Jakarta, Sriwijaya Media – Menyoal kelangkaan minyak goreng (migor) yang terjadi seantero Nusantara ini, termasuk melambungnya harga daging sapi disikapi langsung Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI).
Ketua Umum (Ketum) IKAPPI Abdullah Mansuri, Jum’at (25/2/2022) menegaskan kelangkaan migor sampai sekarang masih terjadi karena produksi dan distribusi masih belum tertata dengan baik.
Target produksi belum sesuai dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah. Begitupun dengan distribusinya, masih terhambat karena proses distribusinya masih harus dilakukan dari nol (awal) lagi.
“Jadi kondisi saat ini sudah tidak seperti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya. Kalau dulu dari perusahaan ke distributor, lalu ke agen, baru kemudian ke pasar. Kalau sekarang dari pabrik bisa langsung ke pasar,” katanya.
Selain itu, kata dia, penyebab lain kenaikan harga jual migor adalah karena harga Crude Palm Oil (CPO) dunia saat ini sedang tinggi.
“Hal yang menjadi masalah adalah kita (Indonesia) sebagai negara yang memproduksi CPO terbesar di dunia, tapi kita tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pelaku usaha lebih enak membuang migor keluar negeri ketimbang dalam negeri. Padahal kebutuhan dalam negeri juga cukup tinggi,” terangnya.
Dia melanjutkan seharusnya ada kebijakan pemerintah akan hal ini. Misalnya, dengan memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu baru kemudian diekspor.
Sebab, sebenarnya pemenuhan kebutuhan dalam negeri lebih penting. Regulasi itu menjadi penting, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Sebenarnya produsen migor dalam negeri bisa dihitung karena jumlahnya tidak banyak. Kesemrawutan distribusi migor ini lebih disebabkan karena belum ada regulasi yang mengatur kearah pembenahan distribusi, sehingga wajar jika terjadi unsur kesengajaan meniadakan /menimbun migor dikalangan pelaku usaha,” paparnya.
Dalam hal ini, KPPU yang memiliki kewenangan untuk menindak para pengusaha nakal yang nekad menimbun migor.
“Kita tidak bisa membuktikan terjadinya penimbunan yang menyebabkan kelangkaan migor dipasaran. Karena itu, kita hanya mendesak agar kebutuhan dalam negeri terpenuhi lebih dulu dengan harga terjangkau dan distribusinya sesuai dengan harapan kita bersama,” jelasnya.
Menurut dia, pemangkasan benang distribusi migor yang dilakukan pemerintah sudah bagus, tapi harus mempertimbangkan banyak faktor.
Seperti pedagang bisa ambil langsung dari pabrik. Kalau kebutuhan akan migor dikalangan pedagang tradisional relatif kecil. Sehingga agak sulit untuk memastikan kebutuhan distribusi migor ke pasar-pasar kalau ada ketentuan-ketentuan dari pabrik.
Setiap pasar biasanya memiliki tingkat kebutuhan akan minyak goreng yang berbeda-beda. Pabrik tidak mungkin mengirimkan pesanan migor hanya 100-an liter ke pedagang.
Karena biasanya pabrik mengeluarkan syarat minimal pembelanjaan harus dalam jumlah tonase. Oleh sebab itu, jika hanya sedikit kebutuhan yang harus dipenuhi, biasanya pabrik tidak bersedia mengirimkannya langsung ke penjual, yang hanya memesan migor kurang dari standar minimal pembelanjaan yang ditentukan Pabrik.
“Adanya persyaratan tertentu bagi konsumen untuk bisa membeli migor dengan harga murah atau sesuai standar yang ditetapkan pemerintah tentu menjadi urusan produsen. Kita sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Sementara bahan baku utama minyak goreng adalah kelapa sawit. CPO harganya kini lebih mahal dijual keluar negeri karena harga CPO dunia sekarang sedang tinggi. Itulah yang harus dilakukan Kementerian Perdagangan. Sudah banyak pihak yang mengusulkan hal ini sesungguhnya. Namun faktanya masih begini,” akunya.
Bahkan situasi perang Rusia dan Ukraina saat ini tidak akan mempengaruhi situasi perdagangan migor karena Indonesia tidak mengambil bahan baku dari mereka.
Dia menyarankan sebagai penghasil minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia, maka harus diatur regulasi yang kepentingan dalam negeri lebih besar dibanding kepentingan lain.
Lalu, pabrik-pabrik produksi migor itu-itu saja. Diupayakan ada BUMN yang ditunjuk oleh Kementerian BUMN untuk memproduksi migor. Tidak hanya di sawitnya, tapi juga di migornya juga agar ada persaingan atau minimal pemerintah menunjuk BUMN tersebut untuk melakukan operasi pasar atau dengan kata lain harus ada pola persaingan.
“Kita harus mempunyai grand design pangan untuk menjaga ketahanan pangan secara berkala, misalnya pada kuartal pertama komoditasnya apa saja, wilayah produksinya bagaimana, kapasitas produksinya bagaimana, dan seterusnya. Itu semua harus dipersiapkan. Sementara Bulog biar saja fokus hanya untuk mengurusi masalah beras,” paparnya.
Begitu pula soal tingginya harga daging sapi. Menurut dia, produksi dalam negeri dan impor belum terukur dengan baik.
Dia mengatakan kenaikan harga daging sapi dipasaran sudah terjadi sejak seminggu yang lalu. Rata-rata harga daging sapi antara Rp140 ribu hingga Rp145 ribu per kilogram.
“Pedagang tidak ada untung, sehingga susah bagi pedagang untuk membelinya. Kondisi ini makin membuka kran impor daging sapi,” ucapnya.
Menurut dia, tingginya harga daging sapi saat ini lebih pada keterbatasan stok produksi.
Untuk itu, pihaknya mengajak semua pihak terkait (feed floaters, pengusaha, importer daging, peternak dalam negeri, pedagang pasar, sampai rumah potong hewan) untuk duduk bersama mencari solusi agar harga daging sapi tidak terlalu tinggi.
Kalau perlu ada subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk menjaga kestabilan harga daging sapi sekarang ini.
“Jadi undang semua pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi terbaik, karena saat ini sudah ada pedagang yang tidak bisa jualan lantaran harga daging sapi yang begitu tinggi,” bebernya.(Santi)