sumber daya alam (SDA) terbesar di Indonesia tersebar di beberapa pulau besar yang ada di Indonesia, ada Papua, Kalimantan dan Sulawesi.
Demikian yang disampaikan Theo Yoku, tokoh muda Nabire, Papua terkait daerah otonomi baru (DOB).
“Papua belum cukup dewasa untuk menerima pemekaran provinsi. Jika DOB kini tetap dipaksakan, maka Pemerintah akan keteteran dalam hal keuangan,” ujarnya saat diwawancarai sriwijayamedia.com, Sabtu (28/5/2022) di Hotel Infinity, Jalan Mangga Besar, Jakarta Pusat.
Lanjutnya, belum lagi ancaman disintegritas yang akan terjadi dimasa mendatang.
“Di Papua atau Papua Barat, ketidaksiapan untuk diterapkan DOB bukan semata-mata pada infrastrukur tapi lebih pada sumber daya manusia Papuanya sendiri,” ungkapnya.
Pola pikir masyarakat Papua, kata dia, untuk bisa memahami dan menerima DOB, terutama untuk maksud dan tujuannya belum seluruhnya siap.
“Meski bicara ada 7 wilayah besar di Papua, namun faktanya kehidupan masyarakat Papua antar suku kini sudah membaur. Namun tingkat pendidikan masyarakat Papua masih rendah, sehingga ini sangat menentukan kemajuan pembangunan masyarakat di Papua itu sendiri,” terangnya.
Theo menjelaskan secara finansial, kemampuan pemerintah pusat untuk mendorong pertumbuhan di Papua setelah penetapan DOB sangat diragukan.
Sebab untuk pelaksanaan Otsus saja sudah begitu banyak dana yang digelontorkan.
“Nyatanya belum mayoritas masyarakat Papua bisa maju baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Jika masyarakat Papua sudah dewasa, dalam arti memiliki kualitas sumber daya manusia (SDM) yang cukup untuk membangun daerahnya sendiri, maka DOB bisa diterapkan,” paparnya.
Berbicara Papua, lanjut dia, seharusnya Pemerintah jangan hanya memandang dari aspek politik saja.
Langkah pemerintah yang memposisikan Papua layaknya anak emas sebenarnya salah besar. Buatlah Papua supaya bisa bersaing sama halnya seperti provinsi-provinsi lainnya.
“Yang sangat dibutuhkan di Papua saat ini sebenarnya pendidikan yang berkualitas, dengan pengajar yang mumpuni, yang bisa menghasilkan lulusan-lulusan berkualitas. Kurikulum pendidikan juga jangan hanya difokuskan pada pencetakan lulusan calon tenaga kerja, tapi juga para pencipta peluang kerja,” desaknya.
Theo memaparkan bahwa adanya kata merdeka untuk Papua, sebenarnya bisa dimaknai dalam dua persepsi, yakni Pertama, merdeka sebagai manusia (WNI) dalam status ekonomi, sosial, dan budaya.
Dimana masyarakat Papua maju dan sejahtera secara ekonomi, serta memiliki kehidupan sosial dan budaya yang baik dan berkembang.
“Dan kedua, merdeka dalam arti country (Negara baru) seperti yang digaungkan oleh para aktivis pro Papua Merdeka (OPM). Jadi, solusi untuk memerdekakan masyarakat Papua dalam bidang ekonomi adalah bagaimana caranya agar masyarakat Papua bisa lebih diberdayakan kehidupan ekonominya,” tandasnya.
Di bidang budaya, bagaimana masyarakat Papua mendapat akses pendidikan yang baik dan berkualitas.
Sayangnya paska reformasi, kurikulum pendidikan selalu berubah-ubah dan mengurangi aspek budi pekerti dikalangan siswa.
“Dulu kita wajib upacara bendera tiap senin pagi, terkena sanksi saat datang terlambat dan mendapat pelajaran PMP, P4 serta Wawasan Nusantara. Tapi kini, semua itu sudah hilang. Adapun mata pelajaran PPKN yang dianggap sebagai pengganti pelajaran PMP, nyatanya berbeda. Siswa-siswa sekolah hari ini hanya diajarkan bagaimana cara menghafal bukan memahami sebuah konsep rumusan,” singgungnya.
Beasiswa yang diberikan bagi mahasiswa Papua diluar Papua nyatanya tidak berhasil membuat para siswa yang selesai kuliah diluar Papua bisa membawa ilmunya untuk diterapkan.
“Saya berharap suatu hari nanti kita betul-betul bisa mendapatkan seorang menteri pendidikan yang paham akan hal ini,” harapnya. (Santi)