Jakarta, Sriwijaya Media – Di era sekarang ini keselamatan jiwa individual terus menerus terancam oleh konflik-konflik meluas.
Pembangunan perdamaian saat ini dituntut untuk berkembang menjadi suatu sistem yang mengedepankan nilai-nilai, norma-norma, dan budaya perdamaian bagi semua negara, komunitas, dan individu, berdasarkan prinsip-prinsip hidup yang berdampingan dan saling ketergantungan dari komunitas global.
Peringatan Tahunan ke 6 Deklarasi Perdamaian dan Pengakhiran Perang (DPCW) Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL), telah diadakan secara online pada Senin 14 Maret 2022 melibatkan sekitat 5.000 peserta, dengan tema ‘Melembagakan Perdamaian: Membangun Landasan Hukum untuk Perdamaian Berkelanjutan’.
Sebuah LSM HWPL yang berafiliasi dengan PBB, telah mendukung upaya-upaya gabungan dari para pemerintah dan upaya-upaya masyarakat sipil yang mengarah pada pelembagaan perdamaian di setiap masyarakat.
DPCW yang diproklamirkan pada tahun 2016 telah memberikan panduan untuk advokasi perdamaian yang dipimpin warga, sejalan dengan organisasi-organisasi internasional termasuk PBB, Uni Afrika (AU), dan Uni Eropa yang telah menekankan panduan normatif sebagai sebuah standar untuk resolusi konflik substansial dengan partisipasi dari para wanita dan pemuda.
Mengenai kebutuhan untuk ‘membangun landasan hukum bagi perdamaian berkelanjutan’, Presiden Asosiasi Hukum Internasional (ILA) Cabang Bangladesh Dr Kamal Hossain mengatakan prasyarat untuk mencapai perdamaian adalah mengamankan hak-hak masyarakat yang tidak dapat dicabut, yang mencakup kesetaraan di hadapan hukum, perlindungan hukum yang sama, non diskriminasi, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi.
Anggota Komite Perdamaian Hukum Internasional HWPL Anna Cervenakova menyebutkan dalam krisis dunia yang sedang berlangsung, setiap pemerintah mempertanyakan diri mereka sendiri, tindakan apa yang akan menjadi tindakan terbaik untuk mengatasi krisis darurat.
“Kebutuhan untuk pembangunan manusia, dengan mengatasi kesehatan masyarakat darurat, perubahan iklim, penurunan ekonomi, pembatasan hak-hak asasi manusia, membawa kita ke titik bagaimana beban-beban ini diselesaikan oleh lembaga-lembaga pemerintah,” tuturnya.
Oleh karena itu, sebagian besar beban pekerjaan adalah di pihak para pemerintah. Jadi adalah penting apa yang menjadi prioritas-prioritas dalam agenda lembaga mereka.
Salah satu pembicara Prof Rommel Santos Diaz dari hukum internasional di Universidad INCE mengatakan bahwa kantor-kantor pemerintah termasuk Majelis Tinggi, Kementerian Luar Negeri, dan Kantor Kejaksaan Agung di Republik Dominika telah bekerja dengan LSM-LSM untuk tujuan pengambilan keputusan negara untuk kebijakan-kebijakan publik tentang keamanan warga negara dan hak asasi manusia, berdasarkan DPCW.
Menanggapi maraknya ancaman dari konflik-konflik agama, Imam Moulana Shafiek Nolan di Westridge Afrika Selatan mengungkapkan DPCW menekankan pentingnya perdamaian antar agama dan pengakhiran konflik agama.
“Dialog kitab suci bulanan yang diselenggarakan oleh HWPL terutama bertujuan untuk menciptakan sebuah platform untuk mematahkan kesalahpahaman tentang kitab suci dan praktik keagamaan, yang mencerminkan nilai-nilai yang dinyatakan dalam DPCW,” terangnya.
Sementara itu, Ketua HWPL Man Hee Lee menambahkan bahwa peperangan-peperangan dan konflik-konflik terus terjadi karena peperangan-peperangan dapat dipicu jika itu dianggap perlu menurut hukum internasional saat ini.
“Itulah sebabnya ini tidak dapat mengakhiri perang,” paparnya.
Dia menyoroti bahwa semua anggota desa global perlu bersatu sebagai para pembawa pesan perdamaian untuk menciptakan sesuatu (hukum internasional untuk perdamaian) yang pasti dapat membawa perdamaian.
Diketahui, pada 28 Februari, HWPL telah mengeluarkan pernyataan tentang invasi Rusia ke Ukraina yang mencakup perlindungan pengungsi dan solidaritas pemuda global melawan perang dan mengirimkannya kepada 192 negara.
DPCW menyajikan prinsip-prinsip perdamaian untuk dipromosikan oleh masyarakat internasional seperti melarang penggunaan kekuatan, mendorong kebebasan beragama, dan partisipasi masyarakat untuk menyebarkan budaya perdamaian.
Ini menyoroti bahwa perdamaian berkelanjutan dapat dicapai melalui semua anggota masyarakat global dengan mengidentifikasi tidak hanya negara-bangsa tetapi juga organisasi internasional dan semua warga negara sebagai aktor-aktor utama dalam membangun perdamaian.(ilang/rel)